Demam Tinggi dan Sesak Nafas Terdakwa BLBI Absen Hadiri Sidang Perdana

"Penyakit beliau mengkhawatirkan betul, kalau tunggu penetapan lama. Kami minta kalau bisa hari ini yang mulia," kata Yusril.

Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung berjalan keluar gedung KPK Jakarta memakai rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan, Kamis (21/12/2017). Syafruddin Arsyad Temenggung ditahan KPK terkait kasus dugaan suap penerbitan surat keterangan lunas (SKL) bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Syafruddin Arsyad Temenggung, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/5/2018) kemarin.

Di akhir persidangan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kuasa hukum menyampaikan kondisi kliennya yang mengalami sakit serius.

"Izin yang mulia, sejak 5 Mei 2018, klien kami demam tinggi dan sesak napas terus menerus. Sudah diperiksa di klinik KPK tapi tidak ada perubahan signifikan. Tiap sore masih demam tinggi. Oleh karena itu dengan tidak mengurangi rasa hormat, mohon yang mulia dapat memerintahkan jaksa KPK agar terdakwa bisa diperiksa komprehensif di RSPAD atau RSCM. Ini demi kelancaran sidang selanjutnya juga," ujar Kuasa Hukum Syafruddin Temenggung, Yusril Ihza Mahendra di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Merespon itu, hakim ketua, Yanto mempersilahkan kubu kuasa hukum untuk mengajukan permohonan selanjutnya dibuat penetapan oleh majelis hakim.

"Penyakit beliau mengkhawatirkan betul, kalau tunggu penetapan lama. Kami minta kalau bisa hari ini yang mulia," kata Yusril.

"Karena ini demi kesehatan, penetapan hari ini pun jadi, sederhana," jawab hakim Yanto.

Diketahui dalam sidang perdana pagi tadi, jaksa telah membacakan dakwaan yang sudah disusun setebal 45 49 halaman.

Dalam dakwaan, disampaikan pula kronologis kejadian untuk mengungkap pelaku lain di kasus ini.

Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa bersama sama dengan Dorojatun Kuntjoro Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum.

"Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul Nursalim belum melakukan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampik piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah olah sebagai piutang yang lancar," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani.

Dijelaskan Jaksa Kiki Ahmad Yani, awalnya pada 4 April 1998, BPPN mengeluarkan SK yang menyatakan BDNI sebagai Bank Take Over.

Selanjutnya, 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank Restrukturisasi.

Kemudian, BDNI mendapat dana BLBI dari BPPN. Bantuan itu berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.

BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh financial advisor yaitu J.P Morgan, Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan pemegang saham pengendali Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).

Setelah perhitungan, jumlah kewajiban Sjamsul sebesar Rp 47,2 triliun yang dikurangi nilai aset sebesar Rp 18,8 triliun.

Maka, besar JKPS terhadap Sjamsul Nursalim sejumlah Rp28.4 triliun.

Dalam kesepakatan, Sjamsul akan membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset sebesar Rp 27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset.

Namun, setelah audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD dan PT WM atas piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI digolongkan sebagai kredit macet.

"Tanggal 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun terdakwa (Syafruddin) tak memberikan laporan rinci ihwal penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya terkait misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun," katanya.

Syafruddin juga tidak melaporkan ada kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi, serta tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.

Akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang berisikan antara lain yakni menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian

Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.

Menurut jaksa, pada 12 April 2004, terdakwa dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir Nomor 16 di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.

Dugaan kerugian negara dalam kasus ini, ungkap jaksa merujuk laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI tanggal 25 Agustus 2017.

Atas perbuatannya, Syafruddin diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah meyakini kasus ini tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Kasus yang merugikan negara Rp 4 triliun itu diduga dilakukan bersama dengan berbagai pihak.

Pihak lain pun, termasuk pemerintah diduga terlibat pada kasus ini.

Untuk saksi yang akan dihadirkan di sidang, Febri meminta agar saksi memenuhi panggilan.

"Saksi yang diperiksa dan dimintai keterangan wajib memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan menyampaikan secara benar," kata Febri.

Diketahui kasus SKL BLBI terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau SKL pada Sjamsul Nursalim, pemegang saham di BDNI yang memiliki kewajiban pada BPPN.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligor BLBI kepada BPPN. SKL dikeluarkan mengacu pada Inpres No 8 tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, saat itu sebagai Presiden RI.

KPK menduga, Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.

Nilai kerugian negara ini kasus ini, menurut KPK lebih tinggi daripada kasus megakorupsi e KTP yang kerugiannya diperkirakan sebesar Rp 3,7 triliun.

Dakwaan Prematur

Yusril Ihza Mahendra angkat suara soal dakwaan terhadap kliennya di sidang perdana Pengadilan Tipikor Jakarta. Menurutnya, dakwaan tersebut terkesan dipaksakan atau prematur.

Dia juga menyatakan dakwaan tersebut sebenarnya hanya menyalin apa yang tertulis dalam Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).

Di MSAA diatur secara detail perjanjian antara kedua belah pihak antara pemerintah dan para debitur BLBI dan kemudian mekanisme penyelesaiannya dan semuanya telah diatur.

Yusril juga mengungkap keganjilan dari perkara yang terkesan dipaksakan, karena jika mengacu kepada isi MSSA tersebut, seharusnya perkara ini tidak cukup bukti untuk bisa menjerat kliennya.

"Sudah 19 tahun lamanya, MSAA ini ada dan sudah ditutup dan dianggap sudah selesai semuanya. Tidak pernah ada gugatan dari pihak pemerintah terhadap kasus ini. Jadi kasus ini dianggap sudah selesai dalam perdata. Tiba tiba kalau sekarang KPK menganggap bahwa ada unsur tindak pidana korupsi, itu didasarkan pada audit BPK yang baru atas perintah KPK sendiri," katanya.

Padahal kata Yusril, sebelumnya keputusan yang diambil oleh KKSK pada 2004 sendiri sudah berdasarkan hasil atas audit dari BPK pada waktu itu yang menyatakan bahwa kasus BDNI itu sudah selesai seluruhnya hingga diterbitkan SKL.

"Kemudian tahun 2017 dilakukan audit lagi, audit investigatif atas permintan KPK dan hasilnya lain, itu menjadi tanda tanya juga dari kami. Karena hasil audit BPK yang sudah ada pada tahun 2006 itu dan telah melahirkan pada suatu kebijakannya itu tidak bisa dianulir oleh kebijakan BPK yang baru," katanya.

Yusril juga melanjutkan kliennya bukanlah pihak yang bertanggung jawab terhadap penjualan aset bekas PT Dipasena. Selain persidangan di Pengadilan Tipikor, diungkap Yusril kliennya juga tengah menjalani persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Syafruddin tambah Yusril menggugat Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset Persero (PPA) karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. (Tribun Network/fel/wly)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved