KPAI Kritik Program Barak Militer, Dedi Mulyadi Bongkar Perkara Lebih Berat: Mohon Turun ke Daerah
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membongkar perkara yang lebih berat dibanding program siswa nakal masuk barak militer yang dikritik KPAI. Apa itu?
TRIBUNJAKARTA.COM - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membongkar perkara yang lebih berat dibanding program siswa nakal masuk barak militer yang dikritik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ucapan Dedi Mulyadi menanggapi kritikan KPAI terkait program siswa bermasalah masuk barak militer.
KPAI menyebut adanya ancaman dari guru bimbingan konseling (BK) kepada siswa yang menolak mengikuti program barak militer, yakni tidak naik kelas.
Selain itu, KPAI juga khawatir program barak militer berpotensi melanggar hak anak.
"Saya mengucapkan terimakasih kepada Pak KPAI yang terus memberikan kritik terhadap tindakan-tindakan yang kami lakukan," kata Dedi Mulyadi dikutip dari akun instagram @dedimulyadi71, Sabtu (17/5/2025).
Dedi Mulyadi meyakini KPAI lebih mumpuni dari sisi kapasitas, kualitas dan kapabilitas organisasi.
Dimana, KPAI bertugas melindungi anak-anak di Indonesia.
Politikus Gerindra itu mengungkapkan tindakan yang dilakukannya lebih didorong oleh rasa kemanusiaan dan tanggungjawab atas kompleksnya problem anak-anak di Jawa Barat.
"Orang tidak memiliki kesanggupan lagi untuk menangani sehingga ketika ada kebuntuan maka saya dengan seluruh bupati dan wali kota harus memberikan jalan meskipun jalan itu darurat," kata Dedi.
Dedi mencontohkan, ketika ada korban sakit pada suatu bencana.

Saat itu, bisa jadi orang yang menanganinya bukan dokter spesialis tapi hanya seorang mantri biasa atau perawat.
Namun kata dia, jika perawat itu membiarkannya maka akan berdosa, karena tidak melakukan sesuatu ketika ada peristiwa yang mestinya diperbuat.
Yang terjadi saat ini juga demikian, Dedi merasa berdosa jika tidak melakukan hal apapun saat terjadi berbagai permasalahan pada anak-anak.
"Selanjutnya sangat mohon KPAI menangani anak-anak yang masih banyak hari ini tidak tertangani Pemprov Jabar dan bupati dan walikota masih banyak, mohon KPAI tangani mereka agar tugas-tugas menjadi ringan," katanya.
Dedi Mulyadi lalu mengungkap tugas yang lebih berat.
Ia mengaku hampir setiap hari menerimpa laporan mengenai pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur.
Oleh karena itu, ia bekerjasama dengan kepolisian untuk melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan dan penahanan.
"Saya tidak pernah bercerita dan speak up karena saya harus melidungi mereka," kata Dedi.
Dedi menuturkan korban dilecehkan oleh ayah kandung, ayahh tiri, paman dan kakeknya. Korban merupakan anak-anak yang berusia dibawah 10-15 tahun.
"Ada yang dilakukan oleh oknum-oknum guru ngajinya itu hampir merata di setiap kabupaten kota di Jawa Barat," imbuhnya.
"Untuk itu, saya mohon KPAI turun ke daerah gerakan KPAI di daerah memberikan pelindungan, lakukan langkah-langkah yang melindungi anak-anak kita," kata Dedi.
"Mari bergandengan bekerjasama melindungi anak Indonesia, bukan anak yang tinggal di Jakarta saja tapi di seluruh Indonesia," tuturnya.
Kritikan KPAI
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jastra Putra, mengungkapkan adanya ancaman dari guru bimbingan konseling (BK) kepada siswa yang menolak mengikuti program barak militer, yakni tidak naik kelas.
Pernyataan ini disampaikan Jastra usai KPAI melakukan kunjungan ke barak militer di Purwakarta dan Lembang guna memantau pelaksanaan program yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
“Ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas, ini hasil wawancara kami dengan anak-anak di Purwakarta maupun di Lembang,” ujar Jastra dalam konferensi pers yang digelar melalui Zoom, Jumat (16/5/2025).
Selain itu, Jastra juga menyoroti temuan bahwa tiga sekolah di Purwakarta bahkan tidak memiliki guru BK. Hal ini memunculkan pertanyaan serius tentang siapa yang memberikan rekomendasi untuk memilih para pelajar agar mengikuti program tersebut.
“Itu jadi pertanyaan kami, rekomendasi ini siapa yang melakukan? Tentunya ini harus dikaji lebih jauh agar kami bisa memberikan rekomendasi kepada psikolog profesional,” jelas Jastra.
Jastra menambahkan, salah satu penyebab masalah perilaku anak adalah minimnya layanan bimbingan konseling di lingkungan keluarga dan sekolah.
“Hasil diskusi dengan dinas terkait menunjukkan bahwa kurangnya psikolog profesional, pekerja sosial, dan guru BK membuat layanan konseling anak tidak berjalan maksimal,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengungkapkan kekhawatiran bahwa program barak militer berpotensi melanggar hak anak. Hal ini disebabkan tidak adanya rekomendasi dari psikolog profesional sebelum anak-anak dikirim ke program tersebut.
“Kami berharap tidak terjadi pelanggaran hak anak, namun potensi tersebut ada karena hilangnya referensi asesmen yang jelas dari psikolog,” kata Ai.
Ai juga menyebutkan, sekitar 6,7 persen anak-anak yang mengikuti program barak militer tidak mengetahui alasan mereka dikirim ke sana.
“Ada persentase 6,7 persen anak yang mengaku tidak tahu kenapa mereka ada di sini. Ini menunjukkan perlunya implementasi yang optimal agar hak anak tidak dilanggar,” tuturnya. (TribunJakarta.com/Kompas.com)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.