TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memastikan tidak akan melakukan operasi yustisi bagi pendatang baru di Ibu Kota, pasca-mudik lebaran 2022.
Hal itu dikarenakan Jakarta sebagai ibu kota negara, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Menanggapi hal itu, Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth tak habis pikir dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan yang memperbolehkan semua pendatang untuk bermukim dan mencari pekerjaan di ibu kota.
"Memang Jakarta sebagai kota besar yang terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia. Tapi, tetap harus dilakukan pendataan dan operasi yustisi, harus di data orang-orang baru yang masuk ke Jakarta agar jelas," kata Kenneth dalam keterangan persnya, Minggu (15/5/2022).
Menurut Kent, kebijakan Gubernur Anies tersebut sangat berbahaya dan sarat kepentingan politik, prinsipnya bahwa warga pendatang baru di Jakarta tetap harus memiliki keterampilan khusus agar bisa bersaing di ibu kota.
Hal ini dirasa penting agar tidak melahirkan masalah sosial baru.
Mereka yang tidak memiliki keterampilan khusus dikhawatirkan akan hanya menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dan pelaku kriminalitas.
"Persaingan di Jakarta sangat ketat, masyarakat yang mau datang ke Jakarta harus memahami hal ini, harus mempunyai modal keahlian," kata dia.
"Jangan datang ke Jakarta malah menjadi beban, idealnya semua masyarakat yang mau masuk dan menetap di Jakarta harus benar-benar di data dengan baik."
"Kalau semua bisa masuk Jakarta tanpa seleksi dan tanpa operasi yustisi, bagaimana kita tau mana yang layak dan tidak untuk tinggal di Jakarta?," tutur Kent.
Menurut Kent, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jakarta merupakan salah satu terbesar di Indonesia, tapi hingga saat ini belum bisa mengentaskan angka kemiskinan.
"Saat ini Kota Jakarta yang mempunyai APBD terbesar di Indonesia saja belum bisa mengentaskan angka kemiskinan, kemiskinan dan gizi buruk masih menjadi momok yang membelenggu Jakarta," ujarnya.
"Jangan sampai memaksakan diri datang ke Jakarta tanpa tujuan, tanpa keahlian alhasil malah berakhir menjadi pengganguran, gelandangan, pengemis dan pelaku kriminalitas," beber Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta itu.
Saat ini, sambung Kent, berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, angka kemiskinan di kawasan Ibu Kota mencapai 498,29 ribu orang pada periode September 2021.
Hal itu mengutip laporan BPS Provinsi DKI Jakarta, pada Selasa (18/1/2022), persentase angka kemiskinan jika dihitung pada tahun ini dibandingkan periode sama tahun lalu mengalami kenaikan dari 496,84 ribu pada September 2020 menjadi 498,29 ribu orang pada September 2021.
Lalu jumlah PMKS di DKI Jakarta, BPS mencatat sebanyak 2.169 orang pada 2020, dan dari jumlah tersebut, sebanyak 1.003 orang berstatus sebagai gelandangan.
"Jangan sampai angka kemiskinan kembali melonjak di Jakarta, kemudian membuat angka PMKS pun semakin tinggi."
"Sekelas kota besar seperti Jakarta tidak bisa menerima pendatang sembarangan, orang yang datang harus jelas jangan tidak mempunyai keahlian dan keterampilan," tutur Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BAGUNA) PDIP DKI Jakarta ini.
Jika Jakarta menerima pendatang sembarangan, Kata Kent, arus urbanisasi akan meningkat pesat di Jakarta, dan Pemda tidak akan pernah siap untuk menampung lonjakan para pendatang baru usai dilakukan pelonggaran, maka bisa dipastikan akan terjadi lonjakan permasalahan sosial di kemudian hari.
"Permasalahan sosial akan terus berdatangan nantinya, seperti menjamurnya kampung-kampung kumuh, tingkat pengangguran meningkat, gelandangan dan pengemis menjamur di mana mana dan kriminalitas naik tajam, serta persoalan masalah sosial lainnya akan bermunculan,” beber Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent pun meminta kepada Gubernur Jakarta Anies Baswedan tidak membuat kebijakan yang akan membuat kondisi Jakarta semakin parah, menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai orang nomor satu di Jakarta.
"Gubernur Anies jangan dengan cara seperti ini mencari simpati dari masyarakat dalam membuat kebijakan tersebut (dengan memperbolehkan pendatang baru ke Jakarta tanpa pendataan yang jelas), Jakarta bisa rusak dengan anda membuat wacana seperti ini, sangat berbahaya sekali statement anda ini."
"Di akhir masa jabatan, Anda jangan bermanuver yang aneh-anehlah, lantas karena jabatan anda sudah mau berakhir, anda berbicara seenaknya seperti ini tanpa di kaji, dan di pertimbangan efek domino ke depannya seperti apa, Anda bicara seperti tidak punya beban dan tanggung jawab."
"Jika di kemudian hari timbul masalah masalah sosial dan anda sudah tidak menjabat menjadi gubernur, siapa yang mau bertanggung jawab? ," pungkasnya.
Sebelumnya, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta memprakirakan jumlah pendatang baru mencapai 20.000 hingga 50.000 orang usai libur Lebaran 2022.
Pendatang baru sebanyak itu dipicu beberapa faktor. Salah satunya, kasus Covid-19 di Ibu Kota yang semakin terkendali.
Berdasarkan data warga yang melakukan pelayanan dokumen kependudukan, untuk pendatang baru selama dua tahun terakhir, yakni 2020 dan 2021, terjadi jumlah penurunan karena dipicu kasus positif Covid-19 yang meningkat selama dua tahun pandemi di Jakarta.
Selama tahun 2018, jumlah penduduk pendatang di Jakarta mencapai 151.017 orang. Kemudian, pada 2019 penduduk pendatang di Jakarta bertambah mencapai 169.778 orang.
Selanjutnya, saat pandemi Covid-19 pada 2020 jumlah penduduk pendatang di Jakarta menurun menjadi sebanyak 113.814 orang.
Sedangkan pada 2021 jumlah penduduk pendatang di Jakarta mencapai 138.740 orang atau mulai terjadi peningkatan dibandingkan 2020.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada 2020, jumlah penduduk di Ibu Kota mencapai 10,56 juta jiwa.
Selama 10 tahun terakhir, BPS mencatat terjadi penambahan 954,3 ribu jiwa dibandingkan sensus penduduk pada 2010 atau terjadi laju pertumbuhan 0,92 persen.
Dari total jumlah penduduk di DKI itu, sebanyak 71,98 persen adalah penduduk usia produktif, yakni 15-64 tahun dan warga lanjut usia 8,59 persen.
Adapun konsentrasi penduduk terbesar ada di Jakarta Timur mencapai 3,04 juta jiwa.