4 Alasan Partai Buruh Tolak Program Tapera Presiden Jokowi: Dinilai Cuma Memberatkan Pekerja
Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dibuat Presiden Joko Widodo.
Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Pebby Adhe Liana
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bina Suci
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dibuat Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, program ini dinilai justru membebani masyarakat lantaran gajinya harus dipotong untuk membayar iuran Tapera.
Padahal, pemerintah seharusnya bisa memberikan jaminan sosial kepada buruh dan rakyat untuk mendapatkan upah yang layak melalui dana APBN dan APBD.
“Persoalannya, kondisi saat ini tidak tepat karena program Tapera yang dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera ini akan membebani buruh dan rakyat,” ucap Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Rabu (29/5/2024).
Said Iqbal pun menjabarkan beberapa alasan mengapa program Tapera ini belum tepat untuk dijalankan saat ini.
Dirangkum TribunJakarta.com, berikut empat alasan Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera Presiden Jokowi:
1. Belum ada kejelasan
Alasan pertama, Partai Buruh menyoroti belum adanya kejelasan terkait dengan program Tapera.
Terutama, terkait kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program tersebut.
Jika dipaksakan, program ini justru dinilai bisa merugikan buruh dan peserta Tapera lainnya.
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat kena PHK,” ujarnya.
Said Iqbal menjabarkan, upah rata-rata buruh Indonesia sekitar Rp3,5 juta per bulan.
Bila dipotong 3 persen setiap bulannya, maka iuran yang disetorkan sekira Rp105 ribu per bulan atau Rp1,26 juta per tahun.
Dengan perhitungan tersebut, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul sebesar Rp12,6 juta hingga Rp25,2 juta.
“Pertanyaan besarnya apakah dalam 10 tahun ke depan ada rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?,” tuturnya.
Ia menjabarkan, sekalipun ditambah keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul disebutnya tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.
“Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka. Sudah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat kena PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” kata Said Iqbal.
2. Daya beli kaum buruh turun 30 persen
Said menyebut, dalam lima tahun terakhir ini upah riil atau daya beli buruh justru turun 30 persen.
Hal ini disebabkan oleh upah yang nyaris tidak mengalami peningkatan selama hampir tiga tahun berturut-turut.
Bila upah buruh harus kembali dipotong tiga persen untuk Tapera, justru hal ini hanya akan semakin memberatkan buruh.
Terlebih, potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
Said Iqbal pun mengutip UUD 1945 dimana dijelaskan bahwa pemerintah seharusnya menjamin pemenuhan kebutuhan dasar.
Salah satunya penyediaan rumah murah bagi rakyat, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan murah.
3. Tidak ada kontribusi pemerintah
Mengutip UUD 1945, Said Iqbal menyebut bahwa Pemerintah harus menjamin pemenuhan kebutuhan dasar.
“Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali dan hanya sebagai pengumpul iuran rakyat dan buruh,” tuturnya.
Ini yang kemudian disorot Partai Buruh dan menilai pemerintahan Presiden Jokowi tak bisa menjalankan amanat yang tertuang dalam UUD 1945 itu.
“Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Apalagi buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen,” ucapnya.
Hal ini yang kemudian menjadi alasan ketiga Partai Buruh menolak dengan tegas program Tapera lantaran tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerimaan bantuan iuran dalam program jaminan kesehatan.
4. Terkesan dipaksakan
Menurut Said Iqbal, program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana dari masyarakat.
Said Iqbal pun mewanti-wanti pemerintah jangan sampai program Tapera ini jadi ladang korupsi para oknum pejabat, seperti dalam kasus ASABRI dan TASPEN.
“Kesimpulannya, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat ketat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera,” ujarnya.
Dapatkan Informasi lain dari TribunJakarta.com via saluran Whatsapp di sini
Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.