Cerita Hamid, Keliling Jual Tikar Anyaman Rumput Mendong untuk Hidupi Anak dan Cucunya di Tasik

"Pernah selama tiga hari berturut-turut tak ada yang beli," ungkapnya saat ditemui TribunJakarta.com di pinggir jalan Pejaten pada Senin (5/7/2019).

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Penjual tikar rumput mendong di Pejaten pada Senin (5/7/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Saat terik matahari mulai terasa menyengat, Hamid berkeliling sambil memanggul tumpukan gulungan tikar dari anyaman rumput mendong.

Hamid berjalan sambil menawarkan dagangannya kepada warga sekitar.

Di usia senjanya, pria asal Tasik ini menolak berleha-leha di rumah.

Ia memilih tetap membanting tulang demi mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri maupun keluarganya di kampung.

Gang demi gang hingga kompleks perumahan ia susuri menawarkan tikarnya agar laku dibeli.

Namun, harapan Hamid berjualan agar laku dibeli sering tak berbanding lurus dengan kenyataan yang dituainya.

"Pernah selama tiga hari berturut-turut tak ada yang beli," ungkapnya saat ditemui TribunJakarta.com di pinggir jalan Pejaten pada Senin (5/7/2019).

Ia menjual berbagai ukuran tikar mulai dari dua meter hingga tiga meter panjangnya dengan harga mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 400 ribu.

Berjalan Kaki Jajakan Tikar

Penjual tikar rumput mendong di Pejaten pada Senin (5/7/2019).
Penjual tikar rumput mendong di Pejaten pada Senin (5/7/2019). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Saat matahari pagi mulai muncul, tanda Hamid bersiap untuk berjualan tikar keliling kota.

Sejak pukul 08.00 WIB, ia sudah keluar rumah memanggul tikar-tikar asal Tasikmalaya itu.

Ia seringkali berjalan kaki ke Pasar Minggu, Blok M, Cilandak bahkan Ciledug menawarkan tikarnya.

"Kalau ada ongkos lebih saya naik angkutan umum. Masuk kompleks perumahan kemudian masuk kampung-kampung," tambahnya.

Perjuangannya berkeliling menjajakan tikar dengan berjalan kaki tak jarang pulang dengan tangan hampa.

"Pernah enggak ada yang beli, sengsaranya kalau enggak laku, itu aja," terangnya.

Pernah Kecopetan Jutaan Rupiah

Selama berjualan tikar anyaman rumput mendong, Hamid pernah tertimpa nasib sial.

Kejadian malang itu tatkala Hamid berjualan di bilangan Pasar Minggu dan Cipinang.

Dompet miliknya dua kali dicopet oleh orang yang berpura-pura hendak membeli dagangannya.

Padahal, uang yang berada di dalam dompetnya merupakan uang untuk setoran ke atasannya.

"Lagi ngobrol sama pembeli, dipepet. Bilangnya mau beli borongan. Saya enggak curiga, tapi ternyata enggak jadi beli dan ketika dia pergi, dompet saya enggak ada. Dua kali kejadiannya," kenangnya.

Akibatnya, Hamid kehilangan uang setoran hingga jutaan rupiah dari hasil dirinya berkeliling jajakan tikar.

"Yang di Pasar Minggu hilang Rp 1,5 juta kalau di Cipinang, Rp 2,5 juta. Hilang semua duit setoran," tambahnya.

Tinggal Berempat Bersama Sesama Penjual Tikar

Hidup di Jakarta, lanjut Hamid, hanyalah untuk menyambung hidup dan membiayai anak cucunya.

Ia tinggal bersama sesama penjual tikar di rumah yang dibeli oleh pengusaha tikar.

"Bos saya yang beli rumah di Pejaten, jadi saya sama tiga penjual lainnya tidur di sana," bebernya.

Di rumah berukuran empat meter x sebelas meter itu, Hamid tinggal bersama dengan tiga penjual tikar yang seumuran dengan dirinya.

"Tinggal di sana cuma buat tidur aja. Kita tidur bareng tumpukan tikar yang akan dijual besoknya. Keci sih tapi ya namanya merantau. Yang jual juga udah tua kayak saya semua," ujarnya.

Menurutnya, anak-anak muda sudah tak ada yang mau berjualan tikar seperti dirinya.

"Orang muda, udah enggak mau dagang kayak kami begini," katanya seraya tertawa.

Ia seringkali pulang ke kampung halamannya di Tasikmalaya jika uangnya mencukupi.

Di sana, Hamid bekerja sebagai petani.

Hidupi Anak dan 10 Cucu di Kampung

Ia berulang kali diingatkan oleh anaknya untuk tidak lagi bekerja mengingat usianya yang kian menua.

Namun, kebutuhan hidup yang terdesak membuat dirinya harus bekerja.

Hamid memiliki tiga orang anak namun dua anaknya sudah tutup usia meninggalkanya lebih dulu.

Kini, ia harus menghidupi dirinya sendiri serta satu orang anak dengan 10 orang cucu dan dua cicit.

"Anak saya bilang jangan kerja, tapi bagaimana kebutuhan hidup banyak. Saya punya anak 10 cucu, dan dua cicit," tambahnya.

Dalam sebulan biasanya, ia mengantongi Rp 2 juta untuk dibawa pulang kampung di Tasik.

"Kerja begini sebenarnya capek ya, jalan kaki terus-terusan. Tapi buat hidup, biasanya sebulan dapat uang Rp 2 juta saya bawa ke kampung," ujarnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved