Pilpres 2019

Dianggap Salah Jalan, Mahfud MD Balik Luruskan Said Didu Soal Ini

Penulis: Y Gustaman
Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahfud MD dan sahabatnya, Said Didu.

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD bersahabat dengan anggota Dewan Pakar BPN Prabowo-Sandi, keduanya kerap berdebat di Twitter.

Pantauan TribunJakarta.com, Minggu (28/4/2019), keduanya berdebat banyak hal, dari soal istilah provinsi garis keras hingga soal real count, quick count dan IT KPU dan lain-lain.

Said Didu mengakui ia dan Mahfud MD kerap saling bertanya dan berdiskusi. Termasuk saling meluruskan jika sahabatnya keliru.

"Kami selalu saling bertanya kalau ada masalah yg kami diskusikan. Mention saya selalu meluruskan atau bertanya. Itulah sahabat. Sahabat tdk akan pernah rela sahabatnya salah jalan.

Sahabat adalah lawan berdebat dan teman berpikir," cuit Said Didu.

Minggu Pagi Selisih Suara 8.983.038, Jokowi-Maruf 56,43%Prabowo-Sandi 43,57%

Ustaz Arifin Ilham, Yusuf Mansur, Hingga Ahok Doakan Almarhumah Ibu Aa Gym

Cuitan Said Didu ini mulanya mengomentari video potongan berisi statemen Mahfud MD dengan Metro RV yang diunggah akun Twitter 2019 Prabowo Sandi @syarif_alkadrie.

Anggota Dewan Pakar BPN Prabowo-Sandi berkomentar dan bertanya kepada Mahfud MD soal ucapannya tentang garis keras.

Ia meminta Mahfud MD untuk menunjukkan indikator dengan menyebut sejumlah daerah masuk dalam kategori garis keras.

Cuitan Said Didu kemudian dibalas Mahfud MD.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, garis keras sama dengan fanatik atau kesetiaan yang tinggi.

Dikatakan Mahfud MD, seseorang dalam posisi ini tidak dilarang dan garis keras menjadi istilah dalam politik.

"Garis keras itu sama dengan fanatik dan sama dengan kesetiaan yg tinggi. Itu bukan hal yang dilarang, itu term politik.

Sama halnya dengan garis moderat, itu bukan hal yang haram.

Dua-duanya boleh dan kita bisa memilih yang mana pun.

Sama dengan bilang Jokowi menang di daerah PDIP, Prabowo di daerah hijau," terang Mahfud MD.

Tak cukup satu cuitan Mahfud MD menjelaskan apa itu garis keras dalam politik.

Dalam cuitan berikutnya, Mahfud MD memberikan contoh dirinya sebagai orang Madura masuk kategori garis keras dalam konteks setia atau taat terhadap agamanya, yaitu Islam.

Pandangan orang Madura soal ketaatan akan Islam sama seperti orang Aceh dan Bugis.

Mereka fanatik karena tingginya kesetiaan mereka terhadap agama Islam sehingga sulit digoyahkan. 

"Dalam term itu saya juga berasal dari daerah garis keras yaitu Madura.

Madura itu sama dgn Aceh dan Bugis, disebut fanatik karena tingginya kesetiaan kepada Islam sehingga sulit ditaklukkan.

Seperti halnya konservatif, progresif, garis moderat, garis keras adalah istilah-istilah yang biasa dipakai dalam ilmu politik," jelas Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini.

Cuitan Said Didu yang tak rela sahabatnya, sebagai lawan berdebat dan teman berpikir, salah jalan, ditanggapi Mahfud MD.

Mahfud MD lalu meminta Said Didu kembali ke pembuktian pokok diskusi.

Sebagai akademisi ia mempercayai hasil hitung cepat lembaga survei tentang perolehan suara dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden, yakni Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga.

Setelah itu, Mahfud MD meminta Said Didu membuktikan, karena katanya BPN Prabowo-Sandi punya C1 Plano yang menjadi klaim Prabowo dirinya menang di Pilpres sebesar 62%.

"Kembali ke pembuktian pokok diskusi sj Pak. Sy percaya hsl QC sulit dibalik krn sy akademisi. Skrng tinggal Pak Didu yg membuktikan, katanya BPN sdh pny C1 menang 62% dan sdh minta bantuan C1 milik Bawaslu sbg penguat. Lht real count-nya. Mana yg menang. Tak usah numggu 22 Mei," balas Mahfud MD.

Said Didu menjawab bahwa menang kalah di Pilpres 2019 tak ditentukan oleh quick count atau real count KPU.

Sepengetahuan dia, siapa menang dan kalah ditentukan berdasar hasil rapat pleno penetapan hasil pemilu KPU secara berjenjang.

Sehingga ia mengajak Mahfud MD untuk sama-sama menunggu keputusan KPU RI.

Mahfud MD sepemikiran dengan ucapan Said Didu soal menunggu keputusan KPU RI.

Ia pun meluruskan bahwa pada 18 April 2019, sehari setelah Pemilu 17 April 2019, belum ada pemenang Pilpres.

Sebab hsil quick count atau klaim 62% tidak resmi sebelum pleno KPU tetapkan hitung manual.

"Tapi Anda nanya keyakinan saya tentang kebenaran QC; jadi saya berhak nanya juga dong tentang klaim 62% dan permintaan salinan C1 oleh BPN ke Bawaslu," ucap Mahfud MD.

Kemudian, Mahfud MD meminta Said Didu konsisten karena kubu 02 pada 17 sampai 18 April Prabowo mengklaim menang 62% berdasar C1 yang dihimpun tim internal BPN.

Apalagi saat itu Prabowo meminta pendukung mengawal C1 sampai ke KPU.

Mahfud MD tak mempersoalkan jika di kemudian hari kubu 02 malah soal C1 plano dibelokkan ke isu seperti membentuk Tim Pencari Fakta untuk kecurangan pemilu dan lainnya.

"TPF setuju tapi realitas C1 harus diclearkan," saran Mahfud MD.

Lalu muncul cuitan berikutnya.

Dalam cuitan lain, Mahfud MD mengaku untuk menjawab persoalan serius biasanya minum kopi bersama.

Tapi Guru Besar Fakultas Hukum UII ini merasa Said Didu mereproduksi kekaburan yang dikaitkan dengan dirinya secara tidak fair.

"Pernyataan saya sering dimanipulasi orang tapi saya biarkan dan saya anggap buzzer. Tapi kalau sahabat ya saya luruskan," ungkap Mahfud MD.

Berita Terkini