Polemik Pagar Laut Tangerang, Pengamat Ungkit Oligarki: Kenapa Urusan Begini Harus Nunggu Presiden?
Pengamat politik Adi Prayitno ungkit narasi oligarki terkait polemik pagar laut di Kabupaten Tangerang. Ia heran kenapa Prabowo harus turun tangan.
TRIBUNJAKARTA.COM - Pengamat politik Adi Prayitno mengungkit narasi oligarki terkait polemik pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten.
Ia juga menyinggung beda sikap TNI AL dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) soal pembongkaran pagar laut.
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menegaskan bahwa pembongkaran pagar laut di Tangerang yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut (AL) sudah sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto.
Sedangkan Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono sempat meminta TNI AL menghentikan sementara operasi pencabutan pagar laut karena masih dalam proses investigasi oleh pihaknya.
"Kita itu sebagai bangsa yang cukup besar seringkali agak heran dan mungkin juga seringkali agak sedikit aneh kenapa ya persoalan-persoalan yang sebenarnya sangat mudah tidak terlampau rumit itu bisa dituntaskan tapi seakan-akan berbelit-belit dan membutuhkan energi yang cukup luar biasa misalnya soal pagar laut yang ada di Kabupaten Tangerang," kata Adi Prayitno dikutip TribunJakarta.com dari akun Youtube Adi Prayitno Official, Senin (20/1/2025).
Adi menilai kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang simpel dan sederhana. Pasalnya, lokasi pagar laut tersebut dapat dijangkau siapapun.
Apalagi, kata Adi, pagar laut secara geografis berbatasan dengan Jakarta.
Adi pun heran persoalan pagar laut harus menunggu Presiden RI Prabowo Subianto yang memerintahkan untuk dicabut dan mengusutnya.
Selain itu, Adi juga mengungkapkan pembangunan pagar laut itu membutuhkan keahlian khusus serta tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Terlebih, pagar laut itu membentang sepanjang 30 kilometer.
"Kita bayangkan bagaimana dahsyatnya orang-orang yang kemudian memasang itu dengan kecanggihan tertentu sehingga pagar itu sudah mulai terbentang sepanjang 30 Km," katanya.

Oleh karena itu, Adi mempertanyakan polemik pagar laut baru terjadi saat ini. Padahal, ia menduga pagar laut telah dilakukan sejak 2022.
"Ini aneh misalnya dianggap melanggar aturan dan seterusnya mestinya sejak lama ini dilaporkan kepada pihak berwajib masyarakat sekitar mestinya juga speak up ngomong bahwa ada tindakan-tindakan yang sebenarnya itu bertentangan dengan hukum dan seterusnya," imbuhnya.
"Atau jangan-jangan memang soal pemagaran laut itu ada izin Dan memang ada hak guna yang sebenarnya saat ini tidak pernah terungkap kepada publik," sambungnya.
Adi pun mengungkit aksi TNI AL yang membongkar pagar laut itu karena dinilai merugikan para nelayan dan ekosistem sekitar.
Namun di sisi lain, Kementerian KKP meminta pembongkaran pagar laut ditunda untuk bukti mengusut pihak yang mesti bertanggungjawab.
"Ini gimana coba satu sisi presiden itu memerintahkan untuk segera dibongkar dan TNI Angkatan Laut sudah melakukan itu tapi tiba-tiba Kementerian KKP kemudian meminta itu tidak dibongkar sebagai barang bukti soal siapa sebenarnya yang bertanggung jawab. Ini kan ada dua hal yang berbeda," imbuhnya.
"Karena kalau TNI yang kemudian turun tangan ini tentu ada suatu hal yang urgen menyangkut kepentingan bangsa dan negara," imbuhnya.
"Tapi Kementerian KKP kemudian mengatakan kalau itu dicabut nanti tidak akan ada pihak-pihak yang kemudian mengakui siapa sebenarnya yang mesti bertanggung jawab terkait dengan soal pagar laut itu," sambungnya.
Sedangkan, kata Adi, Menteri Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid mengungkapkan adanya Hak Guna Bangunan di kawasan tersebut.
"Kenapa urusan begini harus nunggu presiden padahal menurut saya tidak terlampau rumit dan tidak terlampau sulit kalau memang sejak awal persoalan pagar laut ini dituntaskan diinvestigasi dan kemudian diselidiki kira-kira sebenarnya siapa saja yang mesti bertanggung jawab," kata Adi.
Adi menilai semestinya presiden tidak perlu turun tangan menyelesaikan persoalan pagar laut. Namun, orang di sekitar presiden semestinya bekerja sama.
Kini, Adi mengatakan persoalan pagar laut secara perlahan menunjukkan titik terang.
"Kemarin-kemarin kan muncul narasi ini pasti yang melakukan pemagaran ini adalah oligarki adalah mereka sekelompok orang segelintir orang yang memiliki kekuatan modal memiliki kekuatan ekonomi untuk mengeksploitasi sumber daya alam termasuk laut," katanya.
"Itu kan dugaan-dugaan yang kemudian membuat kenapa persoalan pagar laut yang ada di Kabupaten Tangerang itu selalu menimbulkan kisruh karena sejak awal kita itu kalau sudah bicara tentang oligarki kalau bicara tentang cukong pikiran kita itu sudah negatif," ujar Adi.
Adi pun meminta semua pihak duduk bersama untuk membahas persoalan pagar laut. Pihak tersebut antara lain TNI AL, Kementerian ATR, Kementerian KKP, Ombudsman RI dan Pemprov Banten.
"Ya Saya kira kalau duduk bersama menjelaskan kepada publik soal hal ikhwal atau kronologis terkait dengan pagar laut yang ada di Kabupaten Tangerang," katanya.
Penjelasan Nusron Wahid
Sementara itu, Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid buka suara perihal pagar laut di Tangerang yang bersertifikat HGB yang tengah ramai dibicarakan publik.
Dikutip Kompas.com, Nusron Wahid membenarkan pagar laut yang berada di Tangerang, Provinsi Banten itu memang terdapat sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM).
"Kami mengakui atau kami membenarkan ada sertifikat yang berseliweran di kawasan pagar laut sebagaimana yang muncul di banyak sosmed," ujar Nusron dalam keterangan pers dikutip dari kanal Youtube Kompas TV pada Senin (20/1/2025).
Dia menjelaskan, jumlahnya terdapat 263 bidang dalam bentuk SHGB. Rinciannya atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, dan atas nama perorangan sebanyak 9 bidang, Selain SHGB, terdapat pula SHM yang terbit di kawasan Pagar Laut Tangerang dengan jumlah 17 bidang.
"Jadi berita yang muncul di media tentang adanya sertifikat tersebut setelah kami cek benar adanya, lokasinya pun benar adanya, sesuai dengan aplikasi BHUMI, yaitu di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang," tandasnya.
Mengenai SHGB dan SHM ini, Nusron memerintahkan Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (Ditjen SPPR) untuk melakukan koordinasi dan mengecek bersama Badan Informasi Geospasial (BIG) pada Senin (20/1/2025).
Tujuannya untuk memeriksa lokasi dari sertifikat tanah-sertifkat tanah di garis pantai Desa Kohod tersebut berada di dalam garis pantai (daratan) atau berada di luar garis pantai (laut).
Pasalnya, di dalam proses pengajuan sertifikat tanah tersebut, terdapat dokumen-dokumen yang terbit tahun 1982.
Sehingga pihaknya perlu memeriksa batas garis pantai tahun 1982, 1983, 1984, 1985, 2024 hingga sekarang.
"Untuk mengecek keberadaan apakah lokasi yang dimaksud dalam peta bidang tanah yang tertuang dalam SHGB maupun SHM tersebut berada di dalam garis pantai atau di luar garis pantai. Dan kami minta besok (Selasa) sudah ada hasil, karena itu masalah tidak terlalu sulit untuk dilihat, jadi garis pantainya mana," tuturnya.
Setelah ada hasil pemeriksaan, Kementerian ATR/BPN akan melakukan tindak lanjut secara tegas. Terutama jika ditemukan adanya pelanggaran di mana sertifikat tanah berada di luar garis pantai (laut), bukan di dalam garis pantai (daratan).
"Manakala nanti hasil koordinasi dengan BIG terdapat SHGB maupun SHM yang terbukti benar-benar berada di luar garis pantai, bukan APL, memang wilayah laut kemudian disertifikatkan, maka kami tentu akan evaluasi dan tentu akan tinjau ulang," jelasnya.
Menurut Nusron, Kementerian ATR/BPN masih memiliki kewenangan untuk meninjau ulang sertifikat tanah tersebut. Karena sertifikat tanah tersebut baru terbit tahun 2023.
"Berdasarkan PP, selama sertifikat itu belum berusia lima tahun, dan ternyata dalam perjalanan ada catat material, cacat prosedural, dan cacat hukum, maka dapat kami batalkan dan dapat kami tinjau ulang tanpa harus perintah proses perintah pengadilan, tapi kalau sudah usia lima tahun harus perintah pengadilan," terangnya.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga akan melakukan penindakan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses penerbitan sertifikat tanah tersebut.
"Manakala nanti terbukti berada di luar garis pantai, dan manakala terbukti tidak compliance, manakala terbukti tidak sesuai dengan prosedur, dan manakala tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, kami akan tindak sesuai dengan aturan peraturan perundang-undangan yang ada," pungkasnya. (TribunJakarta/TribunTangerang)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.