Gempa di Donggala
Kisah Korban Gempa Bumi dan Tsunami Palu: Gendong Anak ke Bukit Hingga Tidak Makan Empat Hari
Pada saat gempa mengguncang Palu, Maya hanya memikirkan anaknya. Maya dengan cepat mengangkat anaknya dari tempat tidurnya
TRIBUNJAKARTA.COM, PALU - Maya tidak pernah membayangkan sebelumnya nyawanya nyaris melayang karena guncangan gempa bumi disertai gelombang tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Beruntung, Maya yang bertempat tinggal di Kampung Masomba, Kecamatan Tatura, Kota Palu berhasil menyelamatkan diri.
"Alhamdulillah saya selamat pak satu keluarga dari bencana gempa dan tsunami kemarin," kata Maya.
Maya bercerita, pada saat bencana gempa dan tsunami terjadi, dirinya sangat syok. Pasalnya, guncangan gempa sangat keras sementara dirinya saat itu sedang berada di rumah dan hanya berdua dengan anaknya yang masih balita.
Sedangkan suaminya, Adi pada saat itu tidak ada di rumah karena sedang bekerja. Kondisi itu membuatnya harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan nyawa dirinya dan anaknya dari reruntuhan bangunan.
"Kaget sekali saya waktu (gempa) itu, bukan apanya anak saya yang masih kecil ini saya pikirkan. Baru bapaknya waktu itu lagi di luar rumah pergi kerja, jadi saya harus berjuang sendiri selamatkan anak," ujar Maya bercerita.
Pada saat gempa mengguncang Palu, Maya hanya memikirkan anaknya.
Maya dengan cepat mengangkat anaknya dari tempat tidurnya kemudian berusaha lari keluar rumah.
Meski sempat terjatuh saat berlari, Maya tetap berusaha bangun sambil menggendong anaknya untuk menyelamatkan diri.
Maya yang lari dengan kondisi panik karena gempa dan terus memikirkan sang buah hati, dia sampai tidak merasakan lelah sedikitpun berlari sambil gendong anak hingga ke atas bukit dekat rumahnya.
"Merinding saya kalau cerita terus ini. Pokoknya itu waktu (gempa) saya sudah tidak pikirkan lagi yang lain selain nyawa anakku, saya sampai sampai tidak rasa lari dari rumah ke bukit waktu gempa itu, saking paniknya. Beruntung, Alhamdulillah masih bisa selamat sama anak saya," ucapnya.
Atas peritiwa gempa tersebut, rumah Maya di Masomba Palu hancur. Kini, Maya memutuskan tinggalkan Palu sementara waktu dan akan tinggal di rumah suaminya di Barru.
"Saya mau pulang dulu bareng suami di rumahnya di Desa Galung Barru. Nanti rasa trauma hilang dan sudah merasa nyaman baru balik lagi sini kerja mulai nol kembali," tutur ibu anak satu itu.
• Gempa 5,2 SR Guncang Palu Pagi Ini
• Bermodalkan Motor Pinjaman, Nini Cari Keberadaan Muridnya Selama 5 Hari Pasca Gempa di Palu
• Satu-satunya Harta Tersisa, Pria Ini Bawa Rangka Motor Antik dari Reruntuhan Akibat Gempa
Tidak Makan Empat Hari
Lain Maya lain lagi Fatmawati, seorang warga perantau mengungkapkan kisah perjuangannya lolos dari maut gempa bumi.
Fatmawati yang berasal dari Desa Gareccing, Kecamatan Sinjai Selatan sempat terlempar sebanyak empat kali di atas tanah saat gempa mengguncang Talise, Kecamatan Palu Barat.
Berselang beberapa menit bumi kota Palu tenang. Fatmawati bersama warga lainnya, sempat berdiri lagi menunaikan salat Maghrib di Masjid Untad Palu.
Dan di tengah salatnya Fatmawati bersama sejumlah jemaah lainnya di masjid itu kembali diguncang gempa.
"Hingga suara saya parau dan habis mengucapkan takbir, Allahu Akbar dan meminta pertolongan," kata Fatmawati.
Usai salat Maghrib, listrik sudah padam, di tengah gelap gulita, suara jeritan bercampur tangisan terdengar menyeruak di atas Bumi Palu, Fatmawati tidak henti hentinya mengucapkan istighfar.
Dua hari pascagempa, ia mengunjungi Bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu dengan maksud agar bisa terbang ke Makassar melalui pesawat Hercules.
Namun yang didahulukan adalah hanya korban luka, anak anak dan perempuan menyusui dan hamil. Fatmawati bertahan di tempat itu bersama sejumlah korban lainnya tanpa makan dan minum.
"Karena bantuan makanan diteruskan ke Posko tidak diberikan kepada korban gempa yang ada di bandara. Saya sempat menadah air hujan malam itu di bandara karena kebetulan hujan lalu saya minum karena tidak ada air minum," kata Fatmawati.
Ia mengungkap bahwa baru mendapatkan makanan saat dievakuasi di Lanud Hasanuddin dan asrama Haji Makassar. Ia bertahan tanpa makan selama empat hari empat malam.
• Masjid Daarul Mataqin Jadi Saksi Bisu Dahsyatnya Gempa dan Likuifaksi di Balaroa
• Sempat Ditutup Pascagempa, Aktivitas di Bandara Mutiara SIS Al Jufri Palu Kini Kembali Normal
• Gara-gara Trauma dan Minim Fasilitas, 8 Ribu Orang Tinggalkan Palu Pasca Gempa dan Tsunami
Patah Tulang
Wasekjen PB Ikatan Dokter Indonesia, Rosizt Rivai menjelaskan sebanyak 80 persen korban Gempa dan Tsunami yang terjadi di Palu Donggala mengalami patah tulang.
Sementara 20 persen lainnya, mengalami luka sobek, tertusuk paku dan sebagainya.
"80 persen korban mengalami luka orthopedi. Selain itu, ada juga beberapa luka lainnya. Sebagian besar kami rawat dari yang terdampak gempa,"ujar Rosizt.
Dijelaskan olehnya, perawatan luka harus memenuhi standar kualifikasi yang sudah ditentukan. Agar tidak terjadi hal yang lebih buruk.
Pentingnya kesadaran masyarakat dan pendampingan dari tim dokter atau perawat juga diperlukan.
Kekhawatirannya, para korban tidak cukup mengetahui hal apa saja yang perlu atau tidak perlu dilakukan saat mereka sudah pulang ke rumah.
"Nah, itu juga perlu didampingi. Kita juga harus mengedukasi, sehingga ketika sudah di rumah, mereka bisa merawat lukanya sendiri," kata dia. (Tribun Network/ryo/sul/wly)