Mengenal Tradisi Carok, Budaya Mempertahankan Harga Diri dari Madura yang Memakan Korban Jiwa
Berikut ini asa usul tradisi carok, budaya asal madura bagi laki-laki yang siap mati demi mempertahankan harga diri.
TRIBUNJAKARTA.COM - Baru-baru ini heboh kasus perkelahian yang menewaskan 4 orang di Desa Bumianyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, Madura.
Tersangka yang menewaskan korban merupakan kakak beradik bernama Hasan Busri (40) dan Moh Wardi (35).
Keempat korban meninggal dunia yakni Mat Tanjar, Mat Terdam, Najehri, dan Hafid.
Pelaku dan korban rupanya melakukan carok pada Jumat (12/1/2024)
Berdasarkan keterangan polisi, korban merupakan satu keluarga.
Mulanya, pelaku yang merupakan kakak beradik ditantang melakukan carok oleh korban.
Lawan duel Hasan Busri dan Moh Wardi, yakni Mat Tanjar diketahui merupakan guru silat.
Namun rupanya Hasan Busri juga bukan orang sembarangan.
Dikutip TribunJakarta dari TribunnewsBogor, ia mengaku dirinya juga pernah berlatih silat.
Tersangka mengaku berlatih silat saat merantau di Kalimantan.
Hal itulah yang membuatnya tak gentar dengan ajakan carok dari korban.
Membahas soal carok, istilah ini mungkin masih cukup asing bagi masyarakat yang tinggal di luar Madura.

Lantas, sebenarnya apa itu carok dan mengapa bisa sampai menelan korban jiwa?
Apa Itu Carok?
Carok adalah pertarungan yang dilakukan oleh orang Madura menggunakan celurit, untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan.
Dilansir Kompas.com, latar belakang dilakukannya carok biasanya berkaitan dengan kasus-kasus mengenai sentimen, seperti gangguan terhadap istri atau perselingkuhan, salah paham, masalah tanah atau harta warisan, utang-piutang, dan masalah lain.
Dengan kata lain, faktor utama terjadinya carok adalah persoalan yang dipandang telah membuat harga diri laki-laki dilecehkan datau direndahkan.

Carok dalam bahasa Kawi artinya perkelahian. Pada perkembangannya, carok merujuk pada pertarungan atas nama harga diri, yang dilakukan oleh orang Madura dengan senjata berupa celurit.
Dalam carok, ada beragam kemungkinan hasilnya. Bisa salah satu pihak meninggal atau terluka parah, bisa pula kedua pihak ada yang meninggal atau luka parah.
Carok jelas termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan karena merupakan sebuah upaya perampasan hak hidup.
Kendati demikian, tradisi carok masih ada sampai sekarang, meski tidak sesering pada zaman dulu.
Carok sudah biasa dilakukan, dapat dikatakan mendapat dukungan dari lingkungan sosial atau sudah membudaya di Madura.
Sejarah Carok Madura
Asal-usul pertarungan yang mengatasnamakan harga diri ini awalnya dipicu oleh bangsa Belanda saat menjajah Indonesia.
Carok pada masyarakat Madura memang sudah menjadi tradisi atau budaya yang berlangsung secara turun temurun.
Namun, pada abad ke-12 atau bahkan pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo di abad ke-18, istilah tradisi carok belum dikenal.

Menurut arsip zaman kolonial yang ditulis antropog Belanda menyatakan, bahwa carok telah ada di Madura sejak abad ke-19.
Asal sejarah carok bermula dari kisah seorang mandor kebut tebu di Pasuruan, jawa Timur, yang dikenal dengan nama Pak Sakera.
Pak Sakera yang bernama asli Sudirman, merupakan seorang keturunan Madura yang tinggal di Pasuruan.
Bagi Pak Sakera, celurit adalah simbol perlawanan rakyat terhadap kesewenangan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga harus dibawa saat mengawasi petugas.
Saat itu, perusahaan Belanda sedang membutuhkan banyak lahan dan ingin membelinya dengan harga murah.
Perusahaan Belanda kemudian menugaskan carik Rembang, yang berhasil mendapatkan lahan murah menggunakan cara kekerasan kepada rakyat.
Tidak ingin rakyat sengsara, Pak Sakera melakukan perlawanan dan karena itu ia menjadi buronan pemerintah. Pak Sakera akhirnya tertangkap dan dijebloskan ke penjara di Bangil, Pasuruan.
Ketika di penjara, istri Pak Sakera yang bernama Marlena direbut oleh Brodin.
Mendengar kabar itu, Pak Sakera kabur dari penjara untuk membunuh Brodin.
Selain itu, Pak Sakera membalas dendam kepada banyak orang, termasuk carik Rembang, para petinggi perkebunan, dan kepala polisi Bangil.
Namun, pemerintah dapat menjebak Pak Sakera dan segera mengeksekusinya.
Sejak peristiwa itu, orang-orang mulai berani melakukan perlawanan dengan berbekal senjata celurit, yang dianggap Pak Sakera sebagai simbol perlawanan.
Belanda menggunakan cara licik untuk menghadapi pemberontakan, yakni dengan mengutus blater (jawara desa), yang juga bersenjata celurit.
Dari situlah akar sejarah carok, yang melibatkan pertarungan celurit antara sesama orang pribumi.
Pada saat carok, mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dulu, tetapi menggunakan celurit.
Celurit sengaja diberikan Belanda kepada para blater untuk merusak citra Pak Sakera.
Celurit digunakan Pak Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah, tetapi oleh Belanda celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Adu domba Belanda tersebut berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura, bahwa bila ada persoalan, utamanya terkait perselingkuhan, perebutan tanah, dan masalah lain yang menyangkut harga diri, selalu diselesaikan dengan jalan carok.
Setelah sekian tahun Belanda meninggalkan Indonesia, carok masih menjadi tradisi yang "dilestarikan" sebagian masyarakat Madura.
Syarat dan Aturan Melakukan Carok
Dalam budaya Madura yang sebenarnya, seseorang yang melakukan carok tidak boleh asal bacok.
Ada syarat dan aturan sebelum seseorang memutuskan untuk melakukan carok.
Sehingga carok dapat dianggap sebagai upaya terakhir yang dilakukan masyarakat Madura untuk menyelesaikan masalah yang tak kunjung usai.
Sebelum memutuskan carok, orang yang merasa dirinya dilukai mendatangi rumah si pembuat konflik untuk memberi peringatan secara baik dan berulang-ulang agar tak mengulangi kesalahannya lagi.
Namun, apabila telah melakukan kesalahan yang sama sebanyak tiga kali, maka orang yang merasa dilukai tersebut akan datang ke rumah si pembuat konflik dengan membawa celurit dan berbicara secara sopan untuk menentukan waktu carok.
Syarat sebelum seseorang melakukan carok yakni harus mandi terlebih dahulu. Mandi besar yang dilakukan oleh seseorang yang akan carok menandakan bahwa dirinya siap mati.
Tempat yang dipilih untuk melakukan carok pun harus jauh dari pemukiman dan juga sepi.
Hal ini bertujuan agar tak ada seorang pun yang menyaksikan duel tersebut. Serta menghindari adanya pihak-pihak yang membantu salah satu kubu.
Carok murni dilakukan oleh dua laki-laki yang siap terluka dan mati.
Apabila pelaku duel carok pulang dengan selamat, artinya ia telah memenangkan carok. Sebaliknya, apabila lawan duelnya yang membawa pulang celuritnya, itu berarti anggota keluarganya telah kalah carok.
Baca artikel menarik lainnya di Google News.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.