Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, TANJUNG PRIOK - Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November menjadi momen bagi Slamet Mulhadi (84) untuk menceritakan kembali kisah perjuangannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia puluhan tahun silam.
Ditemui dalam upacara tabur bunga Hari Pahlawan dari atas KRI Semarang-594 di perairan Kepulauan Seribu, Slamet masih ingat betul bagaimana kondisi peperangan yang mencekam.
Peperangan puluhan tahun silam memaksa dirinya untuk bertahan hidup di manapun dan dalam kondisi apapun.
Bahkan, Slamet mengungkapkan dirinya seringkali harus makan binatang liar yang ditemukannya di hutan-hutan tatkala perang berlangsung.
Slamet ialah seorang veteran TNI Angkatan Darat dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Baca juga: Cerita Pilu Veteran Perang Suripto: 2 Temannya Gugur Ditembak Belanda Gara-gara Panjat Pohon Durian
RKPAD adalah cikal bakal pasukan elit TNI AD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Veteran perang kelahiran Purworejo, 19 April 1938 itu menjadi salah satu tentara yang ditugaskan mempertahankan kedaulatan NKRI saat terjadi pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Permesta sendiri merupakan pemberontakan rakyat Indonesia yang terjadi di wilayah timur Indonesia pad 1957.
Pusat gerakan militer itu mulanya berada di Makassar namun kemudian bergeser ke Manado.
Gerakan tersebut merupakan bentuk protes terhadap Presiden Soekarno yang saat itu kebijakannya dinilai terlalu sentralistis sehingga terjadi ketimpangan terutama di wilayah timur Indonesia.
"Zaman Permesta itu saya ditaruh di Manado sana. Kita jadi prajurit di sana," kata Slamet, Kamis (10/11/2022).
Slamet diterbangkan ke Manado, Sulawesi Utara, untuk melawan gerakan militer yang ada di sana tepat di pada yahun 1957.
Diceritakannya, saat itu Slamet bersama satuannya seringkali harus keluar masuk hutan di Manado demi mempertahankan kedaulatan NKRI.
Slamet tak bisa terlalu banyak mengungkapkan bagaimana situasi kontak senjata yang terjadi saat itu.
Dengan tegas Slamet hanya bisa menyingkat deskripsinya: ini soal menembak atau ditembak.
"Alhamdulillah, kalo peperangan kita nggak bisa cerita. Bagaimana mau cerita, kalo kita nggak nembak kan kita ditembak, kayak nonton film aja gimana sih," ucapnya.
"Saya zaman Permesta, kita persenjataan kan masih senjata biasa, Permesta sudah mending," sambung Slamet.
Salah satu yang paling diingat Slamet ialah caranya bertahan hidup menjaga perut tetap terisi ketika sedang berada di ganasnya hutan rimba.
Baca juga: Cerita Veteran Perang Suripto, Berjuang Sejak SMP Lawan Tentara Belanda, Kegagahan Masih Terlihat
Slamet bercerita, ia dan sesama anggota TNI saat itu tak jarang harus mencari dan membunuh tikus untuk bisa mengisi perut kosongnya.
"Kalau di Manado sana tikus juga kita makan," katanya sambil tersenyum.
Namun, tikus yang dimakan Slamet bukan sembarang tikus.
Ia hanya akan mencari tikus pohon yang dianggapnya bersih karena binatang pengerat tersebut hanya memakan buah-buahan.
"Kalau tikus dia tikus pohon, memang dia bersih. Tikus pohon makannya buah," ucapnya.
Bisanya tikus hutan dibakar untuk dibuang bulunya, lalu dimasak dengan berbagai bumbu untuk kemudian disantap.
Slamet bertugas dalam perang Permesta di Manado selama dua tahun.
Setelahnya, Slamet kembali ditugaskan dalam Operasi Trikora (1961-1962) dan Operasi Dwikora (1963-1966).
Operais Trikora sendiri merupakan perlawanan Indonesia yang sudah merdeka terhadap pendudukan Belanda di Papua Barat pada tahun 1961-1962.
Sedangkan Operasi Dwikora merupakan konfrontasi Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia berdasarkan arahan Presiden Soekarno.
Operasi yang berlangsung pada 1963-1966 itu berlangsung sebagian besar di Malaysia Timur, wilayah Kalimantan.
Kakek yang sudah punya seorang buyut itu mengakhiri ceritanya dengan bersyukur.
Meski banyak perang telah dilaluinya, Slamet masih diberikan keselamatan hingga terus bisa memperingati Hari Pahlawan sebagai veteran perang kehormatan.
"Di Manado dua tahun lah, Permesta bubar kan kita pulang ke sini kembali lagi, terus Trikora, Dwikora. Saya tugasnya keliling, dibuang sana dibuang sini," ucapnya.
"Kalau umur kan Yang Di Atas yang punya," tandasnya mengakhiri cerita.
Baca artikel lainnya TribunJakarta.com di Google News