Tari Cokek, Akulturasi Budaya Tionghoa-Betawi yang Sempat Dianggap Vulgar
Mengenakan kebaya Betawi warna kuning dan selendang merah yang diikat di perut, Henny Lim memeragakan Tarian Cokek.
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Mengenakan kebaya Betawi warna kuning dan selendang merah yang diikat di perut, Henny Lim memeragakan Tarian Cokek.
Setiap gerakan dalam tarian ini begitu luwes dimainkan oleh wanita pengurus Koperasi Lentera Benteng Jaya ini.
Sudah empat tahun ini, Henny rutin mempelajari Tari Cokek yang disebutnya merupakan kesenian akulturasi dari budaya Tionghoa dan Betawi.
Konon, kata Henny, Tari Cokek atau Tari Cokek Sipatmo sudah ada sejak Abad ke19 yang kerap kali dimainkan di rumah tuan tanah asal Tionghoa bernama Tan Sio Kek di kawasan Tangerang, atau yang kini disebut komunitas China Benteng.
Makanya, nama Cokek itu berasal dari panggilan nama Tan Sio Kek.
"Menurut sejarahnya, tarian ini awalnya dipentaskan untuk menyambut tamu di acara pesta pernikahan orang Tionghoa, atau saat ada acara di klenteng," kata Henny kepada TribunJakarta.com,di Taman Fatahillah, Tamansari, Jakarta Barat, Minggu (18/8/2019).
Sempat Salah Tafsir

Henny mengaku baru mengetahui kalau Tari Cokek itu berasal dari kawasan China Benteng ketika 2015 silam ada LSM Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) bersama sejarawan serta dosen dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) melakukan penelitian di kawasan Tangerang, Banten.
Pasalnya, sejak memasuki era tahun 1980-an lalu, Tari Cokek itu lekat dengan stigma vulgar dan negatif.
Satu diantaranya lantaran selendang yang menjadi aksesoris penari malah digunakan untuk menarik lelaki sehingga tarian ini dianggap vulgar oleh masyarakat.
Hal itulah yang membuat Tari Cokek sudah jarang dipentaskan dan seolah menghilang.
"Karena saat itu banyak campuran gerakannya, orang kalau dengar Tari Cokek itu kesannya sudah negatif karena dianggap vulgar," kata Henny.
Karenanya, setelah penelitian tersebut menyatakan bahwa asal Tari Cokek itu bukan seperti yang beredar di masyarakat, Henny yang merupakan warga China Benteng terpanggil untik mempelajari dan melestarikan kesenian itu.
Saat ini sudah ada beberapa sekolah dan Wihara di Tangerang yang menjadi lokasinya untuk mengajarkan Tari Cokek.
"Karena memang Tari Cokek ini merupakan salah satu kesenian asal China Benteng yang bercampur dengan kebudayaan Betawi, salah satunya dari musik pengiringnya yang menggunakan gambang kromong," ujarnya.
Sarat Makna

Henny menyebut tiap gerakan dalam Tari Cokek sarat akan makna untuk menjalani kehidupan.
Beberapa gerakan dalam tarian ini yakni menunjuk beberapa bagian tubuh penari mulai dari mata, kening, mulut, telingga, dada, hingga bagian organ vital.
"Maknanya itu jelas, misalnya ketika tangan kita di depan dada, itu menandakan bahwa kita haruslah menjaga hati, begitu juga saat kita memegang bagian tubuh lainnya, intinya harus bisa menjaga dari hal yang tidak baik," paparnya.
Soal bagian menutupi organ vital, Henny tak menampik gerakan itu yang banyak salah ditafsirkan oleh masyarakat.
"Gerakan itu kesannya dianggap porno dan vulgar, padahal maknanya itu adalah kita harus menjaga diri dan kesucian kita," kata Henny.
Ratusan Wanita Meriahkan Tari Cokek di Kota Tua
Banyak cara dalam merayakan hari kemerdekaan Indonesia.
Mulai dari menggelar perlombaan rakyat khas 17-an, konser musik, pentas seni maupun acara sosial yang bertujuan mempererat persatuan sesama anak bangsa.
Hal itu pula yang melatarbelakangi ratusan wanita pagi ini berkumpul di Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat.
Mengenakan baju adat dari berbagai daerah di tanah air, mereka kompak menarikan Tari Cokek.
Tari Cokek yang merupakan akulturasi kebudayaan dari Budaya China dan Betawi yang kini sudah jarang dipentaskan.
Ketua INDONESIA.ID, selaku penggagas acara ini, Eva Simanjuntak mengatakan ada tiga poin yang ingin mereka sampaikan dalam kegiatan hari ini.

Selain dalam rangka merayakan HUT Ke 74 Republik Indonesia, dua tujuan lainnya yakni untuk melestarikan kebudayaan Indonesia yang sudah hampir terlupakan serta untuk menjaga keberagaman di tanah air.
"Gerakan ini berawal dari kegelisahan kita terhadap rasa keberagaman, toleransi dan kebhinekaan masyarakat yang dirasa mulai hilang, makanya ada ide untuk melalukan kampanye keberagaman melalui acara tari," kata Eva, Minggu (18/8/2019).
Setelah menggelar kegiatan Tari Cokek di Jakarta, Eva menyebut kegiatan serupa juga akan digelar di beberapa kota lain di Indonesia hingga 28 Oktober mendatang yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda.
• Pacaran 5 Tahun Gagal Nikah Gara-gara Weton, Gadis Pekalongan Ini Trauma dan Ucap Ini
• Ramalan Zodiak Cinta Besok, Senin 19 Agustus 2019: Hubungan Taurus Menguat, Cinta Leo Sedang Bersemi
• Mengaku Sering Pulang Malam, Ussy Sulistiawaty Beri Uang Jajan Anak Hingga Rp 1 Juta Per Hari
• Kronologi Ibu Hamil Terima Obat Kedaluwarsa dari Puskesmas, Bahaya Bagi Tubuh hingga Diduga Terselip
Nantinya, tiap-tiap kota akan menarikan tarian asli wilayah tersebut yang kini sudah jarang dipentaskan dan terancam punah.
"Jadi tujuan agar kebudayaan yang seolah sudah dilupakan bisa kembali kita lestarikan sebagai bentuk keberagaman di Indonesia," kata Eva.