Menelisik Sejarah Masjid Al-Mukarromah yang Punya Makam Habib Tertua di Kampung Bandan
Lantangnya suara mesin dan roda-roda yang menggilas aspal menghadirkan suasana hiruk pikuk yang seakan tak pernah usai.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Wahyu Aji
Tempat peristirahatan keduanya juga merupakan makam tertua penyebar agama Islam di Jakarta.
"Cikal bakal adanya masjid itu karena ada makam Wali Allah. Makam pertama itu Habib Mohammad Bin Umar Alqudsi dan Habib Ali Bin Abdurrahman Ba'alawi, beliau syiar dari Yaman, ke Aceh, hingga terakhir di sini," kata Habib Alwi.
Setelah dua Habib tersebut wafat, 200 tahun kemudian terjadi kevakuman di kawasan makam keramat itu.
Selanjutnya, datang kembali seorang penyiar agama Islam bernama Habib Abdurrahman Bin Alwi Asy-Syathri.
Beliau, kata Habib Alwi, ingin supaya permukiman yang dipenuhi pendatang dari wilayah Banda, Maluku, tersebut bisa punya tempat ibadah.
Kampung Bandan sendiri namanya berasal dari pendatang asal Banda tersebut. Mereka, setahu Alwi, merupakan tawanan Belanda zaman VOC yang dibuang dan ditempatkan di pesisir Jakarta Utara itu.
"Itu dibangun pada tahun 1879. Dia ingin supaya ada tempat ibadah dan tempat ziarah untuk ke makam dua habib sebelumnya. Itu di depan juga kan ada makam Banda juga," terang Alwi.
Awalnya, masjid ini dinamakan Masjid Kramat Kampung Bandan, mengingat lokasinya yang memang berada di permukiman Kampung Bandan.
Pada tahun 1879, masjid dibangun persis di sebelah makam keramat. Masjid awal dibangun dengan 9 pilar dan serambinya.
Namun, seiring waktu berjalan dan seiring dengan perluasan serta renovasi, masjid itu namanya diubah menjadi Masjid Al Mukarromah, meski di papan namanya tulisan Makam Kramat Kampung Bandan masih lekat.
"Setelah perluasan, makam ini masuk ke dalam bangunan masjidnya, itu bisa dipakai salat berjamaah, itu diubah namanya, Jami. Jadi nggak disebut lagi Masjid Kramat Kampung Bandan, tapi Masjid Jami Al-Mukarromah," kata Alwi.
Perubahan nama terjadi seiring sejarah masjid ini sejak 1879 hingga periode 2000-an.
Menurut Alwi, masjid itu seperti tidak mendapatkan perhatian pada awalnya, terutama soal kepemilikkan lahan masjid.
Alwi mengatakan, dulunya lahan masjid itu luasnya mencapai 1 hektar. Namun, karena pendatang silih berganti menempati kawasan pinggir pantai itu, lahan sekitaran masjid pun seakan dipangkas untuk rumah-rumah warga.
"Sekarang sisanya tinggal sepertiganya aja lahan masjid," ucap Alwi.