Sederet Mitos yang Dipercaya Pada Malam Satu Suro Bulan Muharram, Lengkap dengan Sejarahnya

Sejarah dan asal-usul malam 1 Suro tidak lepas dari kalender Jawa dan kalender Hijriyah yang saling berhubungan.

Editor: Siti Nawiroh
Intisari Online
Ilustrasi Malam satu Suro. Sejarah dan asal-usul malam 1 Suro tidak lepas dari kalender Jawa dan kalender Hijriyah yang saling berhubungan. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Simak sederet mitos yang dipercaya pada malam satu suro jelang Tahun Baru Islam 1 Muharram 1446 H.

Bagaimana sejarah malam satu suro?

Sejarah dan asal-usul malam 1 Suro tidak lepas dari kalender Jawa dan kalender Hijriyah yang saling berhubungan.

Kalender Hijriyah diawali dengan bulan Muharram, sedangkan dalam kalender Jawa diawali dengan bulan Suro.

Sejarah Malam 1 Suro

Pada zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), penanggalan Muharram dinamai Suro.

Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka, yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu.

Kemudian, Sultan Agung memadupadankan kalender Saka dengan penanggalan Hijriyah.

Inisiatif ini sangat unik karena kalender Saka menggunakan penghitungan dengan pergerakan Matahari, sementara Hijriyah menggunakan pergerakan Bulan.

Kalender Hijriyah pada masa itu banyak digunakan oleh masyarakat pesisir yang memilik pengaruh Islam yang kuat.

Sedangkan kalender Saka banyak digunakan oleh masyarakat Jawa pedalaman.

KLIK SELENGKAPNYA:Mama Papa Wajib Tahu, Simak Penjelasan Ini Sebelum Putuskan Bawa Anak Nonton di Bioskop
KLIK SELENGKAPNYA:Mama Papa Wajib Tahu, Simak Penjelasan Ini Sebelum Putuskan Bawa Anak Nonton di Bioskop

Ternyata, Sultan Agung ingin menyatukan masyarakat Jawa yang saat itu terpecah menjadi kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam).

Dalam kepercayaan Kejawen, malam 1 Suro dianggap istimewa.

Dalam buku "Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa" karya Muhammad Sholikhin menjelaskan, penganut Kejawen percaya, Suro adalah bulan kedatangan Aji Saka ke Pulau Jawa untuk mengusir makhluk gaib.

Suro juga dipercaya sebagai bulan kelahiran aksara Jawa.

Istilah Suro

Istilah Suro merupakan penyebutan yang berasal dari 'Asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh.

Tanggal 10 bulan Muharram bagi masyarakat Islam memiliki arti yang sangat penting.

Memang dasar-dasarnya tidak begitu sahih atau kuat, namun itu telah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim.

Karena pentingnya tanggal itu, oleh masyarakat Islam Indonesia, Jawa utamanya, tanggal itu akhirnya menjadi lebih terkenal dibanding nama bulan Muharram itu sendiri.

Yang lebih populer adalah Asyura, dan dalam lidah Jawa menjadi "Suro".

Jadilah kata "Suro" sebagai khazanah Islam-Jawa asli sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.

Dalam pandangan masyarakat Kejawen, mereka cenderung menghindari melakukan perayaan seperti hajatan pernikahan pada bulan Muharram.

Hal ini karena masyarakat Islam-Jawa memiliki anggapan, bulan Suro atau Muharram merupakan bulan yang paling agung dan termulia, sebagai bulan (milik) Gusti Allah.

Karena terlalu mulianya bulan Suro ini, maka dipercayai manusia "tidak kuat" atau "terlalu lemah" untuk menyelenggarakan hajatan pada bulan Allah itu.

Berbagai mitos malam 1 Suro

Identik dengan hal mistis dan sakral, malam 1 Suro kerap dijadikan waktu melaksanakan ritual.

Satu di antaranya, Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kasepuhan Cirebon yang rutin mengadakan ritual pada malam 1 Suro.

Ritual yang dilakukan dapat berupa masyarakat mengelilingi keraton dalam diam, memandikan benda pusaka, mandi kembang, dan mengarak kerbau bule.

Ritual yang dilakukan dipercaya membawa berkah.

Namun di sisi lain, berbagai mitos malam 1 Suro dipercaya bisa mendatangkan kesialan bagi orang-orang yang melanggar pantangan.

Berikut beberapa mitos yang dipercaya untuk tidak dilakukan saat malam 1 Suro:

1. Tapa bisu atau tak boleh berbicara

Beberapa orang Jawa memilih ritual pada malam 1 Suro, salah satunya adalah tapa bisu atau tidak boleh berbicara sama sekali.

Ritual ini biasanya dilakukan saat mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Selain tak boleh bicara, orang tersebut juga tidak boleh makan, minum serta merokok saat melakukan ritual tapa bisu.

2. Tak boleh keluar rumah

Masyarakat jawa percaya bahwa setiap malam 1 Suro lebih baik berdiam diri di rumah.

Mitos yang dipercaya apabila melanggar aturan ini maka orang tersebut akan mendapatkan kesialan dan hal buruk.

3. Pindah rumah

Berdasarkan primbon Jawa orang tidak disarankan untuk pindah rumah pada saat malam 1 Suro. Orang jawa percaya ada hari baik dan hari buruk.

4. Tidak menggelar pernikahan

Orang tua Jawa percaya bahwa menikahkan anaknya di bulan Suro akan mendatangkan kesialan.

Namun beberapa orang mengatakan bahwa hal ini adalah mitos belaka.

Alasannya, jika masyarakat mengadakan pesta pernikahan pada malam 1 Suro dianggap menyaingi ritual keraton yang akan dirasa sepi.

Hal ini juga berlaku pada pesta-pesta lainnya seperti pesta sunatan atau pesta syukuran lainnya dan hal ini mash dipercaya oleh orang Jawa.

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved