Tribun Wiki

Sederet Bentuk Cacat Logika alias Logical Fallacies, Kerap 'Dipakai' Orang Indonesia

Di Indonesia sendiri, kesalahan berpikir itu kerap disumbangkan oleh masyarakat bahkan publik figur, mulai dari selebriti hingga politikus.

Penulis: Erlina Fury Santika | Editor: Mohamad Afkar Sarvika
ziliun.com
Ilustrasi pembagian otak kiri dan otak kanan. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Kecacatan atau kekeliruan berlogika, logical fallacies, memang tak bisa dideteksi secara jelas saat seseorang menyampaikan pernyataannya dalam sebuah diskusi atau perdebatan sekalipun.

Di Indonesia sendiri, kesalahan berpikir itu kerap disumbangkan oleh masyarakat bahkan publik figur, mulai dari selebriti hingga politikus.

Fatalnya, buah pemikiran yang keliru itu wara-wiri di media massa, sehingga tak sedikit orang yang mengamini pernyataan itu.

Untuk mengetahui ciri-ciri logical fallacies, berikut TribunJakarta.com himpun beragam bentuknya, dilansir dari berbagai sumber.

1. Ad-Hominem

Pernyataan yang justru menyerang karakter atau kehidupan personal lawan bicaranya untuk melumpuhkan argumennya.

Padahal, permasalahan bukan terletak pada latar belakang seseorang.

2. Anecdotal

Menggunakan cerita personal, misalnya latar belakang atau masa lalu seseorang, untuk membuktikan "fakta" universal, khususnya untuk menghancurkan data atau statistik.

3. Appeal to emotion

Memanipulasi dengan tindakan emosional.

Pada kondisi ini, seseorang menggunakan emosi seperti menangis atau marah-marah untuk membuktikan sebuah pendapat.

Rosa Meldianti menangis
Rosa Meldianti menangis ((Youtube tayangan silet))

4. Halo effect

Menggunakan pendapat orang lain sebagai 'ahli', untuk melegitimasi pernyataannya, padahal sebenarnya bukan ahli.

5. The Texas Sharpshooters

Memilih data secara sebagian, hanya untuk memperkuat argumentasinya saja.

6. Bandwagon

Referensi pernyataan berdasarkan omongan yang populer atau 'fakta' yang digeneralisir.

Semakin banyak orang yang menerima hal itu sebagai kebenaran, maka hal itu adalah kebenaran.

Orang-orang yang melontarkan pernyataan keliru jenis ini kerap mengikuti arus mayoritas.

Potret Gading dengan Gaya Rambut Barunya Jadi Sorotan, Matanya Disebut Sendu, Ayah Gempi: Ngantuk

Tangis Gading Marten Pecah Nyanyikan Pergilah Kasih, Penonton Mendadak Heboh

Sering Dikonsumsi, Ternyata Sederet Makan Ini Bisa Menurunkan Kinerja Otak

7. Burden of proof

Bahwa pembuktian keabsahan sebuah argumen tidak berada di orang yang membuat argumen, namun pada kemampuan orang lain untuk membuktikan argumen tersebut salah.

8. Appeal to authority

Pernyataan yang dilontarkan atasan, publik figur, atau orang yang punya wewenang, hika mengatakan hal itu benar, hal itu benar adanya.

Padahal, sekali lagi, belum tentu benar.

9. Loaded questions

Menanyakan kembali sebuah asumsi kepada orang yang mengkritiknya, ketimbang merespon pernyataan atau pertanyaan yang dilontarkan si pengkritik.

Sering kali, taktik itu justru tak bisa dijawab si pengkritik.

10. Tu Quoquo

Berbeda tipis dengan sebelumnya, pada kasus ini, seseorang menghindari kritikan dengan cara mengkritik kembali orang yang mengkritiknya.

Follow:

11. Slippery slope

Berpendapat dengan generalisir suatu 'fakta': jika A terjadi, maka Z akan terjadi juga.

Maka orang-orang tidak boleh membiarkan A terjadi.

12. Composition/division

Berasumsi bila sebuah prinsip benar untuk sebuah kondisi, maka prinsip itu akan berlaku untuk kondisi lainnya juga.

Padahal, belum tentu cocok atau benar.

13. False dichotomy fallacy

Ahmad Junaidi, dosen Universitas Mataram sekaligus kandidat Ph.D Monash Universitiy dalam tulisannya di The Conversation indonesia menulis, kesesatan berpikir jenis ini terjadi saat dua pilihan dihadirkan sebagai sesuatu yang harus dipilih.

Contoh kasusnya, "kalau Anda pemilih Jokowi berarti Anda anti-Prabowo".

Padahal, tulis Ahmad, belum tentu karena bisa saja orang menyukai beberapa ide Prabowo walaupun setelah berpikir matang akan memilih Jokowi.

14. Faulty generalization fallacy

Masih meminjam analisis Ahmad Junaidi, kondisi ini terjadi ketika seseorang mengambil kesimpulan dari contoh yang tidak signifikan lalu generalisir secara serampangan.

Contohnya, "Prabowo memilih Sandiaga Uno karena peduli generasi muda" atau "Jokowi memilih Maruf Amin karena Jokowi peduli ulama".

Dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menghadiri deklarasi kampanye damai di Lapangan Silang Monas
Dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menghadiri deklarasi kampanye damai di Lapangan Silang Monas (KOMPAS.com/ABBA GABRILIN)

"Dua pernyataan tersebut rentan kekeliruan berlogika karena bisa saja pilihan ini adalah kompromi politik dan tidak serta merta bisa dimaknai sebagai kepedulian terhadap segmen masyarakat tertentu secara nasional atau menyeluruh," tulis Ahmad Junaidi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved