Pilpres 2024

Misteri Duet Prabowo - Ganjar hingga Jokowi Pindah Partai pada 2024

Saat Jokowi terkesan mendukung Prabowo sebagai suksesornya kendati jagoan partainya adalah Ganjar, politik dihebohkan kembali dengan keputusan

Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Acos Abdul Qodir
Setpres/Instagram
Dinamika politik jelang Pemilu 2024, muncul wacana menduetkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan kader PDIP Ganjar Pranowo sebagai bakal capres-cawapres Ganjar, hingga putra Presiden Jokowi ditunjuk sebagai Kutua Umum Partai Solidaritas Indonesia.  

Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM - Peta politik Pilpres 2024 masih sulit ditebak.

Berbagai spekulasi terus beredar mengenai koalisi hinggga misteri sosok cawapres bagi Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo yang belum juga menemui titik temu.

Seiring kian dekatnya pembukaan waktu pendaftaran capres dan cawapres yang tinggal kurang dari sebul an, isu untuk menduetkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo kian menguat.

Belum lagi mengenai langkah politik Presiden Joko Widodo yang kian sulit ditebak kemana arahnya.

Saat Jokowi terkesan mendukung Prabowo sebagai suksesornya kendati jagoan partainya adalah Ganjar, politik dihebohkan kembali dengan keputusan keluarga Jokowi.

Yaitu ketika putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep didapuk sebagai Ketua Umum PSI meski baru dua hari bergabung.

Soal opsi menyatukan Prabowo dan Ganjar sehingga Pilpres 2024 hanya menyisakan dua poros atau tepatnya antara pendukung pemerintah dan antitesanya dalam sosok Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, berbagai komentar bermunculan.

Ada yang optimis bisa terwujud untuk mengunci kemenangan, tapi tak sedikit yang pesimis hal itu bisa terwujud.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research dan Consulting, Pangi Syarwi Chaniago adalah salah satu yang menganggap duet tersebut hanyalah ilusi semata.

Dia mengakui jika Prabowo dan Ganjar bersatu secara matematis memang bakal membuat kemungkinan mereka memenangi Pilpres 2024 cukup besar.

Tapi sayangnya opsi itu dirasa mustahil untuk diwujudkan.

Permasalahannya karena dua nama itu, baik Ganjar dan Prabowo sama-sama dipasang sebagai capres oleh partainya masing-masing.

Menurut Pangi, tarik-tarikan soal siapa yang akan menjadi capres adalah persoalan rumit dan pelik lantaran akan berkaitan secara langsung dengan elektabilitas partai di tengah proses pemilu yang dilakukan secara serentak.
 
Di sisi lain, Pangi melihat jika format koalisi besar tidak terbentuk dan pada akhirnya Pilpres 2024 akan diikuti oleh tiga poros koalisi, maka hal ini akan menjadi dilema bagi PDIP dan Gerindra.

Sebab, dengan tiga poros akan membuka peluang munculnya Anies Baswedan sebagai kuda hitam.

Hal itu mengingat jarak elektabilitasnya diantara ketiga nama itu tidak terpaut terlalu jauh.

"Hasil survei menggambarkan bahwa ada potensi pemilu dilakukan dua putaran," kata Pangi, Rabu (27/9/2023).

Disampaikan Pangi, jika situasi ini terjadi dan jika Anies masuk ke putaran kedua pilpres maka peluangnya untuk menang masih terbuka lebar.

Sebab, perebutan suara di kalangan pemilih yang belum menentukan pilihan dan pergeseran suara pada putaran kedua adalah kunci kemenangan.
 
"Membaca kompleksitas ini pada akhirnya mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan bahawa wacana (duet Prabowo-Ganjar) ini hanyalah ilusi yang sangat mustahil untuk diwujudkan.

Atau dengan kata lain wacana ini adalah kekhawatiran yang sangat berlebihan akan potensi dan ancaman kekalahan yang terus membayangi di depan mata," kata dia.

Potensi Jokowi Pindah Partai

Kaesang Pangarep mengenakan kemeja khas ayahnya saat berkontestasi pada pemilihan gubernur atau Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu.
Kaesang Pangarep mengenakan kemeja khas ayahnya saat berkontestasi pada pemilihan gubernur atau Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu. (Tangkapan Layar akun PSI)

Sementara itu, mengenai potensi Jokowi bakal pindah partai juga menjadi isu politik yang hangat di pekan ini.

Hal itu setelah Kaesang menjadi ketua umum PSI.

Banyak pihak berspekulasi bahwa PSI akan menjadi kendaraan politik Jokowi setelah tak menjabat sebagai Presiden RI.

Jokowi dianggap berbeda dengan dua presiden terdahulu yakni Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tetap eksis setelah tak jadi presiden karena mereka punya partai politik.

Sedangkan Jokowi statusnya adalah hanya petugas partai.

Hubungan Jokowi dan PDIP disebut banyak pihak juga tak melulu harmonis.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin menduga nampaknya Jokowi tengah memainkan politik taruh telur di banyak keranjang.

Kaesang diduga memang sengaja ditempatkan Jokowi di PSI, sedangkan Gibran tetap dibiarkan bersamanya di PDIP.

Padahal jika merujuk aturan di PDIP bahwa ada aturan jika satu keluarga tak boleh ada yang berbeda partai.
 
"Karena ada istilah jangan taruh telur di keranjang yang sama karena kalau kerangjangnya itu jatuh maka telur itu akan jatuh semua, nah Jokowi ini sepertinya melakukan politik seperti itu," kata Ujang saat dihubungi, Rabu (27/9/2023).

Klimaks dari permainan politik ini, Ujang memprediksi nantinya Jokowi lah yang akan keluar dari PDIP.

Namun, Ujang menduga Jokowi bukan akan pindah ke PSI tetapi ke partai yang lebih besar dan diberi jabatan yang cukup bergengsi.

"Nah saya melihatnya Jokowi bisa saja saja berlabuh ke partai yang lebih besar agar aman karena PSI ini masih partai kecil walaupun dibesar-besarkan dengan intervensi kekuasaan," papar Ujang.

Soal partai mana yang kemungkinan akan jadi kendaraan baru Jokowi usai lengser dari jabatan presiden, Ujang menyebut itu tergantung kesepakatan dengan para ketua umum parpol.

Sebab, Jokowi sudah pernah dirumorkan untuk bergabung ke beberapa parpol dan akan diberikan jabatan ketua umum mulai dari Golkar, Gerindra hingga NasDem.

"Menurut saya Jokowi akan cari pelabuhan partai baru yang besar tergantung deal-deal dengan ketua umum yang akan dimasuki nantinya," kata Ujang.

Pengamat politik dari Universitas Nasional, Selamat Ginting juga tak kaget dengan spekulasi Jokowi akan meninggalkan PDIP.

Sebab, ia menyebut bahwa sejatinya Jokowi bukanlah kader asli PDIP.

Kata dia, Jokowi baru bergabung ke PDIP saat hendak maju di Pilkada Solo lebih dari satu dekade silam.

Ginting menyebut saat itu Jokowi menggunakan PDIP karena membutuhkan kendaraan politik untuk maju pilkada.

Disampaikan Ginting, lantaran Jawa Tengah merupakan basisnya PDIP, maka Jokowi memutuskan bergabung ke partai berlogo kepala banteng itu.

"Makanya saya ga kaget kalau dia begitu karena bukan kader asli, dia pengusaha yang menggunakan parpol," kata Ginting. 

Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News

 

 

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved