Mengenang 31 Tahun Tragedi Berdarah Kereta Api Bintaro: Kronologi, Cerita Masinis Hingga Dibuat Film

31 tahun berlalu, masih hangat di ingatan masyarakat tragedi berdarah Kereta Api Bintaro yang menewaskan 156 orang dan lebih dari 200 orang luka-luka.

Penulis: Erlina Fury Santika | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
KOMPAS/Jimmy WP
156 korban tewas dan 238 orang luka berat yang tercatat akibat terjadi kecelakaan kereta api terbesar dan paling tragis dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, Senin pagi ( 19/10/1987 ) pukul 07.10 WIB di kampung Pondok Betung, RW IX, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Tabrakan antara KA patas no.220 dari Tanah Abang menuju Merak dengan LA no. 225 dari Rangkasbitung menuju Tanah Abang. Berita Terkait Kompas 20-10-1987, 1-12. Judul Amplop: Kecelakaan Kereta Api(Jimmy WP) 

Dengan demikian, arah pandangan masinis menjadi kurang jeli untuk melambatkan laju kereta.

Terdapat faktor lain, banyak penumpang KA jalur ini yang lebih suka naik di lokomotif dan berjubel bersama masinis dan asisten masinis.

Mereka lebih menyukai sisi luar daripada harus masuk ke arah ke gerbong.

Faktor ini menjadikan konsentrasi masinis terganggu, bahkan terhalang penumpang yang berdiri di hadapannya.

Kondisi dalam gerbong kereta maut Bintaro.
Kondisi dalam gerbong kereta maut Bintaro. (KOMPAS/Jimmy WP)

3. Kesaksian masinis

Lima tahun yang lalu, tepatnya pada 11 Desember 2013, TribunJogja.com berkesempatan untuk mewawancarai Slamet Suradio, saat itu berusia 74 tahun, yang merupakan masinis dari KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota.

Dalam kejadian tersebut Slamet disalahkan karena dianggap melanggar aturan dengan memberangkatkan kereta tanpa izin Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA).

"Saya ingat jelas pagi itu kereta saya diberangkatkan. Saya melihat PPKA memberi tanda, asisten masinis telah naik ke kabin, dan kondektur pun telah masuk ke kereta," kata Slamet.

Karena itu, ia kesal ketika tahu hanya dirinya saja yang dipecat dengan tidak hormat dan tidak mendapatkan uang pensiun, sementara orang yang menurutnya paling bertanggung jawab tetap mendapat uang pensiun.

Slamet mengungkapkan, banyak keganjilan dalam kasusnya.

Misalnya saja, ia menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dalam ancaman.

"Waktu itu saya ditodong pistol, disuruh ngaku. Saya heran, saya nggak salah kok diperlakukan seperti itu," ucapnya pelan.

Masinis satu di antara kereta maut Bintaro 19 Oktober 1987, Slamet Suradio. Foto diambil pada 11 Desember 2013.
Masinis satu di antara kereta maut Bintaro 19 Oktober 1987, Slamet Suradio. Foto diambil pada 11 Desember 2013. (TribunJogja.com/Rento Ari Nugroho)

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Slamet untuk memperjuangkan haknya.

Namun, upaya tersebut tidak berhasil.

Kini ia hanya bisa pasrah menanti keadilan yang entah kapan datangnya.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved