Pemberian Antibiotik yang Berlebihan dan Sembarangan Dinilai Memicu Berkembangnya Bakteri
Penggunaan antibiotik secara sembarangan dalam proses pengobatan ternyata sangat berbahaya untuk tubuh.
Penulis: Ega Alfreda | Editor: Mohamad Afkar Sarvika
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Ega Alfreda
TRIBUNJAKARTA.COM, KARAWACI - Penggunaan antibiotik secara sembarangan dalam proses pengobatan ternyata sangat berbahaya untuk tubuh.
Dokter Wibisono selaku Ketua Pengendalian Penggunaan Antibiotik RS Siloam mengatakan, tidak semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri tidak memerlukan antibiotik.
"Kayak penyakit batuk dan pilek itu tidak perlu, memangnya ada infeksi? Kan tidak. Apalagi yang lagi sakit itu anak-anak, sangat-sangat tidak perlu," jelas Wibisono di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Kabupaten Tangerang, Selasa (27/11/2018).
Ia menerangkan, penggunaan antibiotik yang berlebihan atau penggunaan yang tidak tepat dapat memicu semakin berkembangnya bakteri yang tahan terhadap antibiotik atau antimikroba.
Antibiotik, kata Wibisono, berfungsi menjadikan penyakit infeksi yang semula menyebabkan kematian menjadi hal yang dapat dikendalikan.
Namun bila penggunaanya tidak sesuai dan bahkan tidak didampingi oleh resep dokter, antibiotik justru menjadi senjata makan tuan.
Sebab, antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat konsumsinya dapat membunuh mikroba atau bakteri yang dibutuhkan oleh tubuh.
"Makanya kan saya bilang, infeksi (sepsis) yang terjadi bisa semakin parah. Bahkan bisa menyebabkan kematian kalau salah-salah" papar Wibisono.
Hal itu, menurut Wibisono didasari dari hasil penelitian resistensi terhadap antibiotik pada tahun 2000 sampai tahun 2004 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
• Bantah Jadi Orang Ketiga di Pernikahan Gading-Gisel, Icha Gwen Klaim Sempat Dekat dengan Kriss Hatta
• Pengakuan Sisca Dewi Kenal BS Hingga Terseret Kasus Pencemaran Nama Baik: Awalnya Dikenalin Teman
Kedua rumah sakit tersebut membuktikan terdapat bakteri multi resisten seperti MRSA (Methcilin Spectrum Beta Lactamases).
"Selain dari data penelitian itu, ditemukan 30 sampai 80 persen penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi," sambung dia.
Sementara data WHO (world Health Organization) pada tahun 2013 menyebutkan, terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di Dunia.
Berangkat dari situ, pihaknya yang berbicara di depan 110 peserta simposium yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, perawat dan Apoteker, dan seluruh tenaga kesehatan bijak dalam pemberian antibiotik kepada pasien.
"Kepada tenaga kesehatan untuk selalu mengingat bahwa penggunaan antibiotik itu harus rasional. Sebab dapat berdampak merugikan bagi pasien," tegas Wibisono.
Menurutnya, sepsis ini telah menjadi perhatian dunia sejak tahun 2012 dan Indonesia melalui Kementerian Kesehatan.
Berangkat dari situ, kementerjan kesehatan juga telah membuat aturan pengendalian penggunaan antibiotik terhadap sepsis di tahun 2015.
"Penderita Shock sepsis angka kematiannya hingga 70 persen, kalau baru sepsis angka kematian 9,5 persen. Makanya tenaga medis harus hati-hati terhadap penggunaan antibiotik," tukas Wibisono.