Kisah Faisol Yusuf, Penjaga Lapangan Banteng dan Jual Kerak Telor hingga Berangkat ke Maroko
"Dua anak di bangku kuliah, sedangkan anak saya satu lagi masih SD. Padahal awalnya saya hanya ngemper di Lapangan Banteng," ujarnya.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, SAWAH BESAR - Di bawah pohon rindang sekitar Lapangan Banteng, duduk Faisol Yusuf (50) tengah meladeni pesanan kerak telor pembeli.
Tangan kirinya tangkas membolak-balik kerak telor yang mengerak dalam wajan di atas anglo terakota.
Sementara tangan kanannya sibuk menggerakkan kipas bambu ke arah bara api agar terus menyala.
Asap kerak telor pun menyeruak terhembus angin ke jalan raya yang tampak lengang di siang bolong itu.
Meski Faisol asli arek-arek Jawa Timur dari Probolinggo, ia mahir membuat kerak telor.
Rasa kerak telornya pun sama seperti pedagang kerak telor lainnya.
Kerak telor ayam dihargai Rp 20 ribu sedangkan telor bebek Rp 25 ribu.
Ia mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai pedagang kerak telor.
Bahkan, kerak telornya pun telah melanglang buana ke berbagai Negara yaitu, Maroko, Turki, Malaysia dan Thailand.
Namun, dibalik itu semua, banyak jalan terjal yang dilalui Faisol sebagai perantau di Ibu Kota.
Kehidupan yang keras membuatnya terus berpegang teguh kepada pendiriannya untuk bertahan hidup di kota sebesar Jakarta.
Tahun 1977 ke Jakarta, Tinggal di Terminal
Di tahun 1977, Faisol merantau ke Jakarta bersama orangtuanya.
Mereka pertama kali menjejakkan kakinya di Terminal Lapangan Banteng, kala itu Lapangan Banteng masih menjadi sebuah terminal.