Dilema Pilot Saat Take Off, Harus Mengambil Keputusan Dalam Hitungan Detik dengan Risiko Tinggi

Dilema pilot saat take off, harus mengambil keputusan dalam hitungan detik dengan risiko tinggi. Simak penjelasannya!

Editor: Kurniawati Hasjanah
TribunJakarta.com/Ega Alfreda
Ilustrasi pesawat di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. 

Pilihan lain adalah tetap  meneruskan take-off dengan bagasi terbuka dan kembali mendarat  setelah mencukupi persyaratan untuk mendarat kembali.

Dari segi kemungkinan akan terjadinya gangguan pressurized ruang bagasi, sebenarnya tidak masalah kalau pesawat tidak terbang melebihi 10.000 kaki.

Fakta Harvino Kopilot Lion Air PK-LQP, Sempat Sakit Gigi, Punya 5 Ribu Jam Terbang dan Dermawan

Pergi Mendadak dan Hanya Bawa 2 Kaus ke Pangkalpinang, Sepatu Bot Paul Ferdinand Ditemukan Hancur

 Meskipun bagasi terbuka, secara keseluruhan pesawat tidak akan mendapat imbas apa pun selama belum terbang melampaui ketinggian 10.000 kaki.

Jika pesawat itu take-off dan selanjutnya akan mendarat kembali, maka cukup dengan terbang pada ketinggian sekitar 2.000 atau 3.000 kaki saja sebelum turun ke landasan. 

Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa biasanya barang di bagasi diikat dengan baik. Jenazah yang diangkut umumnya diletakkan di kompartemen barang di bawah kabin.

Dengan begitu, dalam kasus ini keputusan apa pun yang diambil pasti memiliki risiko. Tinggal bagaimana mengolahnya sehingga keputusan yang diambil memiliki risiko minimal.

Kalau fungsi rem atau mekanisme pengereman berjalan normal, mungkin pesawat dapat berhenti sebelum ujung landasan (sambil melihat pertimbangan kebasahan landasan dan berat muatan).

Kalau pilihannya terus take-off, ada kemungkinan kompartemen bagasi terbuka dan isinya yang tak terikat kuat akan berjatuhan. Dalam hal ini, beban psikologis bertambah dengan adanya muatan jenazah.

Jadi, mana yang harus dipilih?

Bisa menjurus ke obsesif kompulsif

Pilot, dalam waktu amat singkat, dihadapkan pada suatu dilema dan harus segera membuat keputusan. Pada kasus F-28 MNA, pilot mengambil keputusan pertama, yakni mengerem.

Risikonya seperti yang sudah digambarkan di atas. Selain itu, lampu-lampu isyarat yang berada di ujung landasan tersapu pesawat. Pesawat terperosok dan tertahan oleh semak-semak dan gundukan tanah.

Manajemen risiko pilot sangat tergantung kualitas, profesionalisme, dan pengalaman pribadinya. Untuk memperoleh pilot yang cakap dan berkualitas diawali dengan seleksi yang ketat.

Kesamaptaan fisik dan mental serta bakat keterampilan disaring secara sungguh-sungguh. Kemudian upaya lanjutan, yaitu pengecekan berkala terhadap kondisi fisik mental dan kemampuan teknik terbang dilakukan setiap enam bulan.

Tidak kalah pentingnya adalah peran Pendidikan dan Pelatihan dari perusahaan di mana kapten penerbang bekerja. Penyelenggara pendidikan  harus berada di tangan orang-orang yang cakap, profesional, berpengalaman luas, dan berdedikasi tinggi. Seharusnya, hal-hal itu menjadi obsesi setiap perusahaan penerbangan.

Sumber: Intisari
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved