Paul Si Mantan Pengamen dan Usahanya Menghadirkan Hari Pendidikan Abadi di Kampung Bayam

Sementara di dalam rumah berukuran sekira 5x3 meter itu, terdapat sebuah papan tulis dan rak buku yang berisi buku pelajaran.

Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/GERALD LEONARDO AGUSTINO
Paulinus Melatunan (53). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino

TRIBUNJAKARTA.COM, TANJUNG PRIOK - Hari Pendidikan Nasional Kamis (2/5/2019) kemarin mungkin dianggap sebagai angin lalu bagi sebagian orang.

Namun, di sebuah gang sempit di Kampung Kebun Bayam, Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, setiap hari nampaknya adalah hari pendidikan, terutama di rumah nomor 123 di gang pinggir rel kereta itu.

TribunJakarta.com Jumat (3/5/2019) ini mengunjungi rumah tersebut, yang saat ini ditempati seorang pria paruh baya bernama lengkap Paulinus Melatunan (53) alias Paul.

Nama Paul sepertinya sudah begitu harum di gang itu. Pasalnya, saat memasuki gang itu dan menanyakan lokasi pasti rumah Paul, semua warga sudah hapal di letaknya.

Jawaban warga pun terdengar sama: "Oh rumah Pak Paul, itu di ujung gang di sisi kanan, di depan warung".

Dari luar, rumah bertingkat dua itu nampak seperti rumah warga biasa, dengan kelir bernuansa biru-putih.

Cerita Istri Pengamen Tewas di Kali Sunter: Panggilan Terakhir Hingga Perubahan Sikap Sang Suami

Sementara di dalam rumah berukuran sekira 5x3 meter itu, terdapat sebuah papan tulis dan rak buku yang berisi buku pelajaran.

Siang ini Paul tengah bercengkrama dengan belasan anak didiknya. Meski jam pelajaran baru dimulai malam nanti, anak-anak Kampung Kebun Bayam sudah berkumpul di rumah yang biasa disebut Rumah Belajar Kampung Bayam itu.

Mereka nampak bebas berkeliaran di dalam rumah sempit itu, sementara Paul hanya duduk santai bersandar pada dinding rumah.

Paul mengawali perbincangan siang tadi dengan menjawab alasannya menghadirkan rumah belajar di permukiman yang dianggap sarang penyamun itu.

Kunjungan Paul ke Kampung Kebun Bayam bermula 2011 lalu. Saat itu, hatinya terketuk seketika usai melihat kondisi permukiman tersebut.

Apalagi, banyak ia lihat anak-anak di tempat itu seperti terlantar. Ia ingin menciptakan rumah bagi anak-anak itu untuk mengenyam pendidikan, meski non-formal.

Akhirnya, Paul mencari bantuan dana ke sana ke mari, untuk mendapatkan donasi supaya bisa membuat rumah belajar.

Sepertinya Tuhan mendengar doa Paul, lantaran Paul akhirnya mendapatkan donasi untuk membuat rumah belajar di gang sempit itu.

Satu rumah yang terletak tak jauh dari pinti masuk permukiman, diberikan secara cuma-cuma dari donatur.

Sementara rumah belajar yang saat ini ditempatinya dengan lokasi di ujung gang, adalah rumah yang dibeli donatur seharga Rp 5 juta. Rumah itu diberikan secara cuma-cuma untuk dikembangkan Paul.

"Belum ada rumah belajar di sini. Saya bertanya kok anak-anak ini nggak diperhatikan? Maka awalnya saya mulai dengan kertas gambar, lama kelamaan makin banyak yang datang. Lalu saya ajar baca tulis, dan lain-lain," kata Paul sambil mengatakan rumah belajar pertamanya di Kampung Kebun Bayam ada tak jauh dari gerbang masuk permukiman itu.

Dikenal Cuek, Ini yang Diharapkan Paula Verhoeven di Hari Ulang Tahun Baim ke-38

Kepedulian Paul terhadap pendidikan anak-anak ternyata bukanlah hal yang muncul baru-baru ini.

Kepedulian itu muncul sejak tahun 2000. Saat itu, bapak anak tiga kelahiran Ambon 9 Februari 1966 itu masih mencari nafkah sebagai seorang pengamen.

Sebelum menjadi pengamen, Paul sempat bekerja di kapal pesiar. Namun, setelah bertahun-tahun melaut, Paul tak lagi menemukan kedamaian dalam dirinya.

Ia pun memutuskan merantau ke Jakarta pada tahun 1997 usai berlabuh di Surabaya.

Bekal Paul ke Jakarta hanyalah sebuah gitar yang ia pakai untuk bernyanyi di waktu senggang.

Ketika merantau ke Jakarta, gitar itu menjadi senjatanya mencari uang. Awalnya, di tahun 1998, Paul yang di Jakarta tinggal bersama kakaknya di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat, mengamen di dalam angkutan umum rute Rawasari-Cililitan.

"Saya dulu kerja di kapal pesiar sejak tahun 1988 hingga 1996, lalu mulai merasa resah karena kehidupan sebagai seorang Anak Buah Kapal (ABK) saya rasa kurang cocok untuk diri saya," ungkap Paul.

"Sejak berhenti jadi ABK, saya mulai mengamen. Tidak punya uang, hanya modal sebuah gitar, saya pergi ke Jakarta. Lalu saya mulai aktif sebagai pengamen, keliling Jakarta begitulah," imbuh dia.

Paul mulai menemukan jati dirinya untuk menyediakan tempat bagi anak-anak untuk belajar saat pada tahun 2000 ia diajak rekannya mengamen di daerah Tanjung Priok.

Di sana, Paul tak hanya mengamen, melainkan juga memberikan pelajaran hidup kepada anak-anak jalanan Tanjung Priok.

"Pertama kali saya mulai peduli itu ketika sering membantu grup musik rohani di sekitar rel Tanjung Priok. Saat itu saya lihat banyak anak-anak yang tidak diurusi orang tuanya, disitulah mulai timbul kepedulian saya untuk mengajak mereka belajar bersama," kata pria plontos itu.

"Memang saya mulai hal seperti ini dari tahun 2000 di rel Tanjung Priok, Pasar Ngalo (Pademangan), terus di Tanjung Priok di Papanggo, cuman karena sudah banyak anak aku pindah cari tempat lain," kata Paul.

Paul merasa terpanggil untuk menyediakan pendidikan non-formal bagi anak jalanan saat bayang-bayang ibunya terlintas di pikirannya.

Memori Paul berangkat ke masa lalu, di mana sang ibu yang bekerja sebagai seorang guru dilihatnya sering mengajar anak kecil dengan gratis di rumahnya selepas pulang sekolah.

"Kita harus mengajar anak-anak ini setulus hati, seperti anak kita sendiri. Saya biasa mengatakan bahwa setiap dari mereka adalah orang yang berguna, dan harus punya mimpi untuk bisa hidup, lebih dari orang tua mereka," kata Paul menarik benang merah dari aktivitas ibunya ke kehidupannya yang sekarang.

Pendidikan Karakter

Apa yang disajikan di Rumah Belajar Kampung Bayam, kata Paul, bukan hanya soal pelajaran biasa seperti matematika, IPA, IPS, dan lainnya.

Bagi Paul, sajian terpenting yang setiap hari selalu tersedia di rumah itu adalah pendidikan karakter. Dan itu ia jalankan setiap harinya.

Paul memulai semua ini dengan menanamkan prinsip menghargai diri sendiri kepada anak-anak didiknya di Kampung Kebun Bayam yang kini sudah berjumlah 120 orang.

"Kalian berguna loh, kalian itu manusia bukan hewan kalian punya perasaan kalian punya akal yang bagus," ucap Paul mereka ulang motivasi awal yang biasa ia berikan kepada anak didiknya.

Karena motivasi dan kebaikan yang senantiasa Paul lakukan di depan anak-anak itu, mereka pun perlahan-lahan mudah mengikuti apa yang Paul sampaikan.

Paul juga menanamkan dua hal penting kepada anak-anak didiknya: "jangan bodoh, minimal bisa baca dulu, dan jadilah orang baik".

Upaya Paul mendidik karakter anak-anak di kampung itu muncul akan kekhawatirannya.

Ia khawatir, anak-anak didiknya yang kebanyakan didominasi usia 5-12 tahun bisa terjerumus ke sisi gelap permukiman pinggir rel.

"Kayak di sini banyak anak-anak muda yang sudah kenal bersetubuh. Banyak yang sudah jatuh ke dunia prostitusi, saya nggak mau anak-anak ini masa depannya seperti itu," ucap Paul.

Kunci dalam mengajar anak-anak, menurut Paul, adalah dengan tidak melakukan pemaksaan.

"Membuat anak nyaman dengan lebih dulu bernyanyi, bermain, mengajari mereka untuk berdoa saat memulai dan mengakhiri aktivitas. Akhirnya enggak jadwalnya belajar pun mereka akan bermain kesini. Dari situ baru pelan-pelan kita ajak mereka belajar menghitung, membaca, dan apapun pelajaran di sekolah," jelasnya.

Bahkan, lanjut Paul, apa yang anak-anak didiknya dapatkan di rumah belajar terbawa sampai ke rumah-rumah mereka.

Saat sampai rumah, tak jarang anak-anak didik Paul memunculkan senyum bangga di wajah orang tua mereka.

"Saya ajarin mereka berdoa sebelum tidur, sebelum makan, dan itu terbawa sampai ke rumah. Orang-orang tua mereka melihat kok anak-anak ini berubah, jadinya mereka mempercayai saya," kata Paul.

Perbincangan hari ini ditutup Paul dengan menyampaikan makna Hari Pendidikan Nasional baginya pribadi.

Bagi Paul, pendidikan adalah hal mutlak yang harus diperhatikan, seperti dirinya memperhatikan anak-anak Kampung Kebun Bayam setiap harinya, seperti Paul yang berupaya menjadikan setiap hari sebagai hari pendidikan bagi anak-anak didiknya.

"Karena kalo nggak, nggak ada gunanya anak-anak sekarang untuk bisa menjadi baik jadi arahkan semua anak-anak di Indonesia untuk tahu dari mana mereka berhasil, dengan mendapatkan pendidikan yang baik," kata Paul.

"Maka bagi para pengajar, mengajarlah dengan hati, seperti mengajar anak sendiri," tandasnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved