Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, KEMBANGAN - Teras rumah berukuran 2x4 meter di lapak pemulung di Kampung Sawah Balong, RT 06 RW 04 Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, disulap menjadi kelas belajar.
Kelas belajar itu teruntuk anak-anak putus sekolah.
Bermodalkan dua meja kayu bekas dan dua kursi panjang, ada delapan anak-anak yang sedang belajar membaca dan menulis.
Tempelan daftar abjad, angka pertambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian menjadi penghias kelas sederhana beratap triplek bagi anak-anak ini.
Sebuah papan tulis mini mungkin menjadi benda paling mewah yang ada di ruang sederhana ini. Tak ada pintu, jendela, apalagi kipas angin.
Beberapa orangtua mereka tampak menunggu di belakang memperhatikan anak-anaknya yang sedang menuntut ilmu kendati tak formal.
Rombongan ayam berjalan hingga kucing berseliweran menjadi pemandangan tersendiri di kelas ini.
Berjarak 10 meter dari tempat mereka belajar, para pemulung beraktivitas menjalankan pekerjaannya sehari-hari.
Kepulan asap dari tumpukan sampah terlihat sesekali terhirup dari ruang kelas sederhana.
Namun, itu semua tak menyurutkan semangat delapan anak-anak yang sedang belajar nonformal ini.
Di depan anak-anak itu, berdiri seorang polisi berseragam sedang menuliskan abjad di papan tulis sederhana yang digantung di depan.
Dibantu seorang ibu PKK dari Kelurahan Srengseng, polisi berseragam itu adalah yang mengajari mereka.
Polisi itu bernama Agus Riyanto, polisi berpangkat Ajun Inspektur Satu (Aiptu).
Ia adalah anggota Bhabinkamtibmas Polsek Kembangan yang ditempatkan di wilayah Kelurahan Srengseng.
Kepada TribunJakarta.com, Agus mengatakan sudah hampir sebulan ini mendirikan kelas belajar.
Di sana ia sekaligus menjadi pengajar bagi anak-anak para pemulung yang memang tak mendapatkan pendidikan formal.
Ia bercerita, awal mula menemukan lokasi ini saat di sela tugasnya sebagai Bhabinkamtibmas menemukan banyak anak berusia sekolah yang justru tak bersekolah.
"Saya tanya kenapa enggak sekolah," ujar Agus kepada TribunJakarta.com, Kamis (12/3/2020).
"Alasannya, yang pertama karena memang faktor ekonomi karena orangtua mereka mayoritas pemulung," imbuh Agus.
Berdasar hal itulah, ia berinisiatif membangun kelas belajar bagi anak-anak pemulung tersebut.
Dibantu Darsilah (41) warga sekitar, Agus mengumpulkan anak-anak berusia sekolah yang tak beruntung mendapatkan pendidikan formal.
Saat ini, memang baru delapan anak yang mengikuti kelas belajar nonformal di lapak pemulung ini.
Namun, itu tak mematahkan semangat Agus untuk mengajarkan kepada anak-anak tak mampu.
"Di sini enggak hanya belajar mengaji saja, tapi juga kita belajar membaca dan mengaji untuk mereka."
"Agar setidaknya mereka meski tak sekolah tapi tetap mendapatkan pengetahuan," ucapnya.
Agus menjelaskan, kegiatan belajar di lapak pemulung ini dilaksanakan dua hari sekali mulai Pukul 15.30 hingga Pukul 17.30 WIB.
Adapun anak-anak yang belajar disini mulai dari usia lima hingga 10 tahun.
"Iya memang ada yang usia 10 tahun juga dan dia enggak sekolah makanya kita ajarin mereka," kata Agus.
Sulit Dapatkan Izin
Darsilah, yang membantu Agus untuk mengumpulkan anak-anak untuk diajar, mengaku tak semudah membalikan telapak tangan.
Anak-anak putus sekolah yang tinggal di lapak pemulung maupun wilayah sekitarnya sebenarnya jumlah cukup banyak.
Namun, tak semuanya bisa diajak belajar.
Tak sedikit orangtua anak-anak itu yang keberatan mengizinkan anaknya bersekolah lantaran mereka membutuhkan tenaga anaknya untuk membantunya bekerja.
"Ada juga yang keberatan karena kan anaknya mendingan bantuin dagang atau mulung," ujar Darsilah.
"Ada juga yang emang pergaulannya udah susah diatur jadi enggak mau belajar. Makanya kita pelan-pelan aja," kata Darsilah.
TONTON JUGA: