G30S PKI
2 Jam Diwawancarai Pada Maret 1964, DN Aidit Banyak Minum Air Putih Sampai Rokok
Kala diwawancarai Intisari pada Maret 1964, DN Aidit disediakan hidangan berupa air putih, rokok dan kopi pahit.
Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.
Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Karena biaya macet, tidak sampai tamat.
Malahan pernah ia bekerja sebagai pembuat lubang kancing pada tukang jahit. Katanya, ia pun suka sekali ke museum membaca buku-buku.
Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis, Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, Kautzky, adalah beberapa nama yang ia sebutkan.
Pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berlainan halnya tatkala ia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.
Penderitaan lenyap apabila kelas-kelas itu lenyap. Tetapi untuk meniadakan kelas-kelas itu, justru dibutuhkan kesadaran kelas untuk dipertentangkan menjadi “perang kelas”.
Baru pertama kali itu kami berhadapan muka dengan bung Aidit. Yang istimewa ketajaman matanya dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi.
Ini mungkin cermin dari dinamis jiwanya. Dinamik pemuda itu di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi. Ia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa. Katanya, “Sejak dulu saya menentang rasialisme.”
Ia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir Sjarifudin SH. “Besar pengaruhnya terhadap saya. Ia seorang intelektual yagn militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”
Resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang. Perantaranya, Widarta. Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20 tahun.
Mengapa? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen. Ia pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, Lukman.
Gedung Menteg 31 memainkan sejarah penting. Di situ tempat institut pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang. Direkturnya Wikana.
Guru-gurunya tokoh-tokoh pergerakan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri. Pelajaran yang diberikan Hukum, Filsafat, Sosiologi, Sejarah Politik, Ekonomi.
“Di situlah saya mendapat pendidikan politik yang lebih sistematis,” sambungnya. Ditambahkannya pula sejak saat itu ia mengenal perbedaan Soekarno dan Hatta.
• Kisah Masa Kecil DN Aidit: Rajin Ibadah, Bergaul dengan Buruh dan Baca Buku Karl Max
• Nasib Keluarga DN Aidit Setelah Peristiwa G30S: Istri Dipenjara dan Sang Anak Kerap Di-Bully
Bung Karno seorang intelektual yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat yang percaya akan massa aksi. Dengan indoktrinasi dan agitasi menerapkan ide-ide ilmiah kepada massa.