Aktivis Robertus Robet Ditangkap, Gus Nadir dan Yunarto Wijaya Minta Polisi Tak Baperan dan Lebay
Sejumlah intelektual mengkritik polisi menangkap aktivis Robertus Robet karena menyampaikan pendapat. Nadirsyah Hosen dan Yunarto Wijaya, misalnya.
Penulis: Yogi Gustaman | Editor: Rr Dewi Kartika H
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Polisi menjemput paksa pejuang demokrasi dan HAM, Robertus Robet dari rumahnya pada Kamis (7/3/2019) dini hari WIB.
Penangakapan Robertus Robet menimbulkan simpati dari sejumlah intelektual.
Di antaranya Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, dosen Monasy University dan Direktur Eksekutif Charta Politika.
Setelah ditangkap, Robertus Robet dibawa ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Penangkapan Robertus Rober diduga karena orasi dan nyanyian dalam Aksi Kamisan pada 28 Februari 2019.
Sebelum ditangkap, dosen Universitas Negeri Jakarta ini memberikan klarifikasi tentang lagu yang dinyanyikannya tersebut seperti dilansir Kompas TV.
"Saya Robertus Robet.
Belakangan ini beredar sebuah video saya di media sosial.
Saya menerima banyak reaksi dan keberatan. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan beberapa klarifikasi.
Pertama, lagu di dalam orasi tersebut bukanlah lagu saya, juga bukan saya yang membuat, melainkan sebuah lagu yang populer saat gerakan mahasiswa di tahun 1998.
Kedua, asal-usul lagu tersebut sebenarnya juga sudah saya jelaskan di dalam pengantar saya di orasi tersebut namun sayangnya tidak ada di dalam rekaman vide tersebut.
Ketiga, lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau bukan terhadap TNI di masa kini.
Sekali lagi saya ulangi lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau bukan terhadap TNI di masa kini.
Apalagi dimaksudkan untuk menghina profesi dan organisasi institusi TNI.
Sebagai dosen saya sungguh tahu persis upaya-upaya reformasi yang sudah dilakukan oleh TNI.
Dan dalam banyak hal saya justru memuji dan memberikan apresiasi, upaya-upaya reformasi yang dilakukan oleh TNI yang lebih maju dibandingkan dengan yang lainnya.
Demikianlah penjelasan saya semoga dengan penjelasan saya ini.
Semoga saya bisa menjernihkan berbagai macam reaksi.
Namun demikian, apabila ada yang menanggap itu adalah menimbulkan kesalahpahaman saya mohon maaf," kata Robertus Robert dalam klarifikasinya.
Dalam keterangan persnya, Ketua Kontras Yati Andriani menilai polisi tak memiliki dasar hukum untuk menangkap Robertus Robet.
Robertus Robet ditangkap atas dugaan pelanggaran Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Penangkapan Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum serta demokrasi," ujar Yati salah satu tim Advokasi Kebebasan Berekspresi.
Ia menjelaskan, aksi Kamisan menyoroti rencana pemerintah menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil.
Rencana ini bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara.
Hal itu diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 & amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri," imbuh dia.
Rencana penempatan TNI di kementerian-kementerian sipil juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.
"Memasukkan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru yang telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI," imbuh dia.
Yati memastikan Robertus Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI.
Malah, dalam refleksinya Robertus Robet sangat mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.
"Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," imbuh Yati.
Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi menilai Robertus Robet tidak sedikit pun masuk kategori pasal yang dituduhkan kepadanya.
"Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi," tegas Yati.
Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi yang terdiri di antaranya KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, Jurnal Perempuan mendesak Robertus Robet dibebaskan.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir turut menyoal penangkapan Robertus Robet oleh polisi.
Menurut dia, Polri dan TNI tidak perlu baperan karena seorang aktivis menyanyikan lagu tentang ABRI zaman Orde Baru.
Ia membandingkan dengan pengguna narkoba tapi malah mendapat kebebasan.
"Nyanyi mengkritik ABRI jaman orba ditangkap. Yang nyabu malah bebas.
Mosok kesimpulannya mending nyabu daripada jadi aktivis?
Kan gawat....
TNI/POLRI jangan baperan gini dong ah," cuit Gus Nadir di Twitter @na_dirs.
Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, turut membela Robertus Robet dan menjelaskan lagu yang dinyanyikannya.
Dikatakan Yunarto Wijaya, lagu tersebut memang bukan rahasia dan hampir dinyanyikan aktivis pada zaman Orde Baru.
Ia mengingatkan polisi tak usah berlebihan apalagi dengan menangkap aktivis Robertus Robet.
"Dulu saya dan teman2 sering nyanyi itu zaman jd aktivis di kampus... Jangan lebay lah pak polisi...," cuit Yunarto Wijaya.
Politikus PDI Perjuangan yang juga aktivis Budiman Sudjatmiko mencuit soal ini.
Menurut Budiman Sudjatmiko, Robertus Robet bukanlah orang berbahaya.
Ia aktivis pedas karena satirenya tapi tak membahayakan NKRI.
"Tdk perlu ada penangkapan atas Robert. Kepolisian tdk perlu menahan dia. Dia bukan orang berbahaya. Satirenya pedas tp sama sekali tdk mengancam Dasar Negara & NKRI," cuit Budiman Sudjatmiko.