Polemik Ratna Sarumpaet
Percakapan WA Ratna Sarumpaet dengan Fadli Zon Dibuka Dalam Sidang, hingga Fahri Tawarkan Jadi Saksi
"Ada kirim gambar (wajah lebam Ratna) dan dikasih keterangan 'off the record 21 September malam bandara Bandung. 08 harus tahu siapa yang mengancam."
Penulis: Wahyu Aji Tribun Jakarta | Editor: Erik Sinaga
TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Saksi Ahli Digital Forensik Saji Purwanto menunjukkan bukti percakapan WhatsApp antara terdakwa kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Wakil Ketua BPN Nanik S Deyang.
Percakapan antara ketiganya ditunjukkan dalam sidang kasus penyebaran hoaks di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).
Tangkapan layar percakapan WhatsApp ditunjukkan di muka sidang melalui proyektor.
Dalam tangkapan layar yang ditampilkan, saksi menjelaskan bahwa Ratna mengirimkan foto wajah lebam kepada Fadli Zon.
"Ada kirim gambar (wajah lebam Ratna) dan dikasih keterangan 'off the record 21 September malam bandara Bandung. 08 harus tahu siapa yang mengancam saya itu'," ujar Saji membacakan WhatsApp.
Tanggal 21 September merupakan tanggal saat Ratna mengaku menjadi korban penganiayaan di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
Belakangan, Ratna mengaku bahwa dia berbohong soal penganiayaan tersebut. Hakim Ketua Joni kemudian bertanya mengenai percakapan Ratna dengan Nanik S Deyang.
"Kalau (percakapan Ratna dengan) Nanik Sudaryati ada?" tanya Joni.
Dia kemudian menunjukkan tangkapan layar percakapan Ratna dengan Nanik.
Dalam percakapan tersebut, Ratna mengajak Nanik menghadiri jumpa pers yang digelarnya.
Dalam Jumpa pers yang digelar 3 Oktober 2018 tersebut, Ratna menyebut akan mengakui bahwa dirinya berbohong telah menjadi korban penganiayaan.
Namun, Nanik enggan datang sendirian dalam jumpa pers tersebut.
"Mbak, saya cari teman dulu, takut juga ini," kata Saji membacakan pesan Nanik ke Ratna.
Dalam percakapan tersebut, Nanik mengajak Ratna agar pertemuan dilakukan di luar saja.
"Mbak, sebaiknya bertemu di luar saja. Lalu Ratna share lock, setelah lokasi itu dilakukan penelusuran, lokasinya di Jalan Kampung Melayu Kecil, Tebet, Jakarta Selatan," ujar Saji.
Lokasi tersebut merupakan kediaman Ratna Sarumpaet, lokasi jumpa pers digelar.
Dalam kasus ini, Ratna didakwa Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.
Jaksa juga mendakwa Ratna dengan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ratna sebut Fahri Hamzah tawarkan diri jadi saksi
Terdakwa kasus penyebaran berita hoaks Ratna Sarumpaet membenarkan bahwa Fahri Hamzah akan menjadi saksi dalam persidangan kasus penyebaran berita hoaks.
"Insya Allah (Fahri) kalau di atas tanggal 6 (Mei) bisa. (Tokoh politiknya) itu saja, sama satu lagi (saksi) staf saya," ujar Ratna dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).
Ratna mengatakan, Fahri yang mengajukan diri sebagai saksi.
"Atas permintaan dia. Dia (Fahri Hamzah) menawarkan diri," katanya.

Ketika ditanya soal dua saksi ahli dari jaksa yang telah bersaksi, Ratna memilih diam dan lanjut berjalan ke ruang tunggu.
Ahli bahasa dicecar soal frasa penyebaran berita bohong
Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).
Ahli bahasa ini dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet.
Di awal tanya jawabnya dengan Hakim Ketua Joni, Wahyu menjelaskan bahwa bidang ilmu yang dikuasainya adalah filsafat bahasa.
Ia menjelaskan, secara hakikat filsafat bahasa berbeda dengan linguistik atau ilmu bahasa dari segi subjek keilmuan.
Wahyu menjelaskan, filsafat bahasa lebih cenderung memeriksa makna bahasa sedangkan linguistik lebih cenderung memeriksa bentuk bahasa.
"Dalam pengertian keilmuan dibedakan dengan linguistik. Filsafat bahasa lebih mengarah kepada makna bahasa sehubungan dengan kehidupan. Linguistik berkaitan dengan bentuk-bentuk bahasa. (Filsafat bahasa) terkait penggunaan bahasa pada masayarakat, pada konteksnya," kata Wahyu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).

• Heboh Film Avengers: Endgame, Puaskan Penonton Theater Bioskop Ini Buka Mulai Pukul 08.15 WIB
Wahyu menjelaskan, sejumlah hal yang perlu disoroti untuk mencari makna dalam perspektif filsafat bahasa antara lain, penutur, tuturan (bentuk), penerima tuturan (audien), reaksi dari penerima tuturan (kesan), dan situasi saat proses komunikasi itu terjadi (konteks).
Wahyu juga mengatakan profil penutur dan konteks akan menentukan kesan atau reaksi.
Terkait hal tersebut, menurut Wahyu bahasa juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penerima tuturan terlebih jika penutur adalah seorang tokoh publik.
Terkait frasa "penyiaran berita bohong", Wahyu berpendapat penyiaran informasi yang mengandung sesuatu yang tidak benar bisa dilakukan oleh satu orang ke satu orang lain.
Terkait dengan kata "keonaran", Wahyu berpendapat keonaran tidak berarti harus mengakibatkan keributan fisik.
Menurutnya, dalam filsafat bahasa onar bermakna membuat orang bertanya-tanya, gaduh, heran, atau menimbulkan pro kontra.
Ia mengatakan, pada awalnya dua orang saja sudah cukup untuk dikatakan terlibat dalam keonaran meski dalam perkembangannya membutuhkan lebih banyak orang.
"Dalam konteks ini tidak berarti harus ada keributan fisik. Onar bisa saja membuat bertanya-tanya, gaduh, heran, dalam konteks filsafat bahasa seperti itu. Dalam konteks filsafat bahasa itu (pro kontra adalah) onar. Awalnya dua (orang) saja cukup tapi dalam perkembangannya harus melibatkan banyak orang," kata Wahyu.
Wahyu menolak ketika ditanya pengacara Ratna makna dua kata tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 pasal 14.
Menurutnya, sebagai ahli bahasa ia tidak berkapasitas menafsirkan makna Undang-Undang mengingat bahasa dalam Undang-Undang memiliki norma yang mengikat sendiri.
"Saya tidak bisa memberikan pendapat saya soal Undang-Undang. Itu ada normanya sendiri," kata Wahyu.
Joni pun setuju dengan Wahyu dan meminta pengacara mengganti pertanyaannya.
JPU juga sempat mencecar Wahyu dengan pertanyaan terkait fakta konferensi pers pengakuan Ratna pada sehingga Joni harus berulang kali menegur JPU untuk tidak mengaitkannya langsung ke fakta kasus.
"Coba kasih pertanyaan yang lebih bebas. Soal fakta biar kami (majelis hakim) yang menilainya. Ahli ini dihadirkan untuk diminta pendapatnya," kata Joni kepada JPU. (Kompas.com/Tribunnews.com)