Tak cukup satu cuitan Mahfud MD menjelaskan apa itu garis keras dalam politik.
Dalam cuitan berikutnya, Mahfud MD memberikan contoh dirinya sebagai orang Madura masuk kategori garis keras dalam konteks setia atau taat terhadap agamanya, yaitu Islam.
Pandangan orang Madura soal ketaatan akan Islam sama seperti orang Aceh dan Bugis.
Mereka fanatik karena tingginya kesetiaan mereka terhadap agama Islam sehingga sulit digoyahkan.
"Dalam term itu saya juga berasal dari daerah garis keras yaitu Madura.
Madura itu sama dgn Aceh dan Bugis, disebut fanatik karena tingginya kesetiaan kepada Islam sehingga sulit ditaklukkan.
Seperti halnya konservatif, progresif, garis moderat, garis keras adalah istilah-istilah yang biasa dipakai dalam ilmu politik," jelas Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini.
Cuitan Said Didu yang tak rela sahabatnya, sebagai lawan berdebat dan teman berpikir, salah jalan, ditanggapi Mahfud MD.
Mahfud MD lalu meminta Said Didu kembali ke pembuktian pokok diskusi.
Sebagai akademisi ia mempercayai hasil hitung cepat lembaga survei tentang perolehan suara dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden, yakni Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga.
Setelah itu, Mahfud MD meminta Said Didu membuktikan, karena katanya BPN Prabowo-Sandi punya C1 Plano yang menjadi klaim Prabowo dirinya menang di Pilpres sebesar 62%.
"Kembali ke pembuktian pokok diskusi sj Pak. Sy percaya hsl QC sulit dibalik krn sy akademisi. Skrng tinggal Pak Didu yg membuktikan, katanya BPN sdh pny C1 menang 62% dan sdh minta bantuan C1 milik Bawaslu sbg penguat. Lht real count-nya. Mana yg menang. Tak usah numggu 22 Mei," balas Mahfud MD.
Said Didu menjawab bahwa menang kalah di Pilpres 2019 tak ditentukan oleh quick count atau real count KPU.
Sepengetahuan dia, siapa menang dan kalah ditentukan berdasar hasil rapat pleno penetapan hasil pemilu KPU secara berjenjang.
Sehingga ia mengajak Mahfud MD untuk sama-sama menunggu keputusan KPU RI.