TRIBUNJAKARTA.COM - Parameter Politik Indonesia (PPI) ikut terseret pada polemik Lembaga Survei Indonesia (LSI) dengan Poltracking Indonesia soal survei Pilkada Jakarta.
Lembaga survei besutan Adi Prayitno itu juga merilis hasil survei Pilkada Jakarta yang berbeda dengan temuan Litbang Kompas.
Kini, PPI memutuskan keluar dari Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), dengan alasan internal.
Terseret Polemik LSI-Poltracking
Diberitakan sebelumnya, LSI dan Poltracking menjadi berpolemik setelah keduanya merilis hasil survei yang dilakukan pada waktu berdekatan, namun hasilnya bertolak belakang.
Dalam survei yang digelar pada 10-17 Oktober 2024, LSI menempatkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang unggul dengan 41,6 persen.
Sedangkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono di urutan kedua dengan 37,4 persen.
Kemudian pasangan independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto baru 6,6 persen dan pemilih yang tidak menjawab 14,4 persen.
Sedangkan, dalam survei versi Poltracking yang digelar pada 10-16 Oktober 2024 menunjukkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono ungul 51,6 persen atau berpotensi menang satu putaran.
Kemudian pasangan Pramono Anung-Rano Karno 36,4 persen dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto 3,9 persen serta 8,1 persen responden tidak menjawab.
Dewan Etik Persepi menyelidiki metodologi keduanya hingga akhirnya menerbitkan kesimpulan.
Persepi menyatakan Poltracking tidak bisa membuktikan bahwa datanya sahih.
Sebagai asosiasi, Persepi memberi sanksi melarang Poltracking merilis hasil survei tanpa mendapat persetujuan dan pemeriksaan dewan etik.
Poltracking pun memilih keluar dari Persepi daripada mematuhi sanksi yang menurut mereka tidak tepat.
"Melalui surat ini, kami Poltracking Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," ujar Direktur Poltracking Indonesia, M. Aditya Pradana dalam keterangannya, Selasa (5/11/2024).
Aditya juga mengirimkan sejumlah keberatan Poltracking atas sanksi yang diberikan oleh Persepi.
Poltracking pun memilih keluar dari Persepi daripada mematuhi sanksi yang menurut mereka tidak tepat.
"Melalui surat ini, kami Poltracking Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," ujar Direktur Poltracking Indonesia, M. Aditya Pradana dalam keterangannya, Selasa (5/11/2024).
Aditya juga mengirimkan sejumlah keberatan Poltracking atas sanksi yang diberikan oleh Persepi.
Di antaranya, Poltracking merasa dewan etik Persepi tidak adil dalam menjelaskan tentang perbedaan hasil antara LSI dan pihaknya.
"Pada poin 1, Persepi hanya menjelaskan pemeriksaan metode dan implementasi dari LSI dapat dianalisis dengan baik.
Tapi tidak dijelaskan bagaimana dan kenapa metode dan implementasinya dapat dianalisis dengan baik. Lebih jauh lagi hasil analisis tersebut juga tidak disampaikan ke publik," ujar salah satu poin keberatan Poltracking.
Versi Poltracking, sejak awal pihaknya menyerahkan 2000 data yang diolah pada survei Pilkada Jakarta.
"Lalu dewan etik, meminta raw data dari dashboard, lalu kami kirimkan pada tanggal 3 November 2024. Tidak ada perbedaan antara dua data tersebut," ujar pernyataan Poltracking.
Sementara itu, Direktur Poltracking Indonesia, Masduri Amrawi menjelaskan alasan pihaknya memutuskan keluar dari Persepi.
"Kami merasa Poltracking diperlakukan tidak adil. Sejak hari ini kami telah memutuskan keluar dari keanggotaan Persepi. Kami keluar dari Persepi bukan karena melanggar etik.Tapi karena merasa sejak awal ada anggota dewan etik Persepi yang tendensius pada Poltracking Indonesia," ujarnya.
Poltracking juga menganggap Persepi tidak adil karena hanya menyidang Poltracking dan LSI. Padahal pada waktu yang berdekatan, PPI juga menggelar survei Pilkada Jakarta.
Hasil PPI pun senada dengan Poltracking, berbeda dengan LSI.
"Padahal periode survei LSI dan PPI hanya berjarak 4 hari. Kenapa Persepi hanya memanggil Poltracking dan LSI? Dan sudah mengambil keputusan. Sementara PPI tidak ikut disidang sebagaimana Poltracking dan LSI."
"Padahal hasil survei PPI mirip dengan survei Poltracking. Mestinya semua disidang untuk dilihat secara adil siapa yang bermasalah di dalam survei ini," kata Masduri.
Beda Hasil dengan Litbang Kompas
PPI memang menggelar survei Pilkada Jakarta pada 21-25 Oktober 2024, tak sampai sepekan setelah LSI dan Poltracking.
Namun, secara waktu, PPI justru lebih dekat dengan Litbang Kompas.
Litbang Kompas melakukan survei Pilkada Jakarta pada 20-25 Oktober 2024.
Temuan Litbang Kompas, elektabilitas paslon nomor 3, Parmono Anung-Rano Karno berhasil mengungguli paslon nomor 1, Ridwan Kamil (RK)-Suswono.
Angka keterpilihan Pramono-Rano mencapai 38,3 persen, sedangkan RK-Suswono sedikit di bawahnya, yakni 34,6 persen. Paslon nomor 2, Dharma Pongrekun-Kun Kun Wardana Abyoto hanya mendapat elektabilitas 3,3 persen.
Sementara itu, pemilih Jakarta yang belum menentukan pilihan angkanya cukup besar, mencapai 23,8 persen.
Berbeda dengan Litbang Kompas, hasil survei PPI yang dirilis lebih dulu, Selasa (29/10/2024), menunjukkan keunggulan paslon RK-Suswono.
Elektabilitas RK-Suswono mencapai 47,8 persen, sedangkan Pramono-Rano 38,0 persen dan Dharma-Kun 4,3 persen.
Responden yang tidak tahu atau tidak jawab sebesar 9,9 persen.
Perbedaan besar temuan Litbang Kompas dengan PPI ada pada elektabilitas RK-Suswono dan responden yang tidak menjawab. Sementara untuk elektabilitas Pramono-Rano dan Dharma-Kun cenderung sama angkanya.
Elektabilitas RK-Suswono versi Litbang Kompas hanya 34,6 persen sedangkan versi PPI mencapai 47,8 persen. Selisih mencapai 13,2 persen.
Untuk responden yang tidak menjawab versi Litbang Kompas mencapai 23,8 persen, sedangkan versi PPI hanya 9,9 persen. Perbedaannya 13,9 persen.
Keluar dari Persepi
PPI pun keluar dari Persepi.
Direktur Eksekutif PPI, Adi Prayitno, memastikan PPI keluar dari Persepi karena alasan internal organisasi, tidak terpengaruh hal lain di luarnya.
"Iya benar mundur. Alasan internal organisasi PPI. Gak ada hubungan dengan urusan lain," jelas Adi kepada TribunJakarta, Jumat (8/11/2024).
Adi juga menunjukkan surat bernomor 11/SKL/PBT/XI/2024 tentang pengunduran diri PPI dari Persepi.
Di situ tercantum dua alasan. Pertama, restrukturisasi kepengurusan PPI, dan kedua, evaluasi dan konsolidasi internal arah kebijakan PPI ke depan.
Adi punenggan menanggapi saat disinggung soal beda hasil survei PPI dengan Litbang Kompas.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya