Kisah Faisol Yusuf, Penjaga Lapangan Banteng dan Jual Kerak Telor hingga Berangkat ke Maroko

"Dua anak di bangku kuliah, sedangkan anak saya satu lagi masih SD. Padahal awalnya saya hanya ngemper di Lapangan Banteng," ujarnya.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Faisol Yusuf, pedagang kerak telor di Lapangan Banteng pada Jumat (9/8/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, SAWAH BESAR - Di bawah pohon rindang sekitar Lapangan Banteng, duduk Faisol Yusuf (50) tengah meladeni pesanan kerak telor pembeli.

Tangan kirinya tangkas membolak-balik kerak telor yang mengerak dalam wajan di atas anglo terakota.

Sementara tangan kanannya sibuk menggerakkan kipas bambu ke arah bara api agar terus menyala.

Asap kerak telor pun menyeruak terhembus angin ke jalan raya yang tampak lengang di siang bolong itu.

Meski Faisol asli arek-arek Jawa Timur dari Probolinggo, ia mahir membuat kerak telor.

Rasa kerak telornya pun sama seperti pedagang kerak telor lainnya.

Kerak telor ayam dihargai Rp 20 ribu sedangkan telor bebek Rp 25 ribu.

Ia mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai pedagang kerak telor.

Bahkan, kerak telornya pun telah melanglang buana ke berbagai Negara yaitu, Maroko, Turki, Malaysia dan Thailand.

Namun, dibalik itu semua, banyak jalan terjal yang dilalui Faisol sebagai perantau di Ibu Kota.

Kehidupan yang keras membuatnya terus berpegang teguh kepada pendiriannya untuk bertahan hidup di kota sebesar Jakarta.

Tahun 1977 ke Jakarta, Tinggal di Terminal

Di tahun 1977, Faisol merantau ke Jakarta bersama orangtuanya.

Mereka pertama kali menjejakkan kakinya di Terminal Lapangan Banteng, kala itu Lapangan Banteng masih menjadi sebuah terminal.

Bermodalkan uang Rp 800 perak, ia tinggal mengemper bersama orangtuanya di Terminal itu.

Faisol pun sempat berdagang buah mangga yang diambilnya dari Stasiun Beos atau yang kini dikenal Stasiun Jakarta Kota.

"Di sana mangga yang udah enggak laku, kita sortirin. Kemudian kita bawa ke terminal buat jual-jualin ke bis-bis," ungkapnya.

Selama setahun, aku Faisol, dirinya tinggal di Terminal Lapangan Banteng.

"Setelah setahun itu saya kuasain daerah terminal, saya tinggal di rumah di Pejambon," ujarnya.

Jadi Preman Terminal Lapangan Banteng

Bagi Faisol, menyambung hidup di Terminal Lapangan Banteng itu keras bak batu karang.

Pasalnya, hanya masalah sepele saja, baku hantam mudah terjadi hingga menimbulkan korban jiwa.

"Hanya rokok sebatang, bisa bunuh-bunuhan di sini," katanya.

Ia juga tak jarang melihat mayat bergelimpangan di sekitar Lapangan Banteng kala itu.

Selain itu, tingkat kriminalitas juga terbilang tinggi seperti pencopetan.

"Di lapangan ini banyak sekali preman. Rawan sekali dulu di sini," kenangnya.

Diri Faisol yang keras terbentuk dari kehidupannya selama Lapangan Banteng itu masih menjadi terminal.

Dulu, sewaktu ia masih menjual koran di sana, Faisol pernah bertikai dengan sesama penjual koran yang lebih tua.

"Waktu kita lagi ngantre di bus buat jualan koran, dia main nyelonong aja. Terus saya berani bertikai sama dia," kenangnya.

Kehidupan di Terminal kala itu terbilang keras.

Karena kenekatan dan keberaniannya, Faisol disegani oleh sebagian besar orang di sana. Banyak yang mengenal Faisol.

"Saya dulu memang terkenal preman di sana. Dulu memang suka berantem. Tapi sesuai aturan. Saya membantu kaum-kaum yang seperti saya ini juga," ujarnya.

Ia mengaku membela kaumnya yaitu para pedagang yang terpinggirkan maupun orang yang kesulitan secara ekonomi.

Faisol tak segan-segan memberikan modal secara cuma-cuma kepada para pedagang untuk mengembangkan usahanya.

Misalnya, ia memberikan modal kepada pedagang kerak telor maupun bengkel.

"Saya ngasih modal ke mereka ikhlas. Saya memang banyak menolong mereka. Akhirnya banyak yang kenal dan mau bantu saya," tambahnya.

Jual Kerak Telor Sampai Maroko

Sekitar tahun 90-an, Faisol bersama anaknya, Fanny Syamsuri kemudian membangun usaha kerak telor di Lapangan Banteng.

Dari usahanya ini, ia bisa menghidupi ketiga anaknya.

"Dua anak di bangku kuliah, sedangkan anak saya satu lagi masih SD. Padahal awalnya saya hanya ngemper di Lapangan Banteng," ujarnya.

Usaha kerak telornya pun ia beri nama Kerak Telor Lapangan Banteng.

"Karena dari saya datang ke Jakarta, saya tinggal di Lapangan Banteng," ujarnya.

Seiring dengan terkenalnya kerak telornya, Pemerintah DKI sempat mengajaknya ke Maroko.

Undangan itu dalam rangka memperkenalkan kuliner nusantara ke kancah Internasional.

"Saya suruh anak saya yang ke sana. Karena saya enggak bisa bahasa Inggris," ungkapnya.

Ketemu Ahok

Saat Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok mengunjungi Lapangan Banteng, Faisol pun menemuinya.

Faisol memberikan dua kerak telor kepada Ahok sebagai ucapan terimakasih.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Faisol pedagang kerak telor di Lapangan Banteng.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Faisol pedagang kerak telor di Lapangan Banteng. (ISTIMEWA/Tangkap layar Youtube BTP)

"Zaman pak Ahok kan anak saya diberangkatin. Terus kita dibolehin dagang di Balai Kota. Di sana laku keras," kenangnya.

Pasalnya, hanya dalam hitungan dua hari, Faisol bisa meraup jutaan rupiah saat berada di Balai Kota.

"Sabtu dan Minggu jualan di sana, yang beli anak-anak sekolah. Saya bisa dapat Rp 3 juta dalam dua hari. Sampai sekarang saya masih jualan di sana," terangnya.

Hingga kini, Faisol terus berjualan di Lapangan Banteng, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Di bawah pepohonan rimbun, asap dari anglo miliknya terus mengepul.

Hanya ia seorang diri yang menjual kerak telor di tempat itu.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved