Dedi Mulyadi Tampil Di DPR: Sebut Jabar Provinsi Aneh dan Lucu hingga Bangga Jadi Gubernur Konten

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi tengah viral lantaran julukan yang baru didapatnya, yakni gubernur konten.

Dokumentasi Biro Adpim Jabar
ANEH DAN LUCU - Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi saat acara silaturahmi Keluarga Paguyuban Pasundan di Gedung Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatera, Kota Bandung, Sabtu (12/4/2025). Saat rapat di DPR pada Selasa (29/4/2025), Dedi menyebut Jawa Barat provinsi aneh dan lucu. (Dokumentasi Biro Adpim Jabar) 

TRIBUNJAKARTA.COM - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi tengah viral lantaran julukan yang baru didapatnya, yakni gubernur konten.

Julukan itu didapatkan Dedi saat Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah gubernur, bupati serta wali kota, disiarkan langsung melalui Youtube TV Parlemen, Selasa (29/4/2025).

Sebutan gubernur konten disampaikan Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud.

Saat mendapat kesempatan bicara,  Rudy menyapa pimpinan Komisi II DPR RI dan sejumlah gubernur yang hadir.

Namun, ia membedakan saat menyapa khusus Dedi Mulyadi.

"Kang Dedi, gubernur konten, mantap ini Kang Dedi ini," kata Rudy sambil.

Setelah Rudy, giliran Dedi mendapat kesempatan bicara. Ia menjawab sapaan Rudy soal gubernur konten.

Dedi bersyukur dengan julukan itu.

"Tadi Pak Gubernur Kaltim mengatakan gubernur konten, Alhamdulillah," ujar Dedi.

Dedi pun mengungkapkan, aktivitasnya yang rajin membuat konten setiap kali bekerja turun ke masyarakat membuat irit pengeluaran Pemprov Jawa Barat

Dengan sering mengunggah kegiatannya, Dedi merasa tak perlu berikalan di media untuk menyampaikan pencapaiannya.

"Dari konten yang saya miliki, itu bisa menurunkan belanja rutin iklan," jelasnya.

Dedi bahkan menyebutkan, anggaran iklan yang berhasil diirit mencapai Rp 47 miliar.

"Biasanya iklan di Pemprov Jabar kerja sama medianya Rp 50 miliar, sekarang cukup Rp 3 miliar, viral terus," ujarnya tersenyum.

Seperti diketahui, Dedi Mulyadi memang rajin membuat konten seputar kegiatannya sebagai Gubernur Jawa Barat.

Sebelum menjabat Jabar 1 pun, Dedi memang sudah akrab dengan dunia perkontenan.

Ia mengunggah video panjang pada akun Youtubnya, Kang Dedi Mulyadi Channel. Subscribernya mencapai 6,77 juta akun.

Dalam sehari, pria yang karib dengan pakaian serba putih itu bisa mengunggah lebih dari satu video.

GUBERNUR KONTEN - Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud (kiri) dan Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi di rapat di Komisi II DPR RI, Selasa (29/4/2025). Pada rapat tersebut, Rudy menyapa Dedi sebagai gubernur konten.
GUBERNUR KONTEN - Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud (kiri) dan Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi di rapat di Komisi II DPR RI, Selasa (29/4/2025). Pada rapat tersebut, Rudy menyapa Dedi sebagai gubernur konten. (Youtube TV Parlemen)

Sedangkan potongan videonya diunggah ke akun Instagramnya (@dedimulyadi71).

Di Instagram, Dedi sudah memiliki 3 juta pengikut.

Aneh dan Lucu

Selain membahas soal julukan gubernur konten, Dedi Mulyadi bicara soal kondisi Jawa Barat dari sisi jumlah dan karakter penduduk hingga otonomi daerah.

Di depan anggota dan pimpinan Komisi II DPR RI serta perwakilan Menteri Dalam Negeri, Dedi memaparkan permasalahan di Jawa Barat dan alternatif solusinya.

Dedi menyebut Jawa Barat aneh lantaran jumlah penduduknya besar namun jumlah desanya sedikit.

Hal itu berpengaruh terhadap dana desa yang tidak ideal.

"Ini Jawa Barat, Jawa Barat ini provinsi menurut saya paling aneh. Jumlah penduduknya hampir 50 juta, terbesar di Indonsia, tetapi jumlah desanya kecil dibanding Jawa Tengah, jumlah kelurahannya kecil dibanding Jawa Tengah, jumlah kecamatannya kecil dibanding Jawa Tengah."

"Sehingga desa di Jawa Barat ada yang menanggung penduduk satu desa 150.000."

"Komposisi dana desa itu pendekatannya tidak seperti itu, tetap saja normatif daerah, ini yang harus segera dilakukan evaluasi," papar Dedi.

Dedi juga bicara soal desa yang karakternya berubah karena industrialisasi harus berubah menjadi kelurahan.

Menurutnya, hal itu penting agar pelayanan masyarakatnya bisa memakai pendekatan birokratif yang lebih cocok dengan warga multikultural khas perkotaan.

"Kemudian yang berikutnya adalah sudah juga semestinya Komisi II memelopori daerah-daerah desa yang sudah berubah karakternya menjadi kelurahan, karena pertumbuhan industri harus segera dibuat kelurahan tidak desa lagi."

"Karena pendekatan kewilayahan sudah tidak relevan lagi dengan jumlah penduduk yang tidak monokultur, yang sudah plural, yang perlu dilakukan pendekatan birokratif bukan berdasarkan pendekatan politik," paparnya.

Dedi berbicara lebih panjang soal otonomi daerah. Ia memperhatikan persebaran penduduk di kota dan kabupaten tidak berimbang dengan dana alokasi dari pemerintah pusat.

Bagi Dedi, kondisi tersebut lucu, karena sistem tidak mewadahi keadilan dalam urusan fiskal daerah.

"Saya berikan contoh misalnya dulu di wilayah Selatan karena waktu itu ketua Komisi II-nya itu dapilnya Ciamis, Banjar, Pangandaran sehingga pertumbuhan otonominya cepat, Kabupaten Pangandaran Kota Banjar, Kabupaten Ciamis."

"Tetapi di wilayah Bogor yang penduduk 6 juta sampai sekarang enggak berubah-rubah. Kemudian juga Kota Sukabumi berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sukabumi penduduknya banyak sekali sedangkan Kota Sukabumi penduduknya kecil sekali, Kota Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Kota Cimahi berbatasan dengan Kabupaten Bandung berbatasan Kabupaten Bandung Barat, kotanya kecil sekali penduduknya Tapi di sisi lain Kabupaten Bandung penduduknya besar sekali."

"Fiskal ini akan lahir tidak adil, ada kota yang mendapat alokasi relatif baik penduduknya sedikit, ada kabupaten yang alokasinya tidak begitu besar penduduknya besar," papar Dedi.

Dedi menawarkan solusi penambahan wilayah dan orientasi baru dalam distribusi dana alokasi umum dari pusat.

"Pertanyaan saya adalah ke depan bisakah dibuat inisiasi penambahan jumlah wilayah untuk sebuah wilayah. Misalnya, kalau Kabupaten Sukabumi susah sekali membuat daerah otonomisasi baru, bisakah sebagian dari wilayah Kabupaten Sukabumi diinterigasikan dengan Kota Sukabumi, kotanya berubah jadi kabupaten."

"Ini percepatan untuk apa agar melahirkan rasa adil dalam percepatan pembangunan di Jawa Barat. Kemudian ke depan bisakah dana alokasi umum standarnya bukan dari jumlah kabupaten jumlah kota jumlah desa jumlah kelurahan."

"Bisakah standarnya adalah jumlah penduduk, karena kalau pendekatannya hanya jumlah kota, jumlah kabupaten, jumlah kelurahan, maka Jawa Barat akan di bawah Jawa Tengah secara terus-menerus," pungkasnya.

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved