Bosan Jadi Tanggungan Orang Lain, Sastrawan NH Dini Pilih Profesi Pramugari

Bosan menjadi tanggungan orang lain, Sastrawan NH Dini memilih profesi pramugari Garuda Indonesia

Editor: Kurniawati Hasjanah
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Novelis NH Dini. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang biasa disapa NH Dini, novelis terkenal Indonesia, meninggal dunia pada sore hari tanggal 4 Desember 2018.

Sosok NH Dini pernah dikupas oleh Rini Sulistyati dalam artikel NH Dini: Penyebab Lenyapnya Minat Mencipta Puisi, yang pernah dimuat di Tabloid NOVA, edisi 29 Maret 1998.

Judul-judul seperti Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Sebuah Lorong di Kotaku, langsung mengingatkan kita pada wanita novelis satu ini.

Padahal, itu baru sebagian kecil dari berbagai karyanya yang tercipta semenjak ia SMP. Semula ia menulis puisi, lalu cerpen, sandiwara, dan kemudian novel.

Sempat jadi pramugari, kini ia termasuk segelintir wanita pengarang yang sepenuhnya mengandalkan tulis-menulis sebagai sandaran hidup.

Namaku Nurhayati Srihardini. Tapi, orang lebih mengenalku dengan sebutan Nh. Dini, atau NH Dini. Tak masalah apakah huruf "H" ditulis dengan huruf besar atau kecil.

Dua-duanya sudah sering kugunakan untuk identitas tulisan-tulisanku, baik cerpen, puisi, maupun novel.

Aku lahir di Semarang, 29 Pebruari 1936, dari rahim seorang ibu yang amat kukagumi bernama Aminah. Sedangkan bapakku bernama Salyowijoyo.

Kedua orang tuaku selalu menekankan agar anak-anaknya hidup sederhana, bercermin dari kehidupan orang-orang kampung.

Tak jarang, Ibu menyuruh kami membagikan makanan untuk orang-orang kampung yang kekurangan makan.

Dengan cara begitu, kami jadi tahu bahwa tidak semua orang beruntung bisa makan seperti kami.

Cara mendidik Ibu itu sangat berkesan di hatiku, dan menjadi bagian dari buku yang kutulis dengan judul Cerita Kenangan.

Bukan hanya Ibu yang suka menolong orang. Bapak pun tak kalah dermawannya. Beliau suka sekali menolong para gerilyawan.

Maklum, saat itu zaman perang kemerdekaan. Salah satunya dengan memberi makan atau menyediakan persembunyian bagi para pejuang. Gara-gara perbuatannya itu, Bapak pernah dilangkap dan dipenjarakan Belanda.

Keluar dari penjara, kesehatan Bapak merosot drastis. Beliau sering batuk-batuk, lantaran paru-parunya sakit.

Bapak meninggal tahun 1949 di saat enam anaknya masih membutuhkan banyak perhatian dan biaya. Biaya sekolah dan hidup sehari-hari kami pun menjadi tanggungan saudara-saudara Ibu.

Diikuti teman-teman sekolah

Hidup di masa perang, tak ayal membuat sekolahku terputus-putus. Kendati demikian, semangatku untuk sekolah tetap membara, apalagi orang tuaku memang sangat mengutamakan pendidikan anak-anak.

Menginjak bangku SMP,  perang pun usai. Kehidupan pelan-pelan mulai tertata kembali. Di bangku SMP itulah, minatku pada seni sastra mulai tampak.

Aku suka sekali menulis prosa dan puisi. Berulang-ulang kubaca karyaku, sebelum memberanikan diri mengirimkannya ke RRI Semarang.

Akhirnya. tahun 1951, aku mendapat kesempatan juga untuk membacakan prosa dan puisiku itu  di RRI. Waktu itu aku mendapat honor Rp 7.500.

Karena puisiku makin banyak, setahun kemudian, kuberanikan diri mengirimkannya ke majalah, koran, dan sebagian lagi kukirim ke RRI Programa Nasional di Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Setahun berikutnya, sajak-sajakku mulai menghiasi majalah Gadjah Mada dan Budaya di Yogyakarta.

Kerap Alami Teror Mistis Saat Tengah Malam, Ruben Onsu Sebulan Lebih Tidur di Mobil

Sahabat Menangis Lepas Kepergiannya Umrah, Cut Meyriska Beri Pesan: Jangan Nikah Duluan!

Dari honorku, aku memiliki uang jajan yang lebih dari cukup untuk ukuran anak SMP saat itu. Oh, ya, dari honor pertamaku aku juga bisa membeli ban sepeda.

Pendek kata, aku sudah bisa menghidupi diri sendiri. Waktu itu nama samaranku belum Nh. Dini, tetapi Hasri, dari Hardini Sri.

Dengan dimuat di koran, majalah, dan didengarkan orang lewat RRI, karya-karyaku pun diapresiasi orang.

Wah, aku bangga sekali, lo. Setahun berlalu, aku mulai kecewa. Pasalnya, penafsiran orang terhadap puisi-puisiku selalu berbeda dengan yang kumaksud.

Jadi, buat apa aku menulis puisi kalau pada akhirnya malah mengecewakanku?

Bagaimanapun, kegiatan mengarang puisi itu juga menarik minat teman-teman sekolahku.

Banyak dari mereka yang kemudian mengikuti jejakku mengirimkan puisinya ke majalah atau koran.

Melihat keadaan yang demikian itu, makin hilang minatku menulis puisi. Menulis puisi saat itu, sudah menjadi terlalu umum.

Dirikan grup sandiwara

Tahun 1953 aku memutuskan banting setir ke dunia cerpen. Dengan menulis cerpen, aku merasa tak punya pesaing di antara teman-teman sekolah.

Benar saja, setelah mencoba-coba, jerih payahku berbuah. Aku lupa judul cerpen pertamaku, tapi banyak cerpenku dimuat di majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat (Jakarta).

Honornya termasuk besar, lo, Rp 60 sampai Rp 70.

Mas Teguh yang membuatkan naskahnya. Pelan-pelan, aku pun bisa menulis naskah-naskah drama yang kemudian kulakonkan bersama Mas Teguh dan teman-teman SMA.

Disinggung Soal Sugar Daddy, Rina Nose Semprot Hotman Paris: Sekali-kali Gaulnya Sama yang Baik!

Bukan Karena Sakit Hati Dicopot Jokowi, Tedjo Edhy Buka Suara Alasan Kini Mendukung Prabowo

Saking seringnya mengisi sandiwara di RRI, aku mendirikan grup sandiwara Kuncup Seri. Grup ini mewadahi kegiatan siswa SLTA di Semarang.

Selain sandiwara, grup kami juga giat di bidang tari dan karawitan. Aku juga punya kesibukan baru sebagai redaktur budaya di majalah sekolah Gelora Muda sampai aku lulus SMA.

Biarpun sibuk, aku sempat mengikuti lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Wah, bangganya bukan main, lo.

Tahun '50-an kala itu, kan, sangat jarang wanita jadi penulis. Tumbuhnya minatku pada dunia mengarang bukan semata karena bakat tapi juga karena hobiku membaca.

Buku apa saja kulalap. Yang paling kusukai memang novel.

Waktu masih kelas 1 SMA, aku sudah membaca novel berbahasa Inggris karangan Pearl S. Buck. Novelis itulah yang jadi salah satu idolaku, selain Pramudya Ananta Toer untuk novelis Indonesia.

Kalau cerpen, aku suka karya-karya Hussein Umar. Ibu tak pernah memarahiku jika aku getol membaca novel. Kalau aku kelewat asyik, paling-paling Ibu mengingatkan, sudah bikin PR atau belum.

Ibu sering berpesan, boleh rajin membaca novel asal nilai pelajaranku tidak jelek. Sikap itulah yang paling kusukai dari Ibu.

Sebab, ada orang tua yang melarang anaknya membaca novel. Andai saja ibuku seperti mereka, mungkin aku tidak jadi pengarang seperti sekarang.

Keindahan bunyi

Selepas SMA aku sudah memutuskan menekuni dunia mengarang sebagai sandaran hidup. Aku begitu yakin saat itu. Dan keputusan itu termasuk sangat berani untuk ukuran zaman itu.

Syukurlah, aku tidak salah melangkah dan tetap bertahan sebagai pengarang sampai sekarang.

Sepintas kedengarannya mudah, ya, berkarier lewat bakat dan hobi yang kita miliki. Padahal tidak sepenuhnya benar juga.

Sebab, selama perjalanan karierku, banyak juga kendala kutemui. Bahkan setelah aku terkenal sekalipun.

Contohnya saat hendak menerbitkan novel Pada Sebuah Kapal, yang kelak jadi salah satu novel terlarisku.

Ferdinand Hutahaean Emosi & Tunjuk-tunjuk Kapitra Ampera Disinggung Tak Dapat Jabatan dari Jokowi

Beralih Dukungan dari Prabowo ke Jokowi, Dedi Mulyadi: Kalau Dirasa Enak Kenapa Harus Diganti?

Ketika itu, pihak penerbit minta supaya kata "pada" pada judul diubah jadi "di". Kalau tidak, mereka enggan menerbitkannya. Aku tentu saja keberatan.

Pertama, karena kata "pada" dan "di" dalam kalimat itu sama saja maknanya. Yang kedua, pengarang punya kebebasan yang disebut licensia poetica.

Kebebasan itu tentu bukan asal-asalan tapi memang ada tujuannya. Pada staf penerbit itu lantas kuberi penjelasan, kata "pada" memberi keindahan bunyi pada judul novelku.

Kalau diganti "di", keindahan itu hilang. Coba bandingkan, Pada Sebuah Kapal dengan Di Sebuah Kapal, mana yang lebih indah?

Toh pihak penerbit tetap bersikeras. Karena tak ada yang mau mengalah, penerbitan novelku tersendat cukup lama. Baru setelah ada campur tangan dari orang yang benar-benar tahu sastra, penerbitnya mau mengalah.

Jadi, nama pengarang yang sudah beken pun bukan jaminan buat penerbit.

Pilih jadi pramugari

Kembali ke masa remajaku, sebelum jadi novelis, aku sempat lergoda dengan lowongan jadi pramugari.

Bagiku, ini dunia yang bertolak belakang dengan kehidupanku sebelumnya. Aku bisa keliling dunia gratis, mendapat berbagai pengalaman menarik, dan digaji besar pula. Gadis mana tak tergiur?

 

Begitulah, aku melamar dan diterima menjadi pramugari Garuda. Ibu sempat bertanya, kenapa aku tidak tertarik kuliah?

Jawabku, aku sudah bosan jadi tanggungan orang lain. Asal tahu saja, biaya sekolahku semenjak Bapak tiada ditanggung oleh pamanku yang menjadi Dirjen di Kementerian Sosial kala itu.

Berhubung pendidikan pramugari diadakan di Kemayoran, Jakarta, aku pun harus pindah ke Ibu Kota. Aku numpang hidup di rumah pamanku yang jadi Dirjen itu.

Setelah menjalani pendidikan beberapa bulan, aku pun sudah bisa "terbang".

Di sela-sela kerja, aku masih menyempatkan diri mengambil kursus Bl, yaitu pendidikan yang diberikan pemerintah untuk jadi guru SMP dan SMA. Waktu itu, aku mengambil jurusan sejarah.

Namun, dari hari ke hari, kurasakan pelajarannya makin sulit. Sementara itu, sebagai pramugari, aku juga dituntut memiliki bahasa asing kedua sesudah Inggris.

Akhirnya, aku keluar dari kursus Bl dan memilih kursus bahasa Prancis di Kedutaan Prancis. Kebetulan biayanya murah dan aku bisa mendapat buku-buku gratis.

Nah, setelah berjalan beberapa minggu, aku berkenalan dengan pria Prancis. Namanya Yves Coffin. Yves bilang, ingin sekali bisa berbahasa Indonesia. Maklum, ia bekerja sebagai Sekretaris I di Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia di Jakarta.

Sebaliknya, aku ingin sekali bisa bahasa Prancis. Ungkapan Jawa mengatakan, tumbu oleh tutup. Klop, maksudnya. Aku dan Yves pun sepakat untuk barter ilmu, saling belajar dan mengajar  bahasa masing-masing. (TabloidNova/Intisari)

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved