8 Hal Gaji BPIP yang Besar: Disindir Hamburkan Uang Rakyat, Menkeu: Jangan Samakan dengan Malaysia

“Dewan Pengarah, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja," ujar Fadli

Penulis: Erik Sinaga | Editor: Erik Sinaga
istimewa
Ketua Dewan Pengarah dan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri menemui Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. 

TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR- Polemik terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) semakin menghangat.

Perpres tersebut disoroti, utamanya dari kalangan politikus, karena gaji untuk BPIP yang dinilai terlalu besar. Saking besarnya, oleh sejumlah pihak, BPIP mendapatkan 'upah' yang lebih besar dibandingkan Presiden.

Dikutip dari Perpres 42/2018 yang diunduh dari situs setneg.go.id, Senin (28/5/2018), Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp 112.548.000 per bulan.

Baca: Terlahir Tanpa Hidung, Bayi Finch Selalu Tersenyum, Simak Foto-fotonya

Sementara itu, jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan. Anggota Dewan Pengarah terdiri dari delapan orang, yakni Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya.

Adapun Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif mendapatkan Rp 76.500.000. Selanjutnya, Wakil Kepala Rp 63.750.000, Deputi Rp 51.000.000 dan Staf Khusus Rp 36.500.000. Selain gaji bulanan, Perpres 42/2018 juga mengatur para pimpinan, pejabat dan pegawai BPIP juga akan menerima fasilitas lainnya berupa biaya perjalanan dinas.

1. Apa sih sebenarnya BPIP itu?

BPIP adalah badan baru yang didirikan di era Jokowi lewat Perpres Nomor 7 Tahun 2018.

Salah satu tugasnya sebagaimana dikutip dari Perpres itu, yakni membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.
Awalnya, pada Mei 2017 lalu, Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Namun, pada Februari 2018, Jokowi meningkat statusnya menjadi Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP).

Anggota BPIP adalah Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Maruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenyaa.

Mahfud MD
Mahfud MD (Google)

2. Anggota Tidak Pernah Minta Gaji

Mahfud MD, yang pernah memimpin Mahkamah Konsitutsi, turut menyampaikan pendapatnya mengenai besaran gaji tersebut.

Dalam akun resminya, Mahfud mengatakan pada Minggu (27/5/2018), jika selama menjabat sebagai pengarah di BPIP, pihaknya tak pernah menanyakan gaji, dan bahkan tak menerima gaji.

Ia menyatakan jika semua orang yang ada di sana bahkan tak pernah menyinggung persoalan tersebut.

Baginya, pejuang pancasila tak akan rakus, apalagi sampai melahap uang yang tak wajar.

"Sy sendiri blm tahu persis ttg itu. Kami sendiri di BPIP, sdh setahun bekerja, tdk pernah membicarakan gaji," kata Mahfud dalam twitternya.

Sampai harin ini pun Dewan Pengarah tak serupiahpun pernah mendapat bayaran dari kesibukan yang luar biasa di BPIP.

Ke-mana2 kami pergi tidak dibiayai oleh BPIP.

(BPIP-4) Bahkan yg sering dipesankan oleh Bu Megawati dan Pak Tri Sutrisno setiap rapat, "Lembaga ini menyandang ideologi Pancasila, jangan sampai ada kasus atau kesan kita ini makan uang negara. Apalagi sampai dipanggil oleh KPK". Itu komitmen.

Kami tidak pernah menanyakan gaji.

(BPIP-5) Selama ini yg terdengar luas di masyarakat BPIP tdk digaji dan kegiatannya masih menumpang di kegiatan setneg atau mendirong masyarakat melaksanakan kegiatan.

Kami sendiri sdh sering mengatakan kpd pers, kami tdk mengurus gaji dan kami akan terus bekerja utk NKRI.

4. Disindir Hamburkan Uang Rakyat

Seniman sekaligus aktivis Ratna Sarumpaet memberikan tanggapan soal besaran gaji yang diterima pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Pantauan TribunWow.com, hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitternya yang diunggah pada Senin (28/5/2018).

Awalnya, akun @maspiyuuu menyebut jika gaji tersebut menghambur-hamburkan uang rakyat.

Baca: Pangeran Charles Telah Berusaha Mencintai, Ternyata Sikap Putri Diana Membuat Semuanya Berantakan

Ia pun menanyakan kenapa di saat ekonomi rakyat sulit mereka tega makan uang rakyat sebanyak itu?

i: Pengarah BPIP Digaji Rp 100 Juta: Mahfud MD-Syafii Maarif-Said Aqil-Mar'uf Amin-DLL

Baru tahu Pancasila itu menghambur-hamburkan duit rakyat...

ASTAGHFIRULLAH... di saat ekonomi rakyat sulit. Kok tega ya makan duit rakyat 100 juta/bulan?

Postingan itu kemudian mendapat tanggapan dari @BasirWahyu yang mengatakan jika rakyat tidak ikhlas dengan gaji yang diberikan kepada mereka, maka itu akan menjadi uang haram.

@BasirWahyu: jika rakyat tidak ikhlas, uang itu akan jadi uang haram, mereka mau makan uang haram di usia tuanya??

Ratna Sarumpaet pun memberikan komentar dengan menyebut nama Mahfud MD.

@RatnaSpaet: Aku Pancasila.

Aku hambur2kan uang rakyat gak perduli mereka menderita @mohmahfudmd Itu kali maksudnya.

5. Aneh Jika BPIP Tidak Menolak

Menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42/2018 mengenai besaran gaji yang diterima para pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritisi gaji yang diterima Dewan Pengarah lembaga tersebut.

Ia menjelaskan bahwa jabatan tersebut hanya merupakan anggota kehormatan saja. Keberadaan Dewan Pengarah dianggap sebagai 'peminjaman' wibawa saja bagi suatu lembaga.

“Dewan Pengarah, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja," ujar Fadli, dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/5/2018).

Baca: Bantah Kemendagri, KPK Sebut KTP Elektronik yang Tercecer di Bogor Bukan Barang Bukti Kasus e-KTP

Fadli menilai seharusnya keberadaan Dewan Pengarah tidak memiliki fungsi yang berarti terkait jalannya suatu kelembagaan.

"Jadi, mereka seharusnya tak punya fungsi eksekutif sama sekali," jelas Fadli.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra itu pun menganggap aneh saat mengetahui bahwa ternyata hak penghasilan yang diatur dalam Perpres tersebut menyatakan bahwa besaran gaji Dewan Pengarah BPIP jauh lebih besar dibandingkan Kepala BPIP.

Hal itu karena yang menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam lembaga tersebut adalah Kepala BPIP dan pejabat dibawahnya. "Aneh sekali jika mereka kemudian digaji lebih besar daripada pejabat eksekutif BPIP," kata Fadli.

Lebih lanjut Fadli menyindir 'aneh' jika jajaran pejabat Dewan Pengarah tidak melakukan penolakan terhadap struktur gaji yang juga ternyata melebihi gaji Presiden dan Wakil Presiden RI.

"Lebih aneh lagi jika mereka semua tidak memberikan penolakan atas struktur gaji yang aneh ini," tegas Fadli.

Lebih lanjut, Fadli menilai Perpres tersebut menunjukkan pemborosan yang dilakukan oleh pihak Istana.

Baca: Ini Kumpulan Sejumlah Ucapan Hari Raya Waisak 2018

Menurutnya, BPIP tidak seharusnya mendapatkan gaji setingkat standar gaji Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

BPIP merupakan lembaga non-struktural dan tidak selayaknya mendapatkan standar gaji yang melebihi lembaga tinggi di negara lainnya.

“Perpres itu menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran," ujar Fadli, dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/5/2018).

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra itu kemudian menegaskan bahwa Perpres tersebut juga membuktikan inkonsistensi reformasi birokrasi yang selama ini didengungkan pemerintah.

"Sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu didengung-dengungkan," tegas Fadli.

6. Malu Pada Mahathir Muhammad

Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso mengaku kaget mengetahui gaji Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebesar Rp112 juta.

Padahal menurutnya gaji Presiden saja hanya sebesar Rp 62.740.030, sedangkan Wakil Presiden setiap bulan hanya mendapat Rp 42.160.000.

“Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya membaik ini, sungguh tidak elok memberi gaji pejabat sebesar itu,” kata Priyo, Senin (28/5/2018).

Ia mengatakan pemerintah memang memiliki hak untuk memberikan gaji kehormatan. ‎Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, disebutkan, gaji pokok tertinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, hanya sebesar Rp 5.040.000/bulan.

Baca: Tuntuan Kebutuhan Keluarga, Ibu 4 Anak Ini Produksi Ribuan Liter Miras Hasil Belajar Sendiri

Bahkan, gaji Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR, Wakil Ketua DPA, Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, dan Wakil Ketua MPR yang tidak merangkap Wakil Ketua DPR, hanya sebesar Rp 4.620.000 sebulan. Sehingga, ketika melihat gaji Megawati ini, besarannya sangat jauh melebihi rata-rata pejabat tinggi negara lainnya.

Priyo yakin cepat atau lambat, publik dan masyarakat luas akan tahu ketidakpantasan ini. Akan segera timbul pertanyaan yang meluas di masyarakat.

“Atas dasar pamrih apa pemerintah memutuskan gaji Megawati sebesar itu? Apakah keputusan gaji besar itu tepat, adil, dan patut?” katanya.

Menurut Priyo‎, keputusan Presiden Jokowi memberi gaji besar kepada Megawati menjadi sangat paradoks jika dibandingkan dengan keputusan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang akan memotong gaji seluruh menteri kabinetnya sebesar 10 persen.

Di tengah situasi krisis ekonomi Malaysia yang juga terjerat hutang ribuan triliun, Mahathir mencoba mengatasi masalah finansial negaranya dengan memotong gaji. Sedangkan Indonesia yang juga terjerat hutang dan krisis finansial, malah memberi gaji sangat tinggi kepada Megawati dan BPIP lainnya.

“Harusnya, kita bisa belajar dari Mahathir yang berani memotong gaji para menterinya untuk urunan bayar hutang luar negeri," pungkasnya.

7. Sri Mulyani: Jangan Samakan dengan Malaysia

Menteri Keuangan Sri Mulyani tak terima jika hak keuangan yang didapat oleh pimpinan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) dibandingkan dengan kebijakan Malaysia yang memotong gaji menteri.

Menurut dia, kebijakan dan kondisi di kedua negara tidak bisa disamakan.

"Ya setiap negara punya politik ekonomi sosial yang berbeda," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/5/2018).

Sri Mulyani mengatakan, Malaysia saat ini sedang mengahadapi situasi dramatis dalam konteks mereka mengelola politik, ekonomi, dan sosialnya.

Baca: Pemprov DKI Raih WTP, Ketua DPRD DKI: Terima Kasih Kepada Pemerintahan Sebelumnya

Oleh karena itu, mereka memotong gaji menterinya untuk membantu mengurangi hutang.

Sebab, hutang di negeri Jiran sudah menyentuh 1 triliun ringgit atau sekitar Rp 3.500 triliun. Utang tersebut mencapai sekitar 65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara.

Sementara itu, utang Indonesia Rp 4.180 triliun hingga akhir April 2018 masih berada di posisi aman. Sebab, rasio utang terhadap PDB masih sekitar 29 persen.

"Jadi setiap negara memiliki keputusan mengenai kebijakan yang dianggap sesuai konteks politik, ekonomi yang mereka hadapi," kata dia.

Sri Mulyani pun memastikan, hak keuangan pengarah BPIP yang mencapai lebih dari Rp 100 Juta per bulannya sudah berdasarkan kajian. Menurut dia, BPIP mempunyai beban kerja dan aktivitas cukup banyak sehingga membutuhkan dana operasional yang tinggi.

8. Digugat

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ( MAKI) berencana mengajukan judicial review Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) ke Mahkamah Agung ( MA).

"Iya, Kamis besok akan kami ajukan judicial review ke MA. Kami mau menggugat Perpres itu agar Perpres itu dibatalkan," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Kompas.com, Senin (28/5/2018).

Boyamin menjelaskan, dalam konteks BPIP, gaji semestinya hanya diberikan pemerintah kepada kepala, deputi dan sebagainya yang bersifat fungsional.

Sementara, untuk jabatan dewan pengarah, penasehat atau apapun namanya yang sesuai fungsinya bersifat sukarelawan, hak keuangan yang diberikan kepadanya seharusnya bersifat kondisional.

"Misalnya hanya akomodasi saat berkegiatan, transportasi, uang penginapan atau uang rapat saja," ujar Boyamin. Dalam permohonan judicial reviewnya, nanti, ia akan mendasarkan pada tiga undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (Kompas/Tribun)

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved