Viral di Media Sosial

Kisah Bayi 14 Bulan di Bima Tangan Kanan Diamputasi, Berawal dari Jarum Infus dan Sikap Cuek Nakes  

Nasib malang menimpa seorang bayi berusia 14 bulan bernama Aruni, warga Kabupaten Bima. Tangan kananya terpaksa diamputasi!

Tangkapan layar di Instagram dan TikTok
TANGAN BAYI DIAMPUTASI - Nasib malang menimpa seorang bayi berusia 14 bulan bernama Aruni, warga Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Bara. Tangan kanan bayi perempuan tersebut terpaksa diamputasi. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Nasib malang menimpa seorang bayi berusia 14 bulan bernama Aruni, warga Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Tangan kanan bayi perempuan tersebut terpaksa diamputasi.

Semuanya bermula pada 10 April 2025, kala itu Aruni dibawa ke IGD Puskesmas Bolo, dengan keluahan demam dan batuk.

Awalnya, perawat memasang infus di tangan kiri, namun muncul pembengkakan.

Ibu Aruni, Marliana lalu melapor ke petugas, infus dicabut, dan beberapa jam kemudian dipasang kembali di tangan kanan.

"Aboket (jarum infus) yang dipakai untuk pemasangan infus pas tusukan pertamanya gagal, tapi aboketnya tidak diganti lagi ketika dicoba memasang ulang. Malah dipakai aboket yang sama," jelas Ayah Aruni, Andika.

Tangan kanan Aruni kemudian membengkak.

Keesokan harinya, Aruni dipindahkan ke ruang rawat anak.

Empat hari berselang tanpa perbaikan kondisi, Marliana meminta rujukan ke RSUD Sondosia.

Tapi sebelum berangkat, perawat kembali menyuntikkan obat lewat infus di tangan kanan, meskipun Marliana sempat memperingatkan adanya pembengkakan. 

"Katanya itu cuma efek plester," kenang Marliana, melansir dari Tribunnews, Senin (2/6/2025).

Namun hanya beberapa jam setelah penyuntikan, kondisi tangan Aruni makin memburuk.

Aruni mulai kesakitan, tangan kanannya membengkak hebat.

Marliana berinisiatif mengompres dengan air hangat sambil menahan panik.

Di RSUD Sondosia, Aruni kembali diinfus di tangan kiri.

Meski kondisinya tampak membaik, tangan kanannya semakin parah—bengkak, menghitam, keras, hingga jari-jarinya kaku.

Marliana meminta rujukan ke RSUD Bima, namun ditolak. Ia hanya diberi salep dan suntikan.

"Akhirnya saya nekat ke IGD sambil menangis, gendong anak saya, minta dirujuk secara paksa," ujarnya.

Dicuekin Nakes

Sesampainya di RSUD Bima pada 15 April malam, Marliana justru mendapat respons yang mengecewakan.

Dokter jaga menyepelekan kondisi Aruni.

“Dibilang hanya peradangan biasa, nanti juga kempes sendiri,” ujar Marliana, menirukan jawaban dokter.

Ketika ia mengungkapkan kekhawatiran akan risiko amputasi, perawat malah menanggapi dengan meremehkan.

“Tidak usah terlalu tinggi pikirannya, Bu. Anak Ibu baik-baik saja selama tidak menangis histeris,” katanya.

Padahal malam itu, Aruni demam tinggi dan terus muntah.

Tak ada pemeriksaan fisik yang berarti sampai keesokan harinya, 16 April pukul 11.00, Marliana menangis histeris. 

Barulah dokter spesialis datang, memeriksa, dan segera memutuskan operasi darurat.

Hasilnya sungguh menyayat hati: jari-jari Aruni tidak bisa diselamatkan. Infeksi berat akibat bakteri dari bekas suntikan telah menyebar.

Pada 18 April malam, kondisi tangan Aruni makin memburuk.

Ia dirujuk ke RSUP Mataram, menempuh perjalanan darat sekitar 13 jam.

Di sana, dokter menyatakan bahwa satu-satunya cara menyelamatkan nyawanya adalah amputasi sebagian tangan.

Pada 12 Mei 2025, Aruni menjalani amputasi di bagian telapak dan jari tangan kanan. 

Sejak itu, ia harus menjalani rawat jalan intensif, kontrol setiap tiga hari, dan menanti operasi pencangkokan kulit tahap berikutnya.

“Sekarang Aruni masih sering demam, muntah, dan trauma pada bau obat. Bahkan untuk makan pun sulit, dia cuma mau susu,” ujar Marliana.

Marliana dan suaminya kini tidak bekerja.

Sejak awal masa pengobatan, mereka harus melepas pekerjaan demi mendampingi Aruni.

Biaya hidup ditopang dari donasi yang tak seberapa, sementara pengobatan belum bisa dipastikan kapan selesai.

Lapor Polisi

Laporan ke Polres Bima sudah dilakukan.

Menurut Marliana, polisi telah memanggil saksi dari Puskesmas Bolo, RSUD Sondosia, dan RSUD Bima.

Namun hingga kini, ia belum mengetahui perkembangannya.

Ia juga telah mengadukan kasus ini ke Dinas Kesehatan, PPNI Kabupaten Bima, Ombudsman di Mataram, hingga MDP di Jakarta.

Semuanya belum memberi tanggapan.

Marliana tak ingin anaknya menjadi sekadar angka dalam catatan kasus medis. 

Ia ingin pertanggungjawaban, kejelasan, dan keadilan.

Ia tak menuntut balas, hanya ingin ada yang mengakui bahwa ada yang salah, dan memperbaikinya agar tak ada lagi anak lain yang mengalami hal serupa.

“Anak saya kuat karena doa orang-orang baik. Tapi saya mohon, bantu kami mendapatkan keadilan. Jangan sampai ini terjadi ke anak-anak yang lain,” tuturnya lirih.

Sementara itu Ayah Aruni, Andika berharap kasus dugaan malapraktek yang menimpa putrinya ini menjadi yang terakhir di Kabupaten Bima

Untuk itu, dia meminta siapa pun tenaga medis yang diduga terlibat, baik di Puskesmas Bolo, Rumah Sakit Umum Sondosia, maupun RSUD Bima, harus diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. 

"Cukup anak saya jadi korban. Jangan orang lain lagi, makanya kasus ini harus diusut sampai tuntas dan proses para pelakunya," kata Andika. 

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

 

 

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved