Setnov Sebut Nama Puan Maharani dan Pramono Anung, Hasto Bantah Tuduhan Setnov
Made Oka Masagung diduga menjadi perantara uang suap untuk Setya Novanto dan anggota DPR lain terkait proyek e KTP.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, menyatakan bahwa dua politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yakni Puan Maharani dan Pramono Anung, juga kecipratan fee proyek e-KTP. Masing-masing dari keduanya menerima 500 ribu dolar AS.
Setnov menyatakan tidak mengetahui peran Pramono Anung dan Puan Maharani dalam proyek e KTP.
Setnov mengaku dirinya diberi tahu oleh temannya, Made Oka Masagung, bahwa Pramono dan Puan masing masing menerima 500 ribu dolar AS.
Baca: Begini 10 Potret Persahabatan Zaskia Sungkar dan Laudya Chyntia Bella
"Saat itu Puan menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan dan Pramono Anung sebagai Wakil Ketua DPR," ujar Setnov dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menanyakan alasan Made Oka Masagung memberikan uang kepada Pramono dan Puan.
Menurut Novanto, saat itu Oka menyatakan bahwa dia memiliki kedekatan dengan keluarga Soekarno.
"Oka ada kedekatan, ada sejarahnya. Kedekatan keluarga Soekarno dan keluarga Oka. Itu menurut Oka," ungkap Setnov.
Dalam kasus ini, Made Oka Masagung diduga menjadi perantara uang suap untuk Setya Novanto dan anggota DPR lain terkait proyek e KTP.
Rekening Oka di Singapura pernah menerima uang dari perusahaan Biomorf yang diwakili Johannes Marliem.
Selain itu, juga menerima uang dari PT Quadra Solutions. Quadra merupakan perusahaan yang ikut dalam konsorsium proyek e KTP.
Sementara, Biomorf adalah penyedia produk biometrik dalam proyek e KTP.
Pramono Anung yang kini menjabat Sekretaris Kabinet membantah pernyataan Novanto.
Baca: 5 Fakta Terbaru CW, Ibu yang Diduga Aniaya Anak Asuhnya di Kamar Hotel
Ia menegaskan, saat proyek e KTP bergulir, dirinya menjabat Wakil Ketua DPR. Namun, jabatan itu tak berkaitan dengan Komisi II yang membahas proyek e KTP.
"Periode 2009 2014, saya pimpinan DPR yang membawahi dan mengkoordinasikan Komisi IV sampai dengan Komisi VII. Sama sekali tidak berhubungan dengan Komisi II dan juga sama sekali tidak berhubungan dengan Badan Anggaran," ujar Pramono saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta Kamis.
"Logikanya, kalau ada yang memberi (uang), pasti yang berkaitan dengan jabatan dan kedudukannya. Dalam hal ini, saya tidak pernah ngomong satu katapun yang berkaitan atau berurusan dengan e KTP," katanya.
Sementara itu, Sekjen PDIP. Hasto Kristiyanto juga membantah tudingan Puan Maharani dan Pramono Anung menerima aliran dana korupsi e KTP.
Hasto mengatakan, saat proyek e KTP dijalankan, PDIP sebagai oposisi tidak memiliki menteri di pemerintahan sehingga tidak ikut mendesain proyek tersebut.
"Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar dan kami siap diaudit terkait hal tersebut," kata Hasto melalui keterangan tertulis, Kamis.
Hasto juga mengatakan, PDIP justru memiliki konsep e KTP yang berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu.
Ia menambahkan, saat ini ada fenomena seorang terdakwa menyebut banyak nama di dalam persidangan agar dijadikan justice collaborator (JC).
Hasto menilai, aksi Novanto menyebut nama Puan dan Pramono merupakan upaya mendapatkan status JC yang akan meringankan dakwaan.
Hasto juga menduga, ada upaya menyudutkan PDIP melalui kasus e-KTP.
Baca: Setelah Kodaline, Twitter Abdul di Follow Adam Levine
Hasto menyatakan, PDIP pada prinsipnya menyetujui e-KTP. Namun PDIP memiliki konsep e KTP yang berbeda dari yang dijalankan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu PDIP menginginkan agar e KTP dibangun dari hasil integrasi data pajak, BKKBN dan kependudukan.
Hasil integrasi data itu lantas divalidasi melalui sistem single identity number. Sistem tersebut juga diintegrasikan dengan rumah sakit, puskesmas, hingga ke dokter kandungan dan bidan.
PDIP, kata Hasto, berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri saat Itu, Gamawan Fauzi, seharusnya memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e KTP.
"Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab pemerintahan tersebut pada awal kampanyenya menjanjikan 'katakan tidak pada korupsi', dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi," kata Hasto. (fik/kps)