Menyusuri Gang-gang Sempit Penuh Sampah di Kampung Bengek
Saat TribunJakarta.com memasuki gang-gang sempit tersebut, bau busuk dari lautan sampah keluar sangat menyengat.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, PENJARINGAN - Akhir pekan kembali tiba di sebuah permukiman belakang tanggul laut wilayah RW 17 Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (8/9/2019).
Kampung itu berada tak jauh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (PPSNZ) Muara Baru. Akses masuknya dapat ditemui di gang sebelah kanan sebelum pintu masuk PPSNZ Muara Baru.
Di belakang tanggul laut, ada pembatas berupa rawa-rawa kecil yang tersambung dengan jalan setapak menuju ke gang-gang sempit di kampung itu.
Gang-gang sempit itu diramaikan warga yang saling bercengkrama pada siang menjelang sore hari ini.
Pada gang-gang itu pula, sampah menghampar dan berserakan, menunjukkan bahwa anda telah tiba di Kampung Bengek.
Saat TribunJakarta.com memasuki gang-gang sempit tersebut, bau busuk dari lautan sampah keluar sangat menyengat.
Bau itu bercampur dengan aroma tidak sedap dari kotoran ayam yang begitu mudah ditemui di gang-gang tersebut.
Pandangan harus selalu ke bawah. Sebab, apabila tidak hati-hati, kotoran ayam bisa begitu mudah mengotorkan alas kaki.
Warga tampak tak peduli dengan kumuhnya permukiman Kampung Bengek.
Mereka asyik bersantai dan mengobrol serta bercengkrama di depan rumah-rumah semi permanen yang mereka tinggali.
Bahkan, tak sedikit pula anak-anak yang bermain pada lautan sampah di kampung tersebut, menghabiskan sisa akhir pekan yang tinggal sekian jam lagi.
"Lagi nggak ada pembersihan (sampah). Mungkin karena hari Minggu kali ya, pada libur," celetuk Daniri (37), salah seorang warga.
Pembersihan yang dimaksud wanita itu adalah giat gerebek sampah yang sempat dilakukan selama empat kali, Sabtu (31/8/2019)-Senin (2/9/2019) dan Rabu (4/9/2019).
Gerebek sampah itu sempat dilakukan petugas kebersihan dari Sudin Lingkungan Hidup Jakarta Utara, setelah lautan sampah di permukiman tersebut terekspos beberapa pekan terakhir.
Anggapan Daniri bahwa pembersihan sedang libur kemungkinan besar salah. Sebab, pembersihan memang sudah dihentikan sampai ada keputusan dari pengelola lahan, PT Pelindo II Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa.
Wali Kota Jakarta Utara, Sigit Wijatmoko, saat peninjauan Rabu lalu, memberikan dua opsi kepada Pelindo terkait pembersihan ke depannya.
Opsi pertama, Pelindo dipersilakan membersihkan sampah secara mandiri hingga seluruh sampah berhasil diangkut.
Sementara opsi kedua, Pelindo dipersilakan meminta bantuan pemerintah melalui Sudin Lingkungan Hidup Jakarta Utara untuk membersihkan sampah di sana.
Tapi, di balik ketidaktahuan Daniri soal polemik itu, ia mengaku ada perubahan setelah pembersihan itu.
"Ya lebih bersihan dikit sih, kalo kemaren kan parah sampahnya ya," kata warga RT 05/RW 17 Penjaringan itu.
Daniri lupa kapan terakhir kali sampah dibersihkan. Yang ia ingat, sekitar 5 bulan lalu warga Kampung Bengek sempat membayar Rp 5 ribu untuk pengangkutan sampah dengan gerobak.
Tapi, sekarang sudah tidak ada lagi gerobak-gerobak itu.
Di sela-sela waktu bersantainya, Daniri bercerita sejumlah hal yang ia tahu soal Kampung Bengek.
Hal-hal yang Daniri ceritakan sebatas bagaimana kehidupan warga di kampung itu.
"Udah lama pada di sini mah, dulunya kan ini ada gudang-gudang gitu, terus tutup apa gimana gudang-gudangnya, makanya pada tinggal di sini," ucap wanita asal Makassar itu.
Lautan sampah sudah tak lagi menjadi masalah bagi warga di sana. Sampah yang menimbulkan kekumuhan dan bisa jadi merupakan sarang penyakit sudah tak lagi dipusingkan warga.
"Ya kalo sakit mah ya sakit aja, kan nggak semuanya karena sampah juga," tutur Daniri.
Warga lainnya, Sambit (55), mengaku sudah tinggal selama 5 tahun di Kampung Bengek.
Menurut dia, Kampung Bengek terdiri dari RT 04, RT 05, dan RT 11 di RW 17 Kelurahan Penjaringan.
Sambit sendiri tinggal dengan tiga orang anggota keluarganya pada sebuah rumah semi permanen berukuran sekitar 4x3 meter di dekat rawa-rawa.
Ia beserta istrinya Saroh (54), anaknya, dan cucunya, tinggal di bagian RT 04.
"Kalo di sini RT 04 sama RT 11. Saya udah lima tahunan di sini," kata pria asli Indramayu itu.
Lima tahun lalu, Sambit memutuskan untuk membangun rumah di lahan Pelindo II tersebut karena sudah tak sanggup mengontrak.
Pekerjaannya sebagai nelayan dirasa tak cukup untuk membayar kontrakan yang mencapai Rp 600-700 ribu per bulan. Kontrakan lamanya ada di luar tembok pembatas lahan Pelindo II di sisi barat Kampung Bengek.
"Saya bangun sendiri ini mah, siapa yang mau bantu. Ini bangun dulu nggak dilarang juga," kata Sambit.
• Jeje Govinda Ketahuan Lirik Wanita Lain saat Foto Bareng Syahnaz, Nisya Ahmad Langsung Menegur
• Perluasan Ganjil Genap Diterapkan Besok, Berlaku di 25 Ruas Jalan dan Taksi Online Tetap Kena Aturan
• Besok, Perluasan Ganjil-genap Kendaraan Resmi Diberlakukan di DKI Jakarta
Bila dihitung-hitung, Sambit hanya mengeluarkan dana sekitar Rp 5 juta untuk membangun rumah semi permanennya itu.
Biaya tersebut cenderung murah, lanjut Sambit, lantaran bahan-bahan seperti kayu dan bambu untuk membangun rumahnya ia dapat secara cuma-cuma.
"Kayu sama bambu ini ngambil aja dari bekas-bekas sampah gitu. Ini kan ada aja yang dari laut hanyut ke sini, ya pake dari situ aja," ucap Sambit.
Saroh membenarkan ucapan suaminya. Sebab, apabila membeli bahan material baru, biaya pembangunan rumah semi permanen itu pasti di atas Rp 5 juta.
"Bisa Rp 10 juta lebih," ucap Saroh.
Di akhir pekan ini, Saroh tampak sedang sibuk mencuci baju. Sementara Sambit duduk di saung kecil-kecilan dekat rumahnya sambil menunggu malam tiba.
Malam nanti, ia akan kembali melaut untuk menjala ikan demi menghidupi keluarganya.
Meskipun tak ada biaya sewa rumah, ditegaskan Saroh, mereka masih dibebani biaya listrik dan air setiap bulannya.
"Kalo air beli dari yang belakang tembok. Listrik juga gitu, jadi ada rumah di belakang tembok nanti disambung ke sini," jelas Saroh.
Saroh memerinci, ia bisa mengeluarkan Rp 200-300 ribu untuk membayar biaya air bersih per bulannya. Sementara untuk listrik, per bulannya ia cukup membayar sekitar Rp 100 ribu.