Pilpres 2024
Soal Jokowi Bagikan Bansos Jelang Pemilu, Pengamat: Gerakan Kritik Civitas Akademika Kalah Dampaknya
Pengamat politik Selamat Ginting menilai dampak kritik akademisi dalam menyikapi Pemilu kalah besar dibandingkan cara Presiden Jokowi bagi-bagi bansos
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Pebby Adhe Liana
Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM - Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menyebut dampak gerakan kritik dari civitas akademika dalam menyikapi Pemilu 2024 kalah besar jika dibandingkan cara Presiden Joko Widodo yang membagikan bantuan sosial alias bansos.
Pasalnya, mayoritas pemilih di Indonesia masih berpendidikan rendah sehingga mereka akan lebih merasakan bantuan yang didapatkan langsung ketimbang gerakan yang datang dari kalangan akademisi.
"Karena sekitar 60 persen penduduk Indonesia tuna politik akibat rendahnya pengetahuan mereka yang berpendidikan SMP ke bawah," kata Ginting saat memberikan pandangannya, Rabu (7/2/2024).
Disampaikan Ginting, fakta bahwa mayoritas pemilih di Indonesia masih berpendidikan rendah itulah yang dimanfaatkan Jokowi untuk membagikan bansos di masa jelang Pemilu 2024.
Tak ayal, publik pun menilai salah satu tujuannya untuk memenangkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang maju dalam Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.
"Itu yang digarap kubu Presiden melalui program bansos dan BLT yang menggunakan uang negara (APBN) untuk kepentingan kubunya," ujar Ginting.
Menurut Ginting, apa yang terjadi saat ini adalah dampak minus dari sistem pemilihan langsung yang dianut di Indonesia sejak era Reformasi.
"Suara doktor sama dengan suara lulusan SD. Bagaimana Indonesia mau maju jika mayoritas yang tak berpendidikan, namun memiliki saham suara lebih banyak,"
"Ini yang seharusnya diperbaiki adalah fondasi demokrasi kita. Bukan pemilu langsung. Tapi perwakilan seperti sila ke empat Pancasila," paparnya.
Ginting merasa sistem pilpres yang dilakukan di era Orde Baru dimana presiden dipilih melalui MPR adalah cara yang cocok untuk kembali diterapkan di Indonesia.
"Sekarang kita terjebak pada demokrasi liberal. Uang yang menentukan. Orang-orang pintar tapi tidak punya uang, tidak akan bisa menduduki kursi di parlemen," ujar dia.
Karenanya, ia tak sependapat jika model pemilihan presiden oleh MPR justru disebut sebagai kemunduran era demokrasi.
"Kata siapa kemunduran demokrasi? Itu cita-cita luhur para pendiri bangsa. Sudah diperhitungkan secara matang. Ada perwakilan-perwakilan bukan hanya partai politik saja, tapi ada utusan golongan, profesi, agama, suku, dan lain-lain. Itu kan amanah sila ke empat. MPR lembaga tertinggi negara,"
"Bukan seperti sekarang, pemimpin nasional ditentukan oleh suara orang-orang yang minim pendidikannya," paparnya.
Baca artikel menarik lainnya di Google News.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.