Kisah Pelajar SMP yang Menikah Dini: Dicap Anak Nakal dan Tunda Hamil Demi Gapai Cita-cita Dokter
"Saya belum mau punya anak. Nanti kalau sudah lulus SMA barulah punya anak. Kami sudah sepakat semua berdasarkan saran dari dokter di puskesmas,"
Penulis: Erik Sinaga | Editor: Erik Sinaga
TRIBUNJAKARTA.COM, BANTAENG- Masih ingat cerita dua remaja di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang berjuang hingga Pengadilan Agama untuk mendapatkan izin menikah? Senin lalu, 23 April 2018, mereka resmi menikah meski berusia di bawah ketentuan usia pernikahan.
Ayah dari FA (14) dan SY (15) sama-sama hadir sebagai saksi. FA, siswi SMP yang menikah dengan pacarnya, SY, sebelumnya disebut mengalami kesepian setelah ditinggal ibunya meninggal dunia setahun lalu.
Baca: Ketimbang Berpolitik di Car Free Day, Sandiaga Ajak Masyarakat Bersihkan Kali atau Ikut ke Tidung
Hal ini disampaikan Pelaksana Humas Kantor Kemenag Kabupaten Bantaeng Mahdi Bakri berdasarkan pengakuan tante sang pengantin.
"Menurut tantenya, anak ini mau menikah karena takut tidur sendiri di rumah setelah ibunya meninggal setahun yang lalu. Sementara ayahnya selalu meninggalkan rumah keluar Kabupaten untuk bekerja" ungkap Mahdi kala itu.
Kompas.com berkesempatan bertemu dengan FA dua hari sebelum keduanya akhirnya dinyatakan sah sebagai suami istri. Dia lalu bercerita alasannya memutuskan untuk menikah.
Belum ingin menikah
Kondisi ekonomi keluarganya serta kondisi kesehatan orangtua kekasihnya, SY, menjadi alasan utamanya menerima lamaran orangtua SY.
Namun, FA sempat menekankan bahwa sebenarnya, dia dan SY belum ingin menikah.
Namun, menurut FA, ayah SY, Sangkala, dalam kondisi sakit lalu ibu SY, Sannang, pun menemui nenek dan tante-tantenya.
"Orangtua SY datang melamar, ya diterima deh. Sebenarnya saya sama SY belum mau menikah karena kami baru kenal 5 bulan. Apalagi saya masih kecil dan mau bersekolah. Tapi kondisi seperti ini, ya apa boleh buat," tuturnya.
Baca: Kasihan, Remaja Ini Linglung dan Kehabisan Uang Karena Dipalak Preman
Selain itu, pertimbangan mengenai kehidupan ekonomi mereka juga menjadi alasan utama.
Semenjak ditinggal mati ibunya, Darmawati (33), pada tahun 2016 karena sakit tipus dan maag akut, FA mengaku, dia berjuang keras memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Ayahnya, M Idrus Saleh (43), tinggal berpindah-pindah di Kota Makassar bekerja sebagai buruh bangunan.
Fitra yang tinggal bersama kakaknya, Nur Indah (17), dan adiknya, Tri Sallsabilah (4), di rumah orangtuanya di Jl Sungai Calenduk, Kelurahan Letta, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, terkadang kehabisan bahan makanan karena uang kiriman dari ayahnya kerap tak pasti.
Daripada dicap nakal
FA yang masih duduk di bangku kelas VIII pun harus bekerja sambil bersekolah. Sepulang dari sekolah, FA yang berbekal pakaian ganti langsung ke tempat kerjanya di tepi Pantai Seruni.
Dia bekerja sebagai pelayan kafe di tepi pantai dari pukul 15.00 Wita hingga dinihari, sekitar pukul 02.00 Wita.
Baca: Jonathan: Saya Hanya Seorang Ayah yang Senantiasa Berusaha Melindungi Keluarga
Dia biasanya dibayar Rp 30.000 dalam sekali kerja. Kadang, pemilik kafe memberinya Rp 50.000 jika pengunjung Pantai Seruni sedang banyak-banyaknya pada malam minggu.
Dari penghasilan itu, dia bisa membeli makanan untuk adiknya dan membeli vocer listrik saat kiriman dari sang ayah tak cukup. Namun, konsekuensinya, FA kerap kelelahan saat kembali bersekolah pada pagi harinya.
Dia juga jadi digunjingkan oleh teman dan tetangganya karena sering pulang tengah malam.
"Saya biasa dibilangi anak nakal oleh orang-orang dan teman-teman sekolah karena pulang setiap malamnya pada tengah malam. Mereka bahkan, menuduh saya sebagai pencurilah, penjual obatlah, dan berbagai macam. Saya pun sering di-bully teman-teman sekolah di SMP Negeri 2 Bantaeng," ungkapnya.
Mendapat perlakuan itu, FA yang bercita-cita sebagai dokter ini pun sempat patah semangat untuk bersekolah.
Baca: Begal Lintas Provinsi: Tampil Necis saat Beraksi dan Berusaha Tidak Membunuh Korbannya
Padahal, dia menuturkan, sering mendapat rangking 1 sejak masih duduk di kelas 1 SD. Dari semua mata pelajaran di sekolah, FA mengaku paling suka mata pelajaran matematika dan mengaji ayat-ayat suci Al Quran.
"Saya dulu bersekolah di Madrasah Tsanawiyah, tapi pindah sekolah karena waktu belajarnya sampai sore. Saya terpaksa pindah sekolah, karena saya harus bekerja mulai jam 3 sore. Tapi di SMA 2, saya malah di-bully dan sering dibilangi anak nakal, pencuri dan sebagainya. Makanya saya mau pindah sekolah lagi, karena saya tidak tahan di sana," tuturnya.
FA juga mengaku tidak mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) seperti yang telah diperoleh teman-temannya.
Padahal, dia aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti OSIS, organisasi kesenian sekolah, dan Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra (IPASS).
"Saya pernah tanya kepada kepala sekolah dan guru-guru di SMP 2, kenapa saya tidak dapat KIP dan KIS. Kata pihak sekolah, karena saya tidak terdaftar. Saya pun diam saja dan pasrah," tuturnya.
Tunda Kehamilan
Meski sempat ragu dengan keputusannya untuk menikah di awal, FA akhirnya yakin bahwa kehidupannya bisa menjadi lebih baik setelah menikah dengan Sy.
Menurut dia, Sy yang telah putus sekolah sejak SD dan kini telah bekerja sebagai buruh bangunan itu mampu menghidupinya dengan penghasilan rutin harian.
"Sy sudah kerja. Biarpun hanya buruh dan berpenghasilan kecil. Tapi insya Allah cukup membantu memenuhi kebutuhan hidup kami. Sy juga orangnya baik dan sangat menyayangiku. Dia tidak pernah berlaku kasar selama pacaran, biar beberapa kali terjadi perselisihan," ungkap FA.
Meski telah berumah tangga, FA mengaku berencana tetap melanjutkan pendidikannya hingga lulus SMA.
Menurut FA pula, dia dan Sy telah sepakat menunda memiliki anak hingga telah lulus SMA. FA telah mendapatkan pendampingan dari bidan puskesmas di kampungnya untuk program menunda kehamilan.
"Saya belum mau punya anak. Nanti kalau sudah lulus SMA barulah punya anak. Kami sudah sepakat semua berdasarkan saran dari dokter di puskesmas," paparnya. (Kompas.com)