Kisah GKR Hemas Saat Pertemuan dengan Calon Sultan yang Sedang Beli Bakmi
Inilah wawancara paling mendalam yang berhasil menggali secara utuh sosok luar-dalam wanita cantik tersebut, juga pemikiran-pemikirannya.
Pada saat saya kuliah itu datang lamaran dari Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito. Waktu itu ia adalah seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta, putra tertua Sultan Hamengku Buwono IX.
Tapi, wah, saya masih ingin sekolah. Untunglah, di Keraton Yogyakarta tidak bisa sembarang saat melangsungkan pernikahan.
Biasanya harus ada sejumlah pasangan dulu, putera-puteri Sultan, yang kemudian dinikahkan bersama-sama.
Jumlah pasangan harus genap, dua pasang atau empat pasang, dan seterusnya. Tapi tidak boleh ganjil.
• Istri Sultan Yogyakarta Kena Sanksi Akibat 12 Kali Bolos Rapat DPD, GKR Hemas: Jelas, Saya Menolak!
• Novel Bamukmin Sebut Penetapan Tersangka Habib Bahar Kriminalisasi, Ini Pandangan Praktisi Hukum
Dan pernikahan itu pun tergantung dari perkenan Ngerso Dalem (sebutan hormat untuk sultan atau raja yang waktu itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Red) kapan pelaksanaannya.
Yang datang melamarkan adalah Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kami, saat itu sudah pindah rumah dari Kebayoran ke kawasan Cipete, betul-betul terperanjat.
Ini aneh, di luar tradisi. Biasanya yang datang melamarkan adalah utusan Keraton. Bukan rajanya sendiri yang langsung turun tangan.
Kemudian saya timbang-timbang. Sultan Hamengku Buwono IX datang sendiri dengan alasan praktis saja.
Yakni, karena saya hidup di Jakarta, dan pada saat itu beliau juga menetap di Jakarta sebagai pejabat tinggi negara.
Beliau datang tanpa pengawal, tanpa ribut-ribut yang menarik perhatian tetangga.
Setelah itu, beberapa waktu kemudian, datang rombongan yang lebih besar, yakni saudara-saudara Mas Herjuno.
Mereka datang sebagai utusan, membawa benda-benda simbol yang diperlukan untuk upacara lamaran dari Keraton Yogyakarta.
Sang pembeli bakmi
Tentang pacaran? Terus terang kami secara intensif tidak melewati masa tersebut. Kami berkenalan tepat di belakang tembok Keraton Kilen (bangunan besar yang terletak di komplek Keraton bagian barat. Red).
Di belakang tembok itu ada kampung namanya Suronatan, tempat Eyang saya tinggal. Saya dan keluarga setidaknya setahun sekali datang ke Yogya untuk berlibur atau nyekar (berziarah, Red) ke makam leluhur atau melakukan keperluan lain.