Gerindra dan Perludem Beda Pendapat Soal Orang Gangguan Jiwa Dapat Hak Pilih
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai orang dengan gangguan kejiwaan atau orang gila tidak seharusnya diberikan hak pilih
Penulis: MuhammadZulfikar | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai orang dengan gangguan kejiwaan atau orang gila tidak seharusnya diberikan hak pilih dalam Pemilu.
Meskipun menurut anggota Komisi III DPR RI ini, tidak diatur secara tegas dalam UU Pemilu, tetapi dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPerdata) secara jelas diatur jika orang gila tidak cakap untuk melakukan aktivitas hukum dan itu termasuk memilih dalam Pemilu.
Karena, menurut Sufmi Dasco Ahmad, menggunakan hak pilih adalah aktivitas pelaksanaan hak hukum yang amat penting karena akan menentukan siapa yang akan menjadi Pemimpin negara.
"Jika orang gila diberi hak pilih, maka hasil Pemilu bisa diragukan kualitasnya," ujar Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ini kepada Tribunnews.com, Selasa (20/11/2018).
Yang paling membahayakan, menurut Sufmi Dasco Ahmad, pemberian hak pilih kepada orang gila akan memberi peluang terjadinya manipulasi.
Alasannya, Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan, bisa saja orang gila tersebut diarahkan atau diwakili untuk memilih partai atau paslon tertentu karena mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan.
"Pada akhirnya bisa terjadi pelanggaran azas Pemilu Jujur dan adil," papar Sufmi Dasco Ahmad.
Untuk itu Sufmi Dasco Ahmad menilai, orang dengan gangguan kejiwaan atau orang gila tidak seharusnya diberikan hak pilih.
Diberitakan orang gila masuk dalam daftar pemilih tetap menjadi polemik. Termasuk di Jambi. Namun demikian, pendataan orang gila masuk dalam daftar pemilih tetap bukanlah seperti yang di tafsirkan banyak orang.
Seperti yang disampaikan komisioner KPU Provinsi Jambi Afnizal. Menurutnya, dalam pendataan orang gila, KPU sifatnya menunggu laporan dari masyarakat. Jika ada laporan dari masyarakat baru bisa kita tindak lanjut.
"Harus ada laporan dari masyarakat dan dibuktikan bahwa memang sedang tidak sehat (gila,red)" ujar Afnizal.
Tidak seperti disangka selama ini, KPU tidak langsung mendata ke rumah sakit jiwa atau mendata langsung orang gila. Ini juga untuk membersihkan pemilih agar lebih baik dari sebelumnya.
Penderita Gangguan Jiwa Wajib Diberi Hak Pilih
Penderita gangguan jiwa, sepanjang tidak ada surat keterangan profesional bidang kesehatan jiwa yang mengatakan dirinya tidak mampu memilih di Pemilu, juga wajib didata dan diberikan hak pilihnya tanpa kecuali.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kepada Tribunnews.com, Selasa (20/11/2018).
Apalagi menurut Titi, amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.”
"Ada yang "ketawa" kok orang gangguan jiwa didata sebagai pemilih dan diberi hak pilih. Itu sesungguhnya memperlihatkan dangkal dan ketidaktahuan mereka soal gangguan jiwa, penyandang disabilitas yang juga bisa hidup normal asal didukung proses pemulihan optimal," ujar Titi.
Untuk itu Titi menjelaskan, disabilitas adalah terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku yang meliputi psikososial. Di antaranya schizophrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian.
Selain itu, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pd kemampuan interaksi sosial, seperti autis dan hiperaktif.
Ia pun mengutip salah satu pakar psikiatri, dr Irmansyah. "Meskipun penderita psikosis mengalami disabilitas dalam sebagian fungsi mentalnya, mereka tetap bisa hidup normal dan mampu menentukan yang terbaik mnurut dirinya. Sebagai bagian dari proses pemulihan, penderita sebetulnya perlu didorong, bukan dihambat untuk berpartisipasi".
Tetapi lebih lanjut ia menjelaskan, itu pengaturan di Pilkada. Kalau di pemilu, syarat untuk didata sebagai pemilih adalah berusia 17 tahun dan atau sudah pernah menikah.
Jadi tegas dia, tidak ada syarat soal sedang tidak terganggu jiwa, ingatan seperti pilkada.
"Artinya semua warga negara sesuai ketentuan yang ada ya wajib didata," tegasnya.
Artinya, imbuhnya, semua warga negara yang punya hak pilih harus didata tanpa kecuali.
"Persoalan mereka nanti bisa menggunakan hak pilihnya atau akan mencoblos atau tidak adalah persoalan berbeda," ucapnya.
"Tapi negara harus memenuhi hak setiap warga negara untuk bisa didata sebagai pemilih pemilu 2019 adalah sebuah keniscayaan," tambahnya.
Dia kembali menekankan, disabilitas mental adalah sebuah kondisi episodik, atau bukan serta merta permanen.
• Jokowi ke Pasar Pakai Juru Foto Dikritik, Alissa Wahid Justru Bagi Pengalaman Saat Dampingi Gus Dur
• Persija Jakarta Vs Persela Lamongan: Perpendek Jarak dengan PSM Hingga Gol Indah Rezaldi Hehanussa
• Begini Prediksi Tim Juara Liga 1 2018 Versi Aji Santoso
Maka, menurut dia, kita harus meluruskan lagi perspektif dan paradigma kita soal pemilih disabilitas mental ini.
"Jangan stigma mereka dengan cemoohan orang gila dan lain sebagainya. Pemilu wajib inklusif dan mengedepankan aksesibilitas," jelasnya.
Untuk itu dia menilai, sudah sepantasnya KPU sebagai organ dan alat negara mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi, yaitu cara pandang bahwa penyandang disabilitas adalah sama seperti manusia lain memiliki hak yang sama termasuk hak berpolitik melalui pemilihan umum.
"Jadi bukan malah menganggap mereka sebagai beban apalagi stigma subordinasi," jelasnya. (Tribunnews.com)