Aktivis Perempuan : Korban Kekerasan Seksual Dipaksa Diam oleh Keluarga dan Lingkungan
Tak hanya dalam kasus kekerasan seksual. Dalam ranah rumah tangga, perempuan kerap dipersalahkan.
Penulis: Bima Putra | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Hari perempuan Internasional yang jatuh pada hari ini menjadi momentum bagi perempuan untuk berani menyerukan diskriminasi dan kekerasan yang dialami.
Hal ini diserukan oleh Parade Juang Perempuan Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, seperti buruh, kelompok difabel, korban kekerasan HAM dan kelompok perempuan.
Mereka melakukan aksi demo di depan gedung DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan di seberang Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat.
Baca: Nekat Lari di Perlintasan Kereta, Pria Tewas Ditabrak Commuter Line di Kedoya
Anggota tim negosiasi yang mewakili massa untuk dapat diterima pihak Istana Negara, Aprillia mengatakan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kerap dipaksa bungkam.
"Korban kekerasan seksual dipaksa diam oleh keluarga dan lingkungannya. Bila mereka berusaha melaporkan kasusnya, mereka akan dianggap sebagai aib keluarga," kata Aprillia kepada TribunJakarta.com.
Sebabnya, stigma korban kekerasan seksual seperti perkosaan masih dianggap sebagai terjadinya perkosaan.
Aprillia menjelaskan bila korban perkosaan dianggap sebagai perempuan 'nakal' yang kerap mengenakan pakaian minim.
"Karena dia korban kita harus membantu agar dia berani melawan dan melaporkan kasus yang menimpanya. Bukan justru ditanya pakai bajunya minim apa enggak," lanjut dia.
Baca: Rayyan Berduka, Bocah yang Viral di Medsos Kehilangan Ibu Selamanya
Tak hanya dalam kasus kekerasan seksual. Dalam ranah rumah tangga, perempuan kerap dipersalahkan.
"Misalnya suaminya selingkuh, ada anggapan kalau mungkin istrinya yang. Jadi semua masih melihat perempuan sebagai pihak yang salah," tegasnya.
Menurutnya, perempuan masih dianggap sebagai makhluk kelas dua.
Sehingga apa pun yang dialami perempuan dianggap tidak penting.
"Disuruh di rumah aja diem, enggak boleh ngomong, enggak boleh kritis. Saya sih melihatnya masih seperti itu," ujar Aprillia.
Dia mengatakan bila stigma yang menyalahkan perempuan bersumber dari budaya patriarki.
Yakni budaya yang menjadikan laki-laki memiliki peran dominan, sedangkan perempuan hanya perlu mengikuti keinginan laki-laki.
Lebih lanjut, anggota LBH Jakarta ini mengatakan adanya kesalahpahaman tentang perempuan yang menuntut kesetaraan peran.
"Kesetaraan gender kan bukan berarti siapa yang lebih tinggi, tapi sama posisinya," ucap dia. Kamis (8/3/2018).
Dia mengatakan bila laki-laki juga bisa mengalami kekerasan seksual, karena itu pemahaman kesetaraan gender diperlukan.
Aprillia mengatakan bila siapapun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual.
"Siapapun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, mau dia tidak berpendidikan atau sangat berpendidikan. Selama dia melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua, siapapun dapat menjadi pelaku," tandasnya.
Dia menegaskan bila tidak semua perempuan mendukung perempuan yang menjadi korban kekerasan.
"Harus adil sejak dalam pikiran, enggak boleh hanya menyalahkan perempuan. Kalau memang laki-laki dan perempuannya salah ya salah," ucap dia.