Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM - Selepas pemungutan suara, pembicaraan seputar Pemilu 2024 berputar pada hasil hitung cepat atau quick count yang disampaikan sejumlah lembaga survei.
Untuk kategori pilpres, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinyatakan unggul versi quick count dengan perolehan berkisar di angka 57 persen.
Sedangkan untuk pileg, sampai sejauh ini hasil quick count menyatakan PDIP masih unggul dengan perolehan berkisar di angka 17 persenan, diikuti oleh Golkar dan Gerindra.
Tak ayal penghitungan versi quick count ini menjadi perdebatan di kalangan para pemilih hingga berujung kegaduhan di media sosial.
Menyikapi itu, pengamat politik dari UIN Jakarta, A. Bakir Ihsan menyarankan kepada para elit politik untuk ikut memberikan pemahaman kepada pemilih mengenai status dari quick count dalam pemilu.
"Masyarakat harus menyikapi quick count sebagai data prediktif sekaligus kontrol terhadap perolehan hasil kontestasi.
Hasil final tetap pada real count oleh KPU sebagai lembaga resmi.
Pemahaman dan sikap ini akan muncul apabila paslon dan tim pemenangan bersedia menjelaskan hal tersebut," kata Bakir, Kamis (15/2/2024).
Menurutnya, perlu literasi politik bagi masyarakat melalui sikap dan perilaku elit politik.
Pasalnya, meski quick count dilakukan melalui metodologi yang selama ini teruji konsistensi validitasnya dengan hasil hitungan real tetapi secara de jure belum bisa dijadikan pijakan sah kemenangan atau kekalahan.
Karena, kata dia, yang sah adalah hitungan real di KPU.
Rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres dilakukan usai pencoblosan secara berjenjang sampai akhirnya diumumkan secara resmi oleh KPU.
Berdasarkan UU Pemilu, penetapan hasil perolehan suara pemilu dilakukan paling lambat 35 hari dari pemungutan suara.
"Tidak ada masalah dengan klaim kemenangan dengan catatan bahwa kemenangan sesungguhnya adalah hasil hitungan real KPU," ujarnya.
Baca artikel menarik TribunJakarta.com lainnya di Google News