Praktik Aborsi Ilegal di Paseban

KPAI Angkat Bicara Kasus Klinik Paseban Jakarta Pusat, Beberkan Data Aborsi Ilegal di Dunia

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisioner KPAI bidang Kesehatan, Narkotika Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA), Sitti Hikmawatty, saat diwawancarai TribunJakarta.com, di kantornya, Jumat (21/2/2020).

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Muhammad Rizki Hidayat

TRIBUNJAKARTA.COM, MENTENG - Komisioner Perlindungan Anak Indoensia (KPAI) angkat bicara ihwal kasus aborsi ilegal, di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat beberapa hari lalu.

Komisioner KPAI bidang Kesehatan, Narkotika Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA), Sitti Hikmawatty, memberikan data perihal aborsi ilegal di dunia.

Berdasarkan data American Library Association, kata dia, pada 2016 tercatat 56 juta perempuan melakukan aborsi ilegal.

Namun grafik data tersebut menurun menjadi 42 juta pada 2018.

"Berdasarkan data American Library Association, dikatakan soal aborsi di dunia sudah menurun dari 56 juta per tahun 2016, itu menjadi 42 juta per tahun 2018," kata Hikma, sapaannya, saat diwawancarai TribunJakarta.com, di kantornya, Jumat (21/2/2020).

Menyoal data aborsi ilegal di Indonesia, dia mengatakan jumlahnya turun sekira 2 juta kasus.

"Kalau di Indonesia, tahun 2018 menurun sekira dua (2) juta kasus aborsi," ucapnya.

"Nah, 2 juta yang aborsi ini akibat beberapa penyebab," sambungnya.

Semisal, lanjut dia, wanita yang tengah hamil bermasalah pada kesehatan.

"Itu bisa jadi masalah kesehatan, juga karena kurang gizi. Tapi ada juga kasus yang sifatnya (kejahatan) atau perkosaan," katanya.

Dia pun tak memungkiri bahwa remaja di Indonesia yang belum resmi menikah secara hukum, melakukan pergaulan bebas.

"Memang karena pergaulan bebas, kemudian diaborsi begitu saja. Itu di beberapa daerah Indonesia, ada yang sangat rentan dengan kondisi budaya seperti itu," bebernya.

Sementara, Hikma belum mendapat data ihwal jumlah aborsi ilegal pada 2019 di dunia maupun khusus Indonesia.

"Belum tahu kalau tahun trennya di 2019 seperti apa," pungkas dia.

Riwayat Bangunan Klinik Aborsi Ilegal

Riwayat bangunan eks tempat aborsi ilegal di Jalan Paseban Raya, nomor 61, Jakarta Pusat diketahui beberapa warga sekitar.

Seperti Tursinah, yang membuka warung di dekat bangunan eks klinik aborsi ini, sejak 1983.

Tursinah menuturkan, sekira 37 tahun berjualan dirinya mengetahui bangunan rumah ini dijadikan sebagai apa.

Pertama, kata dia, bangunan rumah bernomor 61, RT 2 RW 7 ini dijadikan sebagai tempat tinggal biasa.

"Kalau penghuni pertama, setahu saya dijadikan rumah biasa," kata dia, kepada TribunJakarta.com, di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).

Selang beberapa tahun, bangunan rumah ini dijadikan sebagai kantor advokat.

"Saya tahu itu kantor advokat, soalnya ada plang tulisannya advokat," kata Tursinah.

Bangunan rumah eks tempat aborsi ilegal masih terpasang garis polisi, di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020) sore. (TribunJakarta.com/Muhammad Rizki Hidayat)

Kemudian, pada sekira 2018, rumah tersebut memiliki penghuni baru.

Plang yang tertulis kantor advokat pun dicopot.

"Setahu saya, dua tahun lalu plang kantor advokatnya sudah tidak ada. Ganti penghuni baru," beber dia.

Tursinah pun mengira penghuni baru tersebut sebagai pemilik rumah.

Tursinah juga tak pernah melihat penghuni baru tersebut keluar rumah. Apalagi berbincang dengannya.

"Namanya orang tinggal di kota, mungkin malu jajan di warung saya," ujar Tursinah.

"Jadi, dari tiga penghuni ini, saya tidak pernah tahu siapa-siapa mereka," sambungnya.

Sementara, bangunan rumah eks tempat aborsi ilegal ini juga dekat dengan kantor kelurahan Paseban.

Lurah Paseban, Muhammad Soleh, mengatakan tidak mengetahui sama sekali siapa penghuni yang membuka praktik aborsi ilegal tersebut.

"Tidak tahu siap penghuninya. Mereka juga tidak lapor ke kami ingin minta izin buka usaha atau sebagainya," kata Soleh, saat ditemui TribunJakarta.com, di kantornya, Kamis (20/2/2020) sore.

Saat itu, camat Senen Ronny juga berada di kantor kelurahan Paseban.

Ronny pun tak mengetahui ihwal bangunan rumah yang dijadikan tempat aborsi ilegal.

"Saya malah baru tahu kemarin pas ada polisi menggerebek dan konferensi pers," kata Ronny.

Sementara itu, pantauan TribunJakarta.com di lokasi, pada sore, pagar bangunan rumah eks tempat aborsi ilegal ini, masih terpasang garis polisi.

Susasananya pun tampak sepi.

Polisi Bawa Satu Karung Lebih Janin

Polda Metro Jaya mengambil lebih dari satu karung berisikan janin pasien aborsi dari hasil penggeledahan di septic tank di Klinik Paseban, Jakarta Pusat pada Senin (17/1/2020) kemarin.

"Kemarin sudah diambil oleh Ditkrimsus PMJ untuk diambil sampel, ada beberapa karung hasil pembongkaran septic tank tersebut, sekarang tinggal tim lakukan pemberkasan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Yusri menuturkan, janin itu nantinya akan dibawa ke laboratorium untuk mengetahui bahan kimia yang digunakan tersangka untuk menghancurkan janin-janin tersebut.

"Sampai saat ini kita masih tunggu hasil laboratorium. Ini menurut keterangan pelaku sebelum dibuang itu dihancurkan menggunakan salah satu bahan kimia, ini masih kita cek bahan kimia apa yang digunakan," tukas dia.

Dikira klinik anak

Sebuah klinik aborsi ilegal di kawasan Paseban, Jakarta Pusat, dibongkar aparat Polda Metro Jaya, 11 Februari 2020 lalu.

Tiga tersangka ditangkap dalam pengungkapan itu, yakni MM alias dokter A, RM, dan SI.

Pengungkapan praktik klinik aborsi ilegal ini berawal dari informasi warga yang mengadukan melalui situs web. 

Klinik aborsi ilegal ini diketahui telah beroperasi selama 21 bulan.

Para tersangka menyewa sebuah rumah di Jalan Paseban Raya Nomor 61 untuk melancarkan praktik aborsinya.

Lalu bagaimana aktivitas di klinik aborsi itu menurut warga?

Aktivitas tak dicurigai warga

Saat Kompas.com berkunjung ke klinik aborsi illegal itu, situasi rumah yang disewakan untuk menjadi klinik itu memang terlihat seperti rumah tinggal biasa.

Warga di kawasan klinik itu pun mengaku kaget saat tahu salah satu rumah tetangganya dijadikan tempat praktik aborsi.

Tursila, penjaga warung di dekat klinik aborsi itu mengatakan, klinik itu hanya didatangi tiga atau empat orang setiap harinya.

Sehingga tak membuat curiga warga.

"Kayak biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Karena memang sepi seperti tidak ada aktivitas, mobil juga tidak berderet," ujar dia.

Pengunjung yang datang, kata Tursila, memang diakui kebanyakan dari kalangan muda.

"Kebanyakan memang umur-umur 20-an lah yang masih muda. Tapi ada juga yang bawa anak kok," kata dia.

Dikira klinik anak

Karena tidak terlihat sebagai tempat aborsi, warga Paseban malah mengira klinik itu sebagai klinik anak.

"Iya kan banyak pelanggan klinik beli minuman, nah kalau saya tanyain mau ngapain pasti bilangnya mau periksa ke dokter anak, ya saya pikir mah itu klinik anak," ujar Tursila.

Selama dia mengantarkan minuman ke klinik itu, Tursila mengaku tak tahu jika selama ini rumah yang ia kira klinik itu tempat praktik aborsi.

Pengunjung hingga karyawan klinik tertutup

Meski tidak terlihat sebagai klinik aborsi, ada yang aneh aktivitas di klinik itu.

Chandra Setiawan (33), karyawan restorasi vespa yang bertetanggaan dengan klinik itu mengatakan, para pelanggan klinik kebanyakan mengantar sampai ke halaman.

Sehingga wajah-wajah pelanggan tidak terlihat.

Bahkan, biasanya jika diantar naik ojek online maupun mobil, mereka menggunakan masker atau menutupi wajahnya dengan kain.

"Siapa-siapanya saya tidak tahu nih, pokoknya mereka masuk tuh kayak menutup identitas, kadang naik mobil diantar sampai halaman, kadang juga kalau ada di antar depan gerbang, langsung buru-buru masuk sambil tutupin wajahnya," ujar dia.

Selain pelanggan yang menyembunyikan identitasnya, para karyawan klinik itu pun, kata Chandra, tak berbaur.

Mereka seolah menjauh dari tetangga.

Hal tersebut membuat warga tak mengetahui apa aktivitas di dalam klinik itu.

Pernah digrebek

Aktivitas di klinik aborsi itu pun terungkap saat polisi menggrebek kegiatan itu.

Paman, warga RT 004 RW 007 mengatakan, klinik aborsi di Jalan Paseban Raya sudah pernah digerebek polisi.

Namun, ia tak menjelaskan detail kapan klinik itu pernah digerebek.

"Sudah pernah digerebek dulu, nah tahunnya saya tidak ingat jelas. Orang sempat dipolice line kok dulu," ucap Paman.

Paman mengatakan, saat itu jumlah pelanggan klinik aborsi tersebut lebih banyak.

Jam operasionalnya pun lebih lama, hingga pukul 00.00 WIB.

Operasional klinik itu sempat berhenti setelah digrebek polisi.

Bahkan menurut Paman, MM alias A, dokter yang praktik itu juga ditangkap saat penggrebekan saat itu.

"Kalau sekarang kan empat tiga orang ya yang datang kaya tamu. Kalau dulu ramai banget," ujar Paman.

Namun, ia bersyukur akhirnya klinik aborsi ilegal itu terungkap kembali.

"Bersyukur lah, kan kita was-was juga ada tempat begitu di daerah sini. Kan yang kena sial kita nanti," ujarnya.

Pelaku 2 wanita 1 pria

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Yusri Yunus, mengatakan tiga pelaku ini terdiri dari dua wanita dan satu pria.

Ketiganya berinisial MM alias A (46), RM (54) dan SI (42).

"Tiga tersangka berhasil kami amankan," kata Yusri, saat konferensi pers, di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).

Ketiga pelaku ini membuka praktik ilegal sejak 2018, tepatnya telah berjalan selama 21 bulan.

Mereka membuka praktik aborsi ilegal di sebuah rumah berpagar cokelat dan berdinding putih.

Kini, rumah tersebut telah dipasang garis polisi.

Akibat perbuatannya, ketiga pelaku dapat dikenakan Pasal 83 Jo Pasal 64 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan atau Pasal 75 Ayat 1.

Bisa juga dikenakan Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dan atau Pasal 194 Jo Pasal 75 Ayat 2 Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

"Pasal 83 Jo Pasal 64 UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan dapat dipidana penjara maksimal lima (5) tahun," ucap Yusri.

"Pasal 75 Ayat 1, Pasal 76, 77, 78 UU RI nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dapat dipidana penjara lima tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta," tambahnya.

Sementara, Pasal 194 Jo Pasal 75 Ayat 2 Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, pelaku dapat dipidana sepuluh tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Kini, mereka telah ditetapkan statusnya, tersangka.

Dari tangan pelaku, polisi juga mengamankan barang bukti berupa obat-obatan dan sebagainya.

Dalam penentuan tarifnya, klinik tersebut menetapkan tarif yang berbeda pada setiap pasiennya. Janin satu bulan Rp 1 juta, dua bulan Rp 2 juta, dan tiga bulan Rp 3 juta.

Sementara untuk pasien yang menggugurkan janin berusia diatas empat bulan, dokter yang membuka praktik ilegal ini mematok harga dari Rp 4-15 juta.  (KOMPAS.com/Cynthia Lova/TribunJakarta/Tribunnews.com)

Berita Terkini