Kapolda Metro Jaya Mengaku Belum Dapat Laporan Polisi Intimidasi Wartawan Liput Demo Buruh di DPR

Dirinya mengatakan akan mempelajari intimidasi yang menyasar enam wartawan dari berbagai media itu.

Penulis: Jaisy Rahman Tohir | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/JAISY RAHMAN TOHIR
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Gatot Eddy etelah mengikuti acara "Gowes Merdeka" yang merupakan bagian dari perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-74 Republik Indonesia, di Astra Biz, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Minggu (18/8/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Jaisy Rahman Tohir

TRIBUNJAKARTA.COM, PAGEDANGAN - Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Gatot Eddy Pramono mengaku belum mendapatkan laporan resmi soal intimidasi terhadap wartawan yang meliput demo buruh di depan kantor DPR/MPR pada Jumat (16/8/2019) lalu.

Dirinya mengatakan akan mempelajari intimidasi yang menimpa enam wartawan dari berbagai media itu.

"Kita pelajari lebih lanjut, saya kan belum tahu tuh, laporan resminya ke saya belum, nanti kita lihat," ujar Gatot usai mengikuti acara "Gowes Merdeka" yang merupakan bagian dari perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-74 Republik Indonesia, Kabupaten Tangerang, Minggu (18/8/2019).

Menurut Gatot, kemerdekaan berpendapat di Indonesia sudah diatur dalam Undang-undang.

Dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 yang disebutkannya, Gatot menjabarkan batasan-batasan mengutarakan pendapat.

"Apa batasan-batasan itu, yang pertama adalah tidak melanggar hak asasi orang lain, tidak mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Kemudian menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ada beberapa yang lainnya," ujarnya.

Lebih condong berbicara tentang unjuk rasa, dalam hal mengutarakan pendapat, Gatot juga menyebutkan tentang peraturan kepolisian soal waktu berunjuk rasa.

"Kemudian dari undang-undang ini Polri juga menjabarkan di dalam peraturan kepolisian, di mana salah satunya yaitu ketika melakukan penyampaian aspirasi juga harus menyampaikan surat pemberitahuan dan diberikan izin. Batas waktu juga ada jam 18.00," ujarnya.

Dengan tegas Gatot mengatakan, aksi unjuk rasa tak berizin dan melanggar ketentuan yang berlaku bisa dibubarkan.

"Jadi persyaratan pesertanya ada. Kalau memang diberikan izin, akan dilaksanakan, tapi tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. Kemudian tadi tidak mengganggu hak-hak orang lain, kemudian juga tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Ada beberapa poin-poin yang lain," jelasnya.

Sedangkan terkait demo buruh di depan kantor DPR/MPR itu, Gatot menjelaskan pihaknya tidak pernah memberi izin.

Ia juga memohon maklum jika terjadi insiden dalam pengamanan atau tindakan kepolisian pada demo tersebut

"Seperti aksi kemarin itu kan kita tidak memberikan izin kegiatan dari Polda Metro Jaya, tetapi kita juga tidak membubarkan semuanya. Tapi kita juga mengambil langkah-langkah, mana yang kira-kira dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan, kita ambil diskresi kepolisian," ujarnya.

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta mengecam kekerasan dan intimidasi polisi pada sejumlah jurnalis saat meliput aksi demo di sekitar gedung DPR RI, Jakarta, pada Jumat (16/8/2019).

Sedikitnya ada enam jurnalis yang mengalami insiden tak mengenakan itu. Peristiwa terjadi ketika pengunjuk rasa diamankan di Gedung TVRI sedang digiring ke mobil tahanan polisi.

Sejumlah reporter dan fotografer kemudian mengambil gambar berupa foto dan video. Jurnalis SCTV Haris misalnya, ia dipukul di bagian tangan saat merekam video melalui ponselnya. Sebelumnya dia dilarang dan dimarahi ketika merekam menggunakan kamera televisi.

"Kamu jangan macam-macam, saya bawa kamu sekalian," katanya menirukan ucapan polisi dalam keterangan AJI Jakarta, pada Jumat (16/8/2019).

Baca: 6 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan dan Intimidasi Polisi Saat Liput Demo Buruh di DPR

Haris menyatakan dirinya wartawan, namun polisi tak menghiraukan. Pelaku pemukulan yang mengenakan baju putih dan celana krem, diduga dari satuan Resmob, sementara beberapa polisi yang berjaga diketahui berasal dari Polres Jakpus.

Korban lainnya, jurnalis foto Bisnis Indonesia, Nurul Hidayat dipaksa menghapus foto hasil jepretannya. Menurutnya, pelaku mengenakan pakaian bebas serba hitam, berambut agak panjang, dan ada tindikan di kuping.

Fotografer Jawa Pos Miftahulhayat juga terpaksa menghapus foto karena intimidasi polisi. Dia diancam akan dibawa polisi bersama para demonstran yang diangkut ke mobil.

Seorang jurnalis media online pun mengalami intimidasi. Jurnalis Vivanews, Syaifullah menuturkan, polisi mengintimidasi dirinya dengan meminta rekaman video miliknya dihapus. Dia juga diancam akan diangkut polisi jika tak menghapus video.

Reporter Inews, Armalina dan dua kameramen juga mengalami intimidasi oleh oknum aparat berbaju putih.

Salah seorang petugas bahkan berteriak, "Jangan mentang-mentang kalian wartawan ya!".

Salah seorang wartawan media online ditarik bajunya dan dipaksa menghapus foto.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved