Cerita Emha Ainun Nadjib, Kiai Mbeling yang Suka Blak-blakan dan Kerap Kritisi Kondisi Sosial

Simak tulisan Dharnoto pada terbitan Intisari Mind, Body & Soul dalam tulisan Rasionalitas Sang Kiai Mbeling.

Editor: Erlina Fury Santika
ISTIMEWA/Intisari Online
Emha Ainun Nadjib, sang kiai mbeling. 

Dengan kata lain, kalau Tuhan menjadi sahabat karib seseorang dalam rumah tangga dan kehidupan, maka orang itu tidak akan berjalan sendirian, alias ada penjamin rezeki, kekuatan dan ketenteramannya.

Karena ada Tuhan, ia tak perlu korupsi, tak perlu marah pada tetangga yang memfitnah, tak perlu takut tak makan, tak perlu menempuh karier seorang diri, dan kesepian di tengah ganasnya persaingan. Sebab, ada division of labour dengan Tuhan.

Masih dengan suara bergetar, Emha menambahkan, karena ada Tuhan, maka tak perlu membunuh orang, tak perlu menyingkirkan siapa-siapa, tak perlu membela diri, tak pernah rugi, dan tak pernah tidak tenang.

"Karena perkawinan seseorang diprakarsai, diperjalankan, diselenggarakan oleh Tuhan, dan Tuhan sangat bertanggung jawab sebagai 'panitia' hidup orang yang bersangkutan. Sangat panjang kalau ini saya teruskan," katanya bersemangat.

Sakit perutnya Nabi Musa

Berbicara tentang penyakit organis, senjata kedokteran modern mungkin masih dapat didayagunakan. Namun, bagaimana dengan penyakit akal dan jiwa, mampukah dunia medis menjinakkannya?

Versi Emha, pengobatan medis modern bisa mengatasi sesuatu, namun tak bisa mengatasi sesuatu yang lain. Demikian juga jenis pendekatan lain, yang kerap disebut alternatif.

Sebaiknya, "Saling rendah hati dan saling belajarlah." Setengah berseloroh, Emha memberi contoh, kalau sebuah kursi tidak kokoh karena salah satu kakinya miring, dokter jangan menyuntik kursi itu atau memberinya pil, supaya diminum sehari tiga kali. Dokter harus belajar membenahi posisi kaki kursi itu dengan metode lain.

"llmu pengobatan 'kan terus berkembang dan berinteraksi di antara ribuan macam pendekatan," tandas Emha sambil sedikit mengembangkan tangan.

"Itu ijtihad dan kreativisasi ilmu yang harus kita dukung secara apresiatif, adil, dan objektif tanpa sentimen kekuasaan atau dominasi oleh salah satu pendekatan."

Dengan mengapungkan tangan sedikit di atas kepala, Emha mengingatkan, puncak dari pencarian ilmu pengobatan atau ilmu penyehatan, baik tradisional maupun modern, adalah kesadaran seperti yang dicontohkan oleh kasus Nabi Musa yang sakit perut, tatkala ia bersama pasukannya dikejar-kejar oleh pasukan Firaun.

Musa mengeluh kepada Tuhan, dan Tuhan menjawab, "Pergilah ke atas bukit itu, ambillah daun yang ada di sana, makanlah supaya perutmu tak sakit."

Musa lalu lari naik bukit, tapi belum sempat menyentuh sehelai daun pun, perutnya sudah sembuh. la berterima kasih kepada Tuhan, kemudian turun.

Sesampai di tengah pasukannya, perutnya sakit lagi. Musa langsung berlari naik bukit, tapi kali kedua ini perutnya tak sembuh, meskipun ia sudah melalap berhelai-helai daun. Musa memprotes, "Ya Tuhan, bagaimana ini, sudah kukunyah berhelai-helai daun, tapi kok perutku tak sembuh juga?"

"llmu apa yang berkesimpulan bahwa daun itu bisa menyembuhkan sakit perut?" jawab Tuhan.

Halaman
1234
Sumber: Intisari
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved