Tribun Wiki
Sederet Bentuk Cacat Logika alias Logical Fallacies, Kerap 'Dipakai' Orang Indonesia
Di Indonesia sendiri, kesalahan berpikir itu kerap disumbangkan oleh masyarakat bahkan publik figur, mulai dari selebriti hingga politikus.
Penulis: Erlina Fury Santika | Editor: Mohamad Afkar Sarvika
TRIBUNJAKARTA.COM - Kecacatan atau kekeliruan berlogika, logical fallacies, memang tak bisa dideteksi secara jelas saat seseorang menyampaikan pernyataannya dalam sebuah diskusi atau perdebatan sekalipun.
Di Indonesia sendiri, kesalahan berpikir itu kerap disumbangkan oleh masyarakat bahkan publik figur, mulai dari selebriti hingga politikus.
Fatalnya, buah pemikiran yang keliru itu wara-wiri di media massa, sehingga tak sedikit orang yang mengamini pernyataan itu.
Untuk mengetahui ciri-ciri logical fallacies, berikut TribunJakarta.com himpun beragam bentuknya, dilansir dari berbagai sumber.
1. Ad-Hominem
Pernyataan yang justru menyerang karakter atau kehidupan personal lawan bicaranya untuk melumpuhkan argumennya.
Padahal, permasalahan bukan terletak pada latar belakang seseorang.
2. Anecdotal
Menggunakan cerita personal, misalnya latar belakang atau masa lalu seseorang, untuk membuktikan "fakta" universal, khususnya untuk menghancurkan data atau statistik.
3. Appeal to emotion
Memanipulasi dengan tindakan emosional.
Pada kondisi ini, seseorang menggunakan emosi seperti menangis atau marah-marah untuk membuktikan sebuah pendapat.

4. Halo effect
Menggunakan pendapat orang lain sebagai 'ahli', untuk melegitimasi pernyataannya, padahal sebenarnya bukan ahli.
5. The Texas Sharpshooters
Memilih data secara sebagian, hanya untuk memperkuat argumentasinya saja.
6. Bandwagon
Referensi pernyataan berdasarkan omongan yang populer atau 'fakta' yang digeneralisir.
Semakin banyak orang yang menerima hal itu sebagai kebenaran, maka hal itu adalah kebenaran.
Orang-orang yang melontarkan pernyataan keliru jenis ini kerap mengikuti arus mayoritas.
• Potret Gading dengan Gaya Rambut Barunya Jadi Sorotan, Matanya Disebut Sendu, Ayah Gempi: Ngantuk
• Tangis Gading Marten Pecah Nyanyikan Pergilah Kasih, Penonton Mendadak Heboh
• Sering Dikonsumsi, Ternyata Sederet Makan Ini Bisa Menurunkan Kinerja Otak
7. Burden of proof
Bahwa pembuktian keabsahan sebuah argumen tidak berada di orang yang membuat argumen, namun pada kemampuan orang lain untuk membuktikan argumen tersebut salah.
8. Appeal to authority
Pernyataan yang dilontarkan atasan, publik figur, atau orang yang punya wewenang, hika mengatakan hal itu benar, hal itu benar adanya.
Padahal, sekali lagi, belum tentu benar.
9. Loaded questions
Menanyakan kembali sebuah asumsi kepada orang yang mengkritiknya, ketimbang merespon pernyataan atau pertanyaan yang dilontarkan si pengkritik.
Sering kali, taktik itu justru tak bisa dijawab si pengkritik.
10. Tu Quoquo
Berbeda tipis dengan sebelumnya, pada kasus ini, seseorang menghindari kritikan dengan cara mengkritik kembali orang yang mengkritiknya.
Follow:
11. Slippery slope
Berpendapat dengan generalisir suatu 'fakta': jika A terjadi, maka Z akan terjadi juga.
Maka orang-orang tidak boleh membiarkan A terjadi.
12. Composition/division
Berasumsi bila sebuah prinsip benar untuk sebuah kondisi, maka prinsip itu akan berlaku untuk kondisi lainnya juga.
Padahal, belum tentu cocok atau benar.
13. False dichotomy fallacy
Ahmad Junaidi, dosen Universitas Mataram sekaligus kandidat Ph.D Monash Universitiy dalam tulisannya di The Conversation indonesia menulis, kesesatan berpikir jenis ini terjadi saat dua pilihan dihadirkan sebagai sesuatu yang harus dipilih.
Contoh kasusnya, "kalau Anda pemilih Jokowi berarti Anda anti-Prabowo".
Padahal, tulis Ahmad, belum tentu karena bisa saja orang menyukai beberapa ide Prabowo walaupun setelah berpikir matang akan memilih Jokowi.
14. Faulty generalization fallacy
Masih meminjam analisis Ahmad Junaidi, kondisi ini terjadi ketika seseorang mengambil kesimpulan dari contoh yang tidak signifikan lalu generalisir secara serampangan.
Contohnya, "Prabowo memilih Sandiaga Uno karena peduli generasi muda" atau "Jokowi memilih Maruf Amin karena Jokowi peduli ulama".

"Dua pernyataan tersebut rentan kekeliruan berlogika karena bisa saja pilihan ini adalah kompromi politik dan tidak serta merta bisa dimaknai sebagai kepedulian terhadap segmen masyarakat tertentu secara nasional atau menyeluruh," tulis Ahmad Junaidi.