Warga Terdampak Gusuran Proyek DDT Stasiun Kranji Ingin Penilaian Ulang Aset
Ketidaksesuai nilai ganti rugi terletak pada elemen penilaian appraisal dimana pihak yang melakukan penilaian tidak menghitung kerugian
Penulis: Yusuf Bachtiar | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Yusuf Bachtiar
TRIBUNJAKARTA.COM, MEDAN SATRIA - Warga terdampak gusuran proyek lintasan dwi ganda atau double double track (DDT) di sekitaran Stasiun Kranji, RW02, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi meminta agar dilakukan penilaian ulang aset atau appraisal.
Terdapat 27 warga pemilik 29 bidang lahan seluas 1.657 meter persegi yang rencananya akan digusur untuk proyek DDT Maggarai Cikarang oleh Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta dan Banten. Dari total itu, jumlah nilai ganti rugi mencapai Rp 7,9 miliar.
"Dasar nilai ganti rugi itu ditetapkan pada 2015 setelah Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta dan Banten menyerahkan ke KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) FAST," kata kuasa hukum warga Mahrus Ali, Senin (8/7/2019).
Haris Kamali (70), salah satu warga terdampak gusuran mengatakan, pada dasarnya warga tidak menolak lahannya dipakai untuk proyek pembangunan DDT. Namun dia berharap, pemerintah dapat lebih bijak dalam memberikan ganti rugi.
"Warga cuma ingin penilaian ulang, karena penilaian yang ada selama ini tidak sesuai," ungkapnya.
Ketidaksesuai nilai ganti rugi terletak pada elemen penilaian appraisal dimana pihak yang melakukan penilaian tidak menghitung kerugian dari aspek non-fisik.
• Dapur Umum di Lokasi Kebakaran Kelurahan Cipinang Besaran Selatan Disiagakan Selama Seminggu
• Kasus Ikan Asin: Komnas Perempuan Sebut Ada Pelecehan Seksual, Iriana Jokowi Diminta Pantau
"Di sini kami bukan hanya tinggal, ada yang bergantung hidup dari usaha warung, buka penitipan motor, itu semua enggak dihitung," ungkapnya.
Sulistiono (49), warga terdampak lainnya mengatakan, selama ini rumah yang dia diami diberdayakan untuk usaha warung kopi. Dari usaha itu, dia menggantungkan sumber perokonomian untuk kebutuhan keluarga.
"Saya punya usaha warung dan parkiran, tapi dari appraisal itu tidak dihitung, hanya luas lahan dan bangunannya," kata Sulistiono.
Dia mengaku selama ini tetap berjuang mempertahankan apa yang seharusnya dia dapat. Tidak jarang, tekanan dan godaan serta intimidasi kerap dia dapat ketika dia bersama warga lainnya memilih jalur hukum untuk proses appraisal ulang.
"Ada yang bilang kalau lawan pemerintah pasti kalah, duit enggak dapet tanah hilang, tapi saya tetep berjuang, Pak Jokowi bilang kalau buat warga ganti untung bukan ganti rugi, tapi kalau kenyataanya kaya gini kita rugi soalnya lahan kita, sumber mata pencarian kita enggak dihargai," ujarnya.