Mengadu Nasib ke Ibu Kota dari Bumi Ayu, 32 Tahun Azis Makan dan Tidur di Perahu Eretan

Pekerjaannya ini pun bukan tanpa resiko, ia setiap harinya harus bertahan melawan derasnya aliran Kali Ciliwung, khususnya saat musim hujan.

Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/DIONSIUS ARYA BIMA SUCI
Azis (49) penarik perahu eretan di aliran Kali Ciliwung, Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci

TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Selama 32 tahun sudah, Azis (49) menggantungkan hidupnya dari sebuah perahu eretan yang terbuat dari kayu di aliran Kali Ciliwung.

Ya sudah sejak umur 17 tahun, pria kelahiran Bumiayu ini mengadu nasib di ibukota untuk menjadi penarik perahu eretan di daerah Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

"Sejak lulus SMP saya langsung merantau ke Jakarta dari kampung di Bumiayu, enggak nerusin sekolah karena orang tua tidak mampu," ucapnya saat ditemui TribunJakarta.com, Minggu (3/1/2019).

Awalnya, ia pun hanya ikut-ikutan menjadi penarik perahu eretan sampai akhirnya di awal tahun 90-an Azis bisa memiliki perahu sendiri.

"Awalnya ikut orang saja, saya nabung sedikit demi sedikit sampai akhirnya bisa punya perahu sendiri," ujarnya.

Sehari-harinya, ia sudah mulai bekerja mengantarkan warga dari Bukit Duri, Jakarta Selatan menuju Kampung Pulo, Jakarta Timur atau sebaliknya sejak pukul 04.30 WIB sampai 20.00 WIB.

"Biasanya pagi itu sudah mulai banyak pelanggan, anak sekolah atau warga Bukit Duri yang mau belanja di Pasar Jatinegara," kata Azis.

Biaya antar yang dipatok Azis pun cukup murah untuk sekali menyeberang, masyarakat hanya dikenakan biaya Rp 2.000 dan khusus untuk anak sekolah Rp 1.000 saja.

32 Tahun Jadi Penarik Perahu Eretan, Azis Bisa Sekolahkan Anak Hingga Sarjana

Bahkan, terkadang ada beberapa orang yang tidak membayar jasa sesuai tarif yang ia tentukan.

"Ya enggak semua bayar segitu sih, ada yang bukan pelajar tapi bayar Rp 1.000 dan ada tukang buah yang bayar pakai buah yang mereka jual," ucapnya.

"Saya sih terima saja, itung-itung sebagai pelanggan," tambahnya.

Kerasnya hidup di ibukota pun membuatnya terpaksa tinggal di atas perahu eretan.

Pasalnya, hasil jerih payahnya setiap hari menarik perahu eretan tak mencukupi apabila harus membayar kontrakan sambil menafkahi istri dan tiga orang anaknya.

"Daripada uangnya untuk bayar kontrakan mending saya kirim ke kampung untuk nafkahi istri dan sekolahkan anak," ujarnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved