Kisah Ngkong Muin Tukang Servis Payung Keliling di Jakarta Utara
Berbekal ilmu otodidak, sepeda tua, dan alat seadanya, Muin bakal berkeliling mencari pelanggan sampai siang.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, CILINCING - Pepatah 'sedia payung sebelum hujan' sudah tidak berarti lagi di kuping Muin.
Bagi dia, pepatah yang benar adalah 'sedia tukang servis payung sebelum hujan'.
Empat tahun belakangan, pria tua yang akrab disapa Ngkong Muin ini memilih opsi kesekian dari upaya bertahan hidupnya, yakni bekerja sebagai tukang servis payung keliling.
Pria asli Betawi yang kini sudah berumur 67 tahun itu tak pernah sekalipun mendapatkan pelajaran soal perbaikan payung.
Muin buta huruf sejak puluhan tahun lamanya, namun instingnya untuk bertahan hidup tampaknya belum buta arah.
Meski tak punya bekal pelatihan servis payung bak buruh-buruh di pabrik payung, Ngkong Muin sudah mahir mengutak-atik payung rusak.
Bisa karena biasa. Selama ini, yang diketahuinya hanyalah mengutak-atik payung dengan alat seadanya, terutama tang.
Lalu, dengan modal otodidak tersebut, Muin berani meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai tukang abu gosok keliling menjadi tukang servis payung keliling.
"Terus pernah lama jadi petugas kebersihan, hampir 30 tahun. Pernah jadi pokdar (kelompok sadar) juga, 15 tahun. Abis saya buta huruf. SD aja nggak lulus. Jadi belajar (servis payung) sendiri, bisa sendiri," beber pria kelahiran Jakarta, 12 Juli 1952 itu, mengawali pembincangan bersama wartawan, Jumat (1/2/2019).
Setiap pagi, sekitar pukul 07.00 WIB, bapak dua anak itu sudah pasti tak bisa berdiam diri di rumahnya.
Dari rumah kontrakannya di Jalan Kompi Jenggot, RT 01/RW 007, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Muin sudah menentukan ke mana dia akan berkeliling setiap harinya.
Rute yang ia lalui ternyata tidak dekat, apalagi alat transportasi yang ia pakai hanyalah sepeda tua.
Muin bercerita, kayuhannya untuk berkeliling mencari pelanggang servis payung pastinya mencapai berkilo-kilo meter setiap harinya. Cakupannya dari Sukapura sampai Kalibaru.
"Sampe ke Tanjung Priok, Cilincing, Koja. Jadi awalnya ke Permai, terus lewatin rumah sakit Koja. Terus lewat Kalibaru, Pasar Pagi, balik lagi ke rumah," ungkapnya.
Berbekal ilmu otodidak, sepeda tua, dan alat seadanya, Muin bakal berkeliling mencari pelanggan sampai siang.
Yang ia lakukan nantinya adalah berteriak menawarkan jasanya di rute kelilingnya. Apabila ada yang memanggil, Muin bakal berhenti dan mengamati kerusakan payung pelanggannya.
Awalnya, sebelum melakukan servisnya, Muin membeli sejumlah payung bekas dengan kondisi bagus dan harga miring dari seorang pengepul di dekat Pasar Koja Baru.
Lalu, payung yang telah ia beli tersebut bakal dijadikan sebagai modal perbaikan.
• Nikmati Berbagai Makanan Turki di Masjid Raya Bintaro
• Jelang Imlek, Pedagang Bandeng Musiman Sudah Bermunculan di Rawa Belong
Triknya, Muin bakal mencopot jari-jari dari payung utuh menggunakan tang untuk dipasang ke payung-payung rusak pelanggannya.
Cara itu termasuk cara paling biasa, karena kerusakan payung pelanggannya kebanyakan masalah jari-jari yang patah, rusak, maupun lepas.
"Beli bahan dari Koja, satu payung cuman 20 ribu. Sekarang kebanyakan payung plastik, jadi yang servisnya besi-besi doang atau pernya rusak diganti," jelasnya sambil menunjukkan beberapa payung sebagai contoh.
Muin mengatakan pada saat musim kemarau beberapa bulan lalu, dirinya meratapi sepinya pelanggan servis payung. Pendapatan Muin pun sangat sedikit.
Di musim hujan seperti sekarang ini, Muin banyak mendapatkan pelanggan. Hari ini saja, dia sudah menservis lima payung pelanggannya.
Meski begitu, pendapatannya tetap tak seberapa. Muin mematok harga servis payung mulai dari Rp 15-20 ribu. Akan tetapi, tak semua pelanggan membayar harga segitu.
"Ya ada aja yang bayar Rp 10 ribu, malah ada yang Rp 5 ribu juga, nawar gitu. Ya saya kasih aja namanya cari duit," ujarnya.
Kenyataan tersebut rupanya tak mematahkan semangat Muin. Sebab, masih ada beberapa pelanggan setianya yang membayar dengan harga sesuai. Sudah begitu, tak jarang Muin diberikan makan oleh para pelanggan setianya.
"Ada aja yang ngasih makan. Ngasih jas hujan juga, yang udah langganan saya itu," katanya.
Kini, di usianya yang sudah tidak muda lagi, Muin masih setia berkeliling mencari siapapun yang payungnya rusak di sekitaran Jakarta Utara.
Dua orang anak Muin yang kini sudah dewasa tak lagi menemani hari-hari tuanya mencari rizki dari Sang Ilahi.
Anak laki-lakinya kini tinggal di rumah Muin di kawasan Rorotan, dia bekerja sebagai satpam. Sementara anak perempuannya kini sudah ada di Sukabumi, ikut suaminya.
Sedangkan Muin, kini tinggal bersama isttinya seorang penjual nasi uduk. Mereka tinggal berdua di Sukapura, untuk menyekolahkan seorang cucu dari anak perempuannya yang kini masih duduk di bangku kelas 6 SD.
Akhirnya, berapapun yang ia dapatkan, meski masih terbilang sedikit, Muin tak pernah menyerah untuk mengayuhkan sepedanya ke sana kemari, di bawah teriknya matahari dan kencangnya klakson truk-truk besar di jalanan Jakarta Utara.
"Mau gimana lagi. Yang penting ada aja pendapatan untuk bertahan hidup," ucapnya.