Guru Besar Undip Prof Suteki Gugat Rektor di PTUN Semarang, Dicopot karena Jadi Saksi Ahli HTI

Pemberhentian Profesor Suteki dari jabatan Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip ternyata belum selesai begitu saja.

KOMPAS.com/NAZAR NURDIN
Guru Besar Undip Profesor Suteki 

TRIBUNJAKARTA.COM - Pemberhentian Profesor Suteki dari jabatan Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ternyata belum selesai begitu saja.

Kasus ini mengemuka berawal saat Prof Suteki menjadi saksi ahli dalam persidangan gugatan Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta serta Juducial Review di Mahkamah Konstitusi .

Guru Besar yang mengajar Ilmu Hukum dan Pancasila ini didampingi tim penasehat hukumnya, Dr Achmad Arifullah beserta Muhammad Dasuki menggugat Rektor Undip di PTUN Semarang, Rabu (21/8/2019).

Gugatan tersebut atas dasar surat keputusan nomor : 586/UN7.P/KP/2018 tentang pemberhentian dua jabatan penting dan beberapa jabatan lain di luar kampus.

"Guru besar yang mengajar Ilmu Hukum dan Pancasila selama 24 tahun ini merasa dirugikan atas hak jabatan, dan nama baiknya sebagai penerus Yayasan institute Satjipto Fondation.

Setelah dicopot jabatannya karena dianggap melanggar disiplin Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, " ujar penasihat hukum, Muhammad Dasuki.

Dasuki mengatakan gugatan tersebut tergister pada nomor perkara: 61/G/2019/PTUNSMG tertanggal 20 Agustus 2019.

Alasan mengajukan gugatan karena kliennya dicopot dari jabatannya tanpa ada proses mekanisme yang diatur sesuai kode etik.

Atau proses klarifikasi melalui sidang disiplin ASN dan Senat Universitas.

"Pencopotan tanpa ada proses mekanisme yang diatur sesuai kode etik atau proses klarifikasi melalui sidang disiplin ASN, maupun Senat Universitas.

Justru langsung memberhentikan klien kami tanpa ada pemeriksaan langsung terhadap klien kami," jelasnya.

Menurut dia, kehadiran penggugat sebagai saksi ahli dalam persidangan judicial review pada bulan Oktober 2017 dan 01 Februari 2018 lalu dianggap sebagai pelanggaran berat.

Keterangannya tersebut dianggap mengganggu kedaulatan NKRI yang tidak sesuai dengan keahliannya sebagai dosen Pancasila.

"Padahal, klien kami memberikan keterangan sebagai ahli sesuai dengan keilmuannya.

Namun kesaksiannya dinilai melanggar Pasal 3 angka 3 PP Nomor 53 Tahun 2010 oleh Rektor Undip," paparnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved