Cerita Ketua MK Anwar Usman: Main Film Peraih Piala Citra dan Pengagum Broery Marantika
Cerita Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih Anwar Usman unik, pernah main film dan meraih Piala Citra, pengagum Broery Marantika.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjelaskan, akan berbeda ceritanya apabila tidak bermain film ketika dia masih kuliah.
Saat main film ia harus mendengarkan amarah orangtuanya di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Andai saja orangtuanya tak memarahi, kisah hidup Anwar mungkin tak menjadi orang nomor satu di MK.
Anwar menggantikan Arief Hidayat yang telah mengakhiri masa jabatanya sebagai hakim konsitusi periode 2013-2018.
Meski telah dipilih kembali dan mengucap sumpah jadi hakim konsitusi periode 2018-2023, jabatan Arief sebagai ketua MK tetap berakhir.
Arief Hidayat tidak bisa maju lagi jadi dalam pencalonan ketua MK karena tidak memiliki hak untuk dipilih kembali.
Sebab, Arief sudah dua kali dipilih sebagai ketua MK, yakni pada 2015 dan 2017 lalu.
Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Ayat 3a Undang-Undang MK dan Pasal 2 Ayat 6 PMK Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK.
"Mereka memarahi saya, bilang ke Jakarta mau kuliah atau main film sih? Dari situ, saya memilih untuk kuliah yang benar," ucap Anwar usai mengucapkan sumpah jabatan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Anwar Usman terpilih sebagai Ketua MK periode 2018-2020 melalui pemungutan suara oleh sembilan hakim konsitusi pada Senin (2/4/2018).
Sebelum dipilih sebagai ketua MK, Anwar Usman merupakan wakil ketua di lembaga itu.
Pada 1980, Anwar mendapat peran di film "Perempuan dalam Pasungan" besutan sutradara Ismail Soebarjo.
Film yang dibintangi Nungki Kusumastuti, Frans Tumbuan dan Rini S Bono itu begitu tenar, bahkan meraih Piala Citra.
Begitu film tersebut sampai di Bima, orangtua Anwar lantas mempertanyakan tujuan anaknya ke Jakarta.
Belum selesai, orangtua Anwar, menonton adegan anaknya sedang berjalan dengan seorang wanita di dalam film.
"Pas tahu, ya sudah. Habis saya. Bubar semuanya," kelakar doktor lulusan Universitas Gadjah Mada itu.
Belajar dari seni peran itu, Anwar memiliki kepercayaan diri dan mempunyai tutur bahasa dan mampu mengelola sikap yang baik di depan publik.
"Coba lihat tadi, saat saya memberi sambutan. Awal sekali saya semangat, kemudian sempat terdiam sebentar untuk mengucap terima kasih kepada Pak Arief. Nah, itulah ciri-ciri orang Teater," Anwar terkekeh.
Anwar juga mengaku suka sekali bernyanyi, terutama lagu-lagu Broery Marantika dan lagu dangdut.
"Kalau nyanyi, saya jago," tukas pria yang sebelumnya berkiprah di Mahkamah Agung itu.
Tak menutup kemungkinan Anwar akan balik mendalami seni peran usai tak menjabat sebagai Ketua MK.
Saat ini Anwar akan menjalankan tugasnya sebaik mungkin dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak konstitusi itu.
"Tidak ada yang tahu ke depan. Sekarang, saya mau fokus di jabatan ini dulu," tukasnya.
Anwar merupakan Lulusan Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri yang mengawali kariernya sebagai guru honorer pada 1975.
Ia merantau ke Jakarta dan menjadi guru honorer pada SD Kalibaru.
Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.
Sukses meraih gelar sarjana hukum, Anwar mencoba mengikuti tes calon hakim.
Keberuntungan pun berpihak padanya ketika ia lulus dan diangkat menjadi calon hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985, inilah awal kariernya.
Di Mahkamah Agung, jabatan yang pernah didudukinya antara lain menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997-2003, yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya sebagai Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003-2006.
Lalu pada 2005, dirinya diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
Dia juga tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung periode 2006-2011.
Anwar resmi menjadi hakim konstitusi setelah mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, pada 2011 lalu.
Dia diangkat menjadi hakim konstitusi melalui Keputusan Presiden No 18/P Tahun 2011 tertanggal 28 Maret 2011, menggantikan H M Arsyad Sanusi.
Kala itu, Anwar merupakan hakim konstitusi ketujuh yang diusulkan Mahkamah Agung.
Menurut urutan, Anwar adalah hakim konstitusi ke-18 di MK.
Pada 2015, Anwar kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2015-2017 dan terpilih kembali menjadi Wakil Ketua MK periode 2016-2018.
Kemudian pada Senin (2/4/2018), Anwar terpilih sebagai Ketua MK melalui rapat pleno hakim.
Ucapkan innalillahi
Ucapan syukur tak keluar dari mulut Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru terpilih, seperti umumnya pejabat yang mendapat posisi baru.
"Inalillahi wainailaihi raji'un, sesungguhnya segala sesuatu datangnya dari Allah, dan segala sesuatu itu akan kembali kepadanya," ujar Anwar usai mengucap sumpah menjadi Ketua MK di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Sontak saja kalimat itu membuat banyak orang yang menghadiri acara tersebut langsung memandang Anwar Usman yang duduk di kursi majelis hakim konsitusi.
Namun, Anwar punya alasan mengucapkan kalimat yang biasa diucapkan saat seorang muslim mengalami musibah atau mendengar musibah tersebut.
"Saya mengawali sambutan ini dengan kalimat inalillahi karena saya yakin bahwa suatu jabatan pada hakikatnya merupakan ujian yang diberikan kepada hambanya," kata dia.
"Oleh karena itu, bila seseorang menghadapi ujian, maka hanya kepada penciptanyalah tempat dia mengabdi dan memohon pertolongan," sambung Anwar.
Baginya, jabatan sebagai Ketua MK bukanlah main-main.
Sebab, tanggung jawabnya tidak hanya di dunia namun di akhirat nanti. Dalam perspektif agama Islam, tutur dia, hakim kerap diibaratkan sebagai wakil tuhan di dunia.
Ia berhak untuk memutus perkara dan menentukan nasib seseorang atau suatu kaum.
Dalam perspektif tata negara, hakim bahkan dapat membatalkan apa yang telah menjadi keputusan lembaga parlemen atau eksekutif bila keputusan itu dianggap melawan hukum atau merugikan orang banyak.
Dengan kewenangan besar ucap dia, maka seorang hakim harus menjaga kemuliaan dirinya dan jabatanya agar dapat dipertanggung jawabkan tidak hanya di dunia, namun di akhirat kelak. (TRIBUNNEWS.COM/KOMPAS.COM)