Alasan Mahfud MD Tak Akan Aktif Kampanye Jadi Cawapres
Sehingga akan ada banyak pilihan untuk menemukan calon wakil presiden terbaik.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA- Masuknya nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo dinilai sebagai tanda demokrasi berjalan baik.
Sedangkan Mahfud menyatakan dirinya tidak ingin menjadi cawapres.
"Bagus juga perkembangan demokrasi, artinya suara lain dari mainstream itu bisa muncul, dari masyarakat seperti saya," ujar Mahfud MD ketika dimintai komentar tentang namanya yang masuk bursa cawapres Jokowi.
Baca: Agus Harus Pulang dan Tak Bisa Rasakan Kemenangan Dramatis Persija di GBK, Alasannya Bikin Haru
Lebih jauh Mahfud mengatakan, dirinya tidak ingin menjadi cawapres.
Dalam artian dirinya tidak akan aktif mempersiapkan menjadi cawapres.
Mahfud akan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang berlaku.
"Tetapi saya juga bukan tidak mau (jadi cawapres), karena kalau tak mau itu diartikan sombong, pada akhirnya kita serahkan ke mekanisme dan itu ada di tangan capres dan partai partai," kata Mahfud yang ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3/2018) siang.
Mahfud berharap bursa calon wakil presiden akan menghadirkan banyak calon.
Sehingga akan ada banyak pilihan untuk menemukan calon wakil presiden terbaik.
Baca: Begini Cerita Warga Bintaro Bisa Jual Motor Astrea Grand 1991 Seharga Rp 80 Juta
"Yang penting bagi saya, silakan banyak calonnya, bukan hanya satu atau dua, silakan diolah sebaik mungkin, kalau perlu dilihat dari sumber sumber lain dan dipertimbangkan. Pada akhirnya, nanti bersama calon yang bersangkutan, yang menentukan bersama koalisinya. Demokrasi sehat nggak perlu tegang tegang," katanya.
Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, cawapres bagi Jokowi di 2019, terbuka untuk orang yang berlatar belakang parpol maupun non-parpol.
"Semua yang terpanggil sebagai pemimpin untuk bangsa juga memiliki komitmen sama. PDIP selalu membuka ruang bagi hadirnya kepemimpinan dari parpol ataupun dari luar parpol yang menurut PDIP memiliki kualifikasi kepemimpinan yang baik. Tapi ciri kepemimpinan adalah dia bergerak ke bawah. Dia harus memahami siapa yang dipimpinnya," ujar Hasto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Namun menurut Hasto alangkah baiknya bila cawapres Jokowi nanti merupakan hasil dari kaderisasi partai, karena partai membentuk kepemimpinan seseorang.
"Bagi PDIP alangkah lebih baiknya mereka melalui kaderisasi internal partai. Mengingat ada kekuatan kolektif yang juga jadi kekuatan riil mereka yang mendampingi Jokowi," katanya.
Terpisah, Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Agung Laksono, ingin agar seluruh partai koalisi pendukung Presiden Joko Widodo pada Pilres 2019 berlaku adil.
Menurut Agung, adil diperlukan dalam proses menentukan siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi Presiden Jokowi.
"Kami berharap, pilpres yang akan datang, partai partai koalisi harus sharing yang adil, sehingga pemerintahan kompak dan kuat," kata Agung di Kantor Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro 1957, Jakarta, Rabu.
Apalagi, imbuh Agung, dirinya yakin seluruh partai politik akan ngotot menyodorkan nama calon wakil presiden pilihannya masing masing kepada Presiden Jokowi. "Saya yakin tidak akan ada partai yang tidak usung capres dan cawapres. Saya yakin mereka akan usung capres dan cawapresnya satu paket," katanya.
Partai Golkar, kata Agung, berharap ketua umumnya, Airlangga Hartarto, bisa dipilih menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres mendatang.
"Tentu kami sebagai partai yang banyak kader kader muda menginginkan kalau bisa Golkar mengusung cawapres. Kalau mengusung presiden sudah Pak Jokowi," ujarnya.
Jokowi saat ini sudah mendapat dukungan dari lima parpol di DPR untuk kembali maju sebagai capres pada Pilpres 2019. Kelima parpol tersebut, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Masih ada lima parpol lain yang belum menentukan sikap, yakni Gerindra, PKS, PAN, PKB dan Partai Demokrat. (fik/kps)