Ubedilah Badrun Dicopot, SETARA Anggap Pembungkaman Berlanjut Meski Jokowi Tak Lagi Presiden RI

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FOTO FILE: Dosen UNJ Ubedilah Badrun usai diklarifikasi KPK soal dugaan KKN Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/1/2022). SETARA Institute menyoroti pencopotan Ubedilah Badrun dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Sosiologi UNJ tanpa alasan yang jelas.

TRIBUNJAKARTA.COM - SETARA Institute menyoroti pencopotan Ubedilah Badrun dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tanpa alasan yang jelas.

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendarti menyebutkan aktivitas Ubedilah Badrun yang berulang kali menyasar dugaan korupsi dan nepotisme keluarga Jokowi diduga menjadi salah satu pemicu utama pencopotannya yang tidak lazim.

Diketahui, Ubedilah Badrun merupakan aktivis 98 serta dosen Universitas Negeri Jakarta.

"Sekalipun secara normatif Rektor memiliki kewenangan, tetapi tidak ada alasan kuat yang bisa diterima karena selama menjabat Ubaid justru berkinerja baik dan mebubuhkan sejumlah prestasi bagi program studi yang dipimpinnya," kata Ubedilah dalam keterangan tertulis, Senin (3/2/2025).

Hendardi menduga rektor UNJ bisa jadi tidak tahu bahwa Jokowi bukan lagi sebagai Presiden RI. Sehingga aktivisme Ubedilah yang kritis terhadap keluarga Jokowi, mesti dibungkam. 

Selain itu, Hendardi melihat Rektor UNJ masih merasa perlu melayani Jokowi dan keluarganya. 

"Pembungkaman pasif pada para akademisi dan aktivis menjadi cara untuk melemahkan perlawanan, kritisisme dan aktivisme yang dipraktikkan  Jokowi saat menjabat. Hanya segelintir guru besar dan akademisi yang tetap gigih bersuara meski dihadapkan pada tekanan dan pembungkaman pasif," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, pembungkaman pasif umumnya dialamatkan pada akademisi dan tokoh masyarakat dengan cara menghambat laju karir, misalnya untuk menjadi guru besar, atau mencopot jabatan di dalam kampus.

"Jika pembungkaman aktif dilakukan dengan kriminalisasi kebebasan berpendapat yang banyak menimpa aktivis HAM, aktivis bantuan hukum dan lingkungan," ujarnya. 

Hendardi juga menilai rektor lebih banyak menjadi tangan kekuasaan selama Jokowi menjabat dan selama musim Pemilu dan Pilkada, baik untuk mengendalikan aktivisme kampus maupun menyediakan dalil-dalil pembenaran atas tindakan sebuah rezim. 

"Pembungkaman pasif terbaru bagi kalangan kampus adalah iming-iming konsesi tambang, melalui agenda revisi superkilat UU Minerba yang sedang berlangsung," katanya.

Merujuk Indeks HAM SETARA Institute 2024, skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah 1,1, menurun 0,2 poin dari Indeks HAM 2023 pada skla 1-7. Sementara Economist Intelligence Unit (EIU) yang merilis Indeks Demokrasi negara-negara di dunia, menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 di 2023 turun dua tingkat dari 2022. 

"Kondisi demokrasi dan kebebasan sipil tidak akan berubah di Era Prabowo Subianto," katanya.

Hendardi mengatakan Prabowo Subianto juga tidak memiliki imajinasi pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia, sebagaimana tergambar pada 100 hari kepemimpinannya.

Hal itu, kata Hendardi, selain beban pelanggaran hukum dalam meraih kekuasaan dengan mengakali berbagai aturan melalui Mahkamah Konstitusi.

"Tidak ada peta demokrasi yang dirancang, tidak ada agenda HAM disusun dan tidak ada tanda supremasi hukum akan digdaya. Alih-alih memperkuat supremasi sipil, Prabowo Subianto justru mendorong supremasi militer dengan melibatkan sebanyak dan seluas-luasnya purnawirawan, pejabat dan anggota TNI aktif dalam urusan-urusan sipil," katanya.

Diberitakan, pencopotan Ubedilah Badrun tak lama setelah dirinya yang tergabung dalam kelompok Nurani 98 melaporkan Jokowi dan keluarganya atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke KPK, Selasa (7/1/2025).

Aktivis 98 yang tergabung dalam kelompok Nurani 98 melaporkan Jokowi dan keluarganya atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke KPK , Selasa (7/1/2025).

Laporan itu menindaklanjuti rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang menempatkan Jokowi dalam daftar tokoh terkorup pemimpin dunia 2024.

"Kenapa kami datang lagi ke sini? Karena ada konfirmasi yang cukup kuat dari laporan OCCRP itu," kata salah satu anggota Nutrabi 98, Ubedilah Badrun, Selasa (7/1/2025). 

Laporan tersebut menjadi laporan tambahan atas hal serupa yang pernah dilakukannya pada tahun 2022 dan 2024 lalu.

"Untuk hari ini meminta KPK kembali menelaah dan membuka laporan saya sebelumnya yaitu tahun 2022 dan tahun 2024 tentang dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta tindak pidana pencucian uang terhadap Joko Widodo dan keluarganya," kata Ubed. 

Sementara, Jokowi mengaku bahwa dirinya sudah terbiasa dengan laporan semacam itu.

"Ya enggak apa-apa, kan boleh-boleh saja siapa pun (melapor)," kata Jokowi, Rabu (8/1/2025) dikutip dari TribunSolo.com. 

"Enggak sekali dua kali," kata Jokowi sambil tertawa. 

Jokowi mempersilakan, KPK menindaklanjuti laporan tersebut. 

Ia juga tak mempersoalkan jika KPK melakukan pengecekan terhadap harta kekayaannya. 

"Kalau dicek ya dicek aja," ujarnya.  (Tribunnews.com/TribunJakarta.com)

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Berita Terkini