Turki Hadapi Krisis Lira: Dimulai dari Penahanan Pendeta AS, Andalkan Tuhan Hingga Posisi China

"Jangan lupa, jika mereka (AS) punya dollar, maka Turki punya rakyat dan Tuhan. Saya meminta Anda tetap bersemangat dan bersabar," lanjutnya.

Penulis: Erik Sinaga 2 | Editor: Muhammad Zulfikar
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.(AFP / ADEM ALTAN) 

TRIBUNJAKARTA.COM, ISTANBUL - Negeri Turki sedang getar-getir karena nilai tukar mata uang Lira terhadap Dolar Amerika Serikat anjlok.

Hingga akhir pekan lalu, satu dolar AS setara dengan 6,5 lira Turki atau kurang dari sepertiga nilainya pada 2014.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berang karena menuding anjloknya nilai tukar Lira itu karena sekanario politik yang licik. Turki, kata Erdogan, melalui bantuan Tuhan akan berhasil melaluinya.

Berikut adalah fakta menarik terkait anjloknya Lira terhadap Dolar

1. Erdogan Sebut Karena Skenario Licik.

Recep Tayyip Erdogan menuding anjloknya nilai tukar lira terhadap dollar Amerika Serikat merupakan 'skenario politik' untuk menjatuhkan Turki.

"Tujuan operasi ini adalah untuk membuat Turki menyerah mulai dari seluruh sektor keuangan hingga politik," katanya, Minggu (12/8/2018), seperti dikutip dari AFP.

"Kami sekali lagi menghadapi skenario politik yang licik. Dengan izin Tuhan, kami akan mengatasi ini," imbuhnya.

Pernyataannya itu dia lontarkan di depan anggota partainya di Trabzon, sebuah kota di pesisir Laut Hitam.

Kurs mata uang Turki, lira, merosot hingga lebih dari 16 persen terhadap dollar AS. Angka tersebut merupakan rekor terendah, sejak perseturuan dengan AS meningkat karena sejumlah masalah.

Salah satunya, penahanan seorang pendeta asal AS di Turki. Selain itu, kerja sama AS dengan pasukan milisi Kurdi Suriah dalam perang melawan ISIS.

"Kami hanya bisa bilang 'selamat tinggal' kepada semua orang yang mengorbankan kerja sama strategis dan setengah abad bersekutu dengan sebuah negara berpenduduk 81 juta demi relasi dengan kelompok teror," ujar Erdogan.

"Anda berani mengorbankan 81 juta penduduk Turki untuk seorang pendeta yang terkait dengan kelompok teror?" imbuhnya.

Penangkapan pendeta Andrew Brunson sejak Oktober 2016 membuat hubungan AS dan Turki memburuk. Brunson merupakan pendeta Protestan yang memimpin gereja di kota Aegean, Izmir, Turki.

Kini, dia menjadi tahanan rumah, setelah selama dua tahun mendekam di penjara atas tuduhan spionase dan mendukung kelompok teror.

Presiden AS Donald Trump pada Jumat lalu telah menggandakan tarif impor terhadap baja dan aluminium atas Turki. Kebijakan tersebut menyebabkan lira semakin tertekan.

Gedung Putih menyatakan, sanksi baru tersebut akan diberlakukan mulai 13 Agustus 2018. Sementara, Erdogan mengancam akan mencari sekutu baru untuk menjalin kemitraan.

"Kami akan memberikan jawaban kami, dengan beralih ke pasar baru, kemitraan baru, dan aliansi baru, kepada negara yang mengobarkan perang ekonomi terhadap seluruh dunia, dan juga termasuk negara kami," ucap Erdogan.

2. Sanksi AS karena Penahanan seorang Pendeta

Hubungan Turki-Amerika Serikat (AS) memang sedang dalam tensi panas karena penahanan Pendeta Andrew Brunson.

AS sebelumnya telah mengeluarkan sanksi terhadap dua pejabat tinggi Turki, yang mendorong negara itu melakukan aksi balasan. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo yang hadir pada pertemuan ASEAN di Singapura, Jumat (3/8/2018), mengatakan sanksi terhadap Turki menunjukkan AS amat serius meminta pembebasan pendeta Andrew Bunson.

Pernyataan tersebut dia lontarkan sebelum bertemu dengan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu di forum ASEAN. "Pejabat di Turki harus memperhatikan bahwa sudah waktunya bagi pendeta Brunson untuk dipulangkan (ke AS)," katanya, seperti diwartakan AFP.

3. Erdogan Ajak Rakyat Turki Jual Dollar dan Euro

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengajak rakyatnya agar menjual uang dollar AS dan euro mereka untuk ditukar dengan lira.

Langkah tersebut demi membantu mengangkat nilai mata uang negara tersebut yang merosot tajam setelah Presiden AS Donald Trump menggandakan tarif impor baja dan aluminium atas Turki.

Erdogan, Sabtu (11/8/2018), mengajak pada rakyat Turki untuk membantu mendukung lira agar dapat memenangkan apa yang digambarkannya sebagai sebuah 'perang kemerdekaan'.

"Jika ada uang dollar di bawah bantal Anda, keluarkan. Jika ada uang euro, keluarkan. Segera berikan kepada bank untuk ditukar dengan lira Turki," seru Erdogan kepada para pendukungnya di kota Unye. 

"Dengan melakukan hal ini, kita akan memperjuangkan perang kemerdekaan dan juga masa depan," tambah dia dilansir The Guardian.

4. Erdogan Sebut Turki Punya Tuhan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan rakyatnya untuk tak menghiraukan segala kampanye yang bersifat negatif.

Pernyataan itu disampaikan ketika Erdogan berkunjung ke kampung halamannya di Provinsi Rize, dikutup Hurriyet Jumat (10/8/2018).

Dilaporkan AFP, mata uang Turki lira mengalami penurunan hingga lima persen dibanding mata uang Amerika Serikat (AS), dolar.

Dalam perdagangan Kamis (9/8/2018), lira berada di angka 5,85 per dollar AS. Sejak akhir 2017, lira menurun hingga 30 persen. 

Penurunan lira terjadi sejak hubungan Turki dan AS renggang yang diakibatkan beberapa isu. Salah satunya adalah penahanan pendeta bernama Andrew Brunson.

Brunson ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam kudeta terhadap Erdogan yang gagal dilakukan pada 2016. Presiden AS Donald Trump mendesak Turki agar membebaskan Brunson, seraya mengancam bakal memberi sanksi jika Ankara tak melakukannya.

Selain itu, AS juga dibuat meradang dengan keinginan Turki membeli sistem pertahanan anti-serangan udara S-400 dari Rusia. Siutasi tersebut membuat Senat AS mengesahkan undang-undang berisi larangan menjual jet tempur generasi kelima F-35.

Erdogan yang berkuasa sejak 2003 itu berujar dengan kehendak Tuhan, dia bakal membawa kemakmuran bagi Turki yang berisi 81 provinsi. 
"Agar Anda tahu, kita bakal meningkat dibanding kemarin, dan esoknya, kita bakal semakin berkembang dari hari ini," janji Erdogan.

"Jangan lupa, jika mereka (AS) punya dollar, maka Turki punya rakyat dan Tuhan. Saya meminta Anda tetap bersemangat dan bersabar," lanjutnya.

5. Kesempatan China Caplok Turki?

Anjloknya nilai tukar lira belakangan ini tetap mengejutkan banyak kalangan.

Presiden Recep Tayyip Erdogan kemungkinan bisa saja menangani krisis ini. Namun, dia malah memutuskan "beradu kuat" dengan Presiden AS Donald Trump terkait penangkapan seorang pendeta asal AS.

Hingga akhir pekan lalu, satu dolar AS setara dengan 6,5 lira Turki atau kurang dari sepertiga nilainya pada 2014.

Presiden China Xi Jinping saat menyambut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Balai Besar Rakyat di Beijing pada 29 Juli 2015. (AFP/NG HAN GUAN)
Presiden China Xi Jinping saat menyambut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Balai Besar Rakyat di Beijing pada 29 Juli 2015. (AFP/NG HAN GUAN) ()

Alhasil, perekonomian Turki menghadapi level inflasi ekstrem di saat harga-harga komoditas ekspor melonjak yang memicu meningkatnya biaya produksi yang tak terjangkau para pengusaha Turki.

Kemungkinan perekonomian Turki akan menyusut hingga 10-20 persen sebelum krisis berakhir dan Erdogan membutuhkan keajaiban untuk membalikkan keadaan.

Berbagai perusahaan Turki telah meminjam sekitar 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,3 triliun dalam mata uang asing. Celakanya, para pengusaha Turki harus mengembalikan pinjaman mereka dalam lira yang nilainya terus merosot.

Apalagi, sebagian besar utang itu dibuat di saat nilai satu lira Turki setara dengan dua dolar AS. Sehingga, dengan nilai tukar saat ini, nilai utang Turki meningkat tiga kali lipat.

Sebagian pinjaman itu didanai sejumlah bank Turki yang meminjam dolar atau euro dari bank lain dalam skema pasar antar-bank jangka pendek dan meminjamkan uang itu kepada nasabah mereka.

Jika bank-bank Turki tidak bisa mengatasi masalah ini, maka sistem perbankan negeri itu akan kolaps.

Namun, kemungkinan kolapsnya perbankan Turki tidak akan terjadi sebab bank BBVA Spanyol kini menjadi pemilik bank terbesar Turki, Garanti.

Kali terakhir masalah nilai tukar liar menimpa Turki adalah pada 2001, ketika negeri itu berpaling kepada IMF untuk meminjam uang dan menerima syarat penghematan yang amat ketat agar mendapatkan dana talangan.

Nampaknya Erdogan tidak akan meminta bantuan IMF. Dalam pidatonya akhir pekan lalu Erdogan mengatakan Turki sedang menjajaki kemungkinan dengan China, Rusia, dan Iran. Bahkan, sebelumnya, Erdogan mengatakan, Turki akan menerbitkan surat utang "panda bond" di pasar keuangan lokal China.

"Panda bond" adalah surat utang dengan mata uang yuan untuk penerbit surat utang non-China tetapi dijual di China.

Rencana ini bisa amat menguntungkan China jika merujuk wawancara stasiun televisi China CGTN dengan pakar ekonomi Turki, Emre Alkin. 
"Stabilitas lira Turki akan dihasilkan dari kerja sama dengan negara-negara penting seperti China. Amat tidak mungkin bank sentral (Turki) melakukan sesuatu sendiri, kami membutuhkan sumber daya," ujar Alkin.

"Jika sumber daya ini datang dari China, tidak masalah, yang terpenting adalah bagaimana kami menggunakan sumber daya ini. Sungguh nyata kami membutuhkan nasihat, ide, dan saran dari negara seperti China," tambah dia.

Kini, Turki harus menjual sejumlah aset terpenting negeri itu. Dengan nilai tukar lira saat ini maka seluruh nilai indeks ekuitas Istanbul 100 hanya 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 511 triliun.

Jika para investor China membeli setiap saham setiap perusahaan yang ada di bursa saham Turki, maka negeri itu hanya bisa memiliki mata uang asing untuk mengurangi defisit saat ini selama tujuh bulan. 

Altay Atli, seorang pakar ekonomi Turki, kepada CGTN mengatakan, negeri itu akan menawarkan kerja sama kepada China di berbagai pelabuhan dan infrastruktur transportasi lainnya.

Saat ini, perusakan perkapalan terbesar China Cosco Pacific sudah memiliki 65 persen saham pelabuhan terbesar di Turki.

"Saya yakin Turki dan China akan mengembangkan kerja sama di pelabuhan-pelabuhan Turki lainnya di Laut Tengah, Laut Aegea, dan Laut Hitam," kata Atli.

"Dan sebuah langkah penting bukan hanya menghubungkan ketiga pelabungan itu dengan menggunakan rel kereta api dan memperpanjang jaringannya tetapi menciptkan sebuah jaringan logistik," tambah dia. 
China tentu saja melihat kondisi ini sebagai peluang berinvestasi dengan murah di Turki.

Perusahaan telekomunikasi terbesar China, Huawei sudah bekerja sama dengan Turk Telecom untuk membangun jaringan 5G yang akan meliputi cloud computing, jaringan internet, dan yang terpenting adalah keamanan publik.

Bahkan, Alibaba, pesaing utama Amazon dan Google, awal tahun ini sudah berinvestasi untuk platform e-commerce Turki, Trendyol.

Kombinasi dari jaringan mobile broadband, rel kereta api dan pelabuhan, e-commerce, dan e-finance akan menyedot Turki ke dalam perekonoian China. Tak lama lagi, kontainer-kontainer dari berbagai suku cadang buatan China akan tiba di Turki dengan menggunakan kereta api untuk dirakit dan dijual ke Eropa atau Timur Tengah. (TribunJakarta.com/Kompas.com)

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved